Selasa, 25 Februari 2014

Kisah Nyata hidup anak yatim - Trip ASEAN : Kisah Nyata hidup anak yatim piatu di Kampung Terapung , Simreap - Kamboja ( Hari Keenam )

Kingdom of Cambodia
Melewati perbatasan Thailand, hanya butuh beberapa menit saja sudah bisa sampai diperbatasan Poipet , Kamboja. Sepanjang jalan menuju imigrasi Kamboja, kami disuguhkan oleh pemandangan yang jauh berbeda. Apa yang kami lihat itu langsung mengingatkan dengan apa yang ada dikampung halaman kami di Medan, atau bahkan dikampung kami jauh lebih baik. Begitu memasuki kantor imigrasi Kamboja diperbatasan Poipet, kami lebih tercengang, lebih prihatin. Kondisi imigriasi itu sama seperti loket , tempat pembayaran rekening air, listrik dan telepon dikelurahan, sebelum ada sistem pembayaran online melalui bank. Jauh dari kata sederhana, jauh dari apa yang menjadi sebuah gerbang masuk satu negara.


Hanya ada 2 baris dengan 2 orang petugas yang memberikan izin masuk negara tetangga kita itu. Tidak ada pemeriksaan tas, tidak ada AC dan kantor itu dibangun dibawah sebuah pohon besar. Tidak tahu bagaimana asal mulanya, apakah memang ada cerita dibalik itu semua atas sebuah pohon besar itu yang akarnya masih kelihatan jelas dan kokoh. Tersedia 2 bangku panjang untuk turis yang ingin menuliskan kartu imigrasi. Pemegang paspor Indonesia tidak perlu membayar visa untuk bisa masuk ke Kamboja.

Tempat tunggu bus
Setelah cap paspor, kami bertemu seorang petugas, tidak jelas , petugas pihak imigrasi atau petugas umum, petugas itu mengarahkan kami, menjelaskan kepada para turis , bagaimana caranya bisa sampai di Simreap. Untunglah, beberapa orang yang kami temui di Kamboja, bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris.

Shuttle bus 
Untuk bisa sampai di Simreap, kami harus naik shuttle bus yang memang menjadi fasilitas khusus buat para turis. Bus itu gratis dan hanya akan membawa kami sampai di terminal utama. Menunggu sekitar 30 menit, akhirnya bus berangkat. Total penumpang ada 6 orang termasuk kami. Sisanya adalah 2 orang Russia, 2 orang lainnya adalah orang Amerika. Selama perjalanan dari Poipet menuju terminal utama, 2 orang petugas menjelaskan banyak hal tentang objek wisata yang ada di Simreap, memberikan penjelasan apapun yang ditanyakan kami. Hari itu, cuaca sangat panas, terik matahari sangat menyengat, butuh hampir 1 jam , bus tiba di terminal utama. Satu perbedaan yang terlihat disini dengan Indonesia adalah setir mobil terletak disebelah kiri mobil dan mobil berlaju disebelah kanan jalan. Selain Riel, mata uang resmi Kamboja, di Simreap dan Kamboja, mereka juga menerima dollar dalam setiap transaksi.

Loket terminal utama
Dari terminal utama, kami masih harus melanjutkan perjalanan menuju kota Simreap. Ada 3 transportasi yang bisa dipakai : taxi, bus dan minivan. Jika memang satu rombongan, bus atau minivan menjadi pilihan utama, jika tidak, taxi menjadi pilihannya, karena tidak perlu menunggu sampai kapasitas bus atau minivan itu lengkap dulu, sehingga bisa menghemat waktu. Dari perbatasan Poipet, kami telah menawarkan diri ke bule asal Russia untuk share satu taxi dan mereka setuju. Taxi hanya bisa muat 4 orang, dan biaya taxi itu dihitung per penumpang, bukan per taxi. Per orang 12 USD.

Kantin terminal utama
Sebelum taxi berangkat, kami diminta tips sama petugas yang menemani kami diperjalanan bus tadi. Tidak ada rasa sungkan, mereka meminta begitu saja. Dan kami memberi tips 10 USD , sedangkan bule Russia itu juga memberikannya 5 USD. Kami harusnya kongsi-an juga sama bule itu. Bagi kamu yang ingin jalan- jalan di Kamboja, baik Simreap ataupun Phnompenh, istilah TIPS atau meminta “ uang rokok “ sudah tidak asing lagi. Mereka dengan terbuka meminta itu, walaupun kita sudah membayar jasa mereka. Termasuk di restoran atau supir tuk- tuk. Maksudnya , bukan petugas yang tidak menerima uang langsung, bolehlah kita memberi tips, tapi ini tidak, semua orang.

Perjalanan dari terminal utama menuju Simreap membutuhkan waktu 2 jam lebih. Total dari Poipet menuju Simreap hampir 6 jam. Ditengah perjalanan , taxi yang kami tumpangi bocor ban. Supir taxi yang tidak bisa berbahasa Inggris itu butuh waktu 15 menit untuk menggantikan ban. Hampir mendekati kota Simreap, supir taxi itu menghubungi seorang teman melalui handphone, dan menyambungkan ke kami untuk berbicara langsung. Intinya, kami beritahu , kami menginap di hotel apa.
Dermaga menuju Floating Village
Awalnya sedikit aneh, karena kami tidak diantarkan langsung ke hotel yang kami maksud. Kami diantarkan ke pangkalan tuk- tuk. Ternyata, supir tuk-tuk itu tadi yang berbicara dengan kami dihandphone. Kami diminta untuk pindah ke tuk- tuk , alasannya supir taxi tidak tahu jalan. Kami menyetujui, karena tidak perlu membayar jasa tuk- tuk ke hotel lagi.  Memang terasa sedikit aneh.

Dermaga Floating Village
Dengan menggunakan tuk –tuk, kami diantar sampai depan hotel yang dimaksud. Dan iya saja, keanehan yang kami rasakan terjawab sudah. Memang tidak bayar, tapi supir tuk- tuk menawarkan jasa paket city tour kepada kami. Melakukan negosiasi dan objek wisata yang ingin kami kunjungi di Simreap, akhirnya terjadi kesepakatan. Harga paket city tour 75 USD / org dan kami bayar 150 USD. Membayar 150 USD, kami diantar mengunjungi Floating Village termasuk tiket boat , Dinner International Buffet disalah satu restoran di Simreap sambil menonton pertunjukkan budaya lokal Kamboja, mengunjungi Angkor Wat , Ta Phrom termasuk tiket masuknya. Oh ya , kami sekalian meminta supir taxi untuk membelikan kami tiket bus dari Simreap ke Phnompenh. Dia menawarkan kami bus Super VIP dengan harga 12 USD / org, dimana bus ada AC, ada wifi , toilet dan khusus buat turis.
Perkampungan terapung
Setelah check in hotel, mandi dan menukar pakaian bersih. Kami langsung diantarkan ke Floating Village, sebuah perkampungan terapung yang dihuni oleh mereka yang tidak ada rumah tinggal di daratan. Sudah menjadi keseharian dalam kehidupan mereka, mulai dari tidur, mandi, melahirkan sampai meninggal juga mereka lalui di perkampungan terapung itu. Mereka tinggal diatas rumah perahu yang mereka buat senyaman mungkin, dibawahnya diikat dengan tali dan galon – galon yang bisa membuat rumah  perahu mereka terapung.

Kehidupan diperkampungan terapung
Hidup sebagai nelayan , hidup diperairan, membuat hidup mereka jauh lebih beresiko. Harus menghadapi badai , petir, air laut dan sebagainya. Perairan yang ada dibawah rumah terapung mereka, bisa berubah menjadi daratan tanpa air setetespun ketika musim panas / kemarau datang. Maka mereka harus menarik diri dan membiarkan terapung dilautan bebas/ perairan yang lebih dalam. Karena itu, saya bilang tadi, hidup mereka sangat beresiko.

anak kecil diperkampungan terapung
Sebagian mereka, meninggal ketika sedang mencari ikan di laut. Sebagian mereka adalah keluarga kecil. Sebagian dari mereka adalah anak- anak kecil yang telah menjadi yatim piatu karena orangtua mereka meninggal entah karena badai dan petir saat mencari ikan dilaut, atau sakit. Kehidupan seperti ini telah menjadi turun temerun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sungguh kasihan dan iba , meilhat pemandangan itu.

Perkampungan terapung
Untuk melihat Floating Village, harus menumpang sebuah perahu yang akan membawa kita mengelilingi perkampungan itu. Ada seorang guide yang menjelaskan segala sesuatu yang terjadi disana. Guide itu sendiri adalah seorang anak yatim piatu yang tumbuh besar disana. Kelancaran bahasa Inggris yang dimilikinya didapatkan sejak kecil , sudah berkomunikasi dengan para turis.

Perkampungan terapung
Di Floating Village, ada sebuah panti asuhan sekaligus berfungsi sebagai sekolah umum bagi anak-anak yatim piatu. Panti asuhan yang hidup dari sumbangan para turis yang mengunjungi mereka. Guide yang membawa turis , diakhir perhentian, pasti akan membawa para turis mengunjungi panti asuhan itu. Menjelaskan apa yang terjadi, bagaimana kehidupan dipanti berlangsung dan apa saja yang dilakukan didalam panti terhadap anak- anak yatim piatu tersebut.

Panti asuhan 
Kemudian , para turis, diajak ke pasar terapung, yang menjual bahan makanan pokok. Terserah dari hati nurani masing- masing, apakah turis mau belanja bahan makanan pokok dan sumbangkan ke panti asuhan itu atau tidak. Tidak ada paksaan.

Pasar terapung
Setelah 1 jam lebih berkeliling di Floating Village, kami diantar kembali ke dermaga. Memberi tips 10 USD kepada pemuda itu dan dengan tuk- tuk kami kembali ke kota. Diturunkan didepan hotel, kami tidak langsung masuk kedalam hotel. Kami berjalan kaki disekitar hotel untuk mencari jasa pijat refleksi. Di Simreap, seperti di Bangkok dan di Pattaya, banyak sekali yang menawarkan jasa pijat refleksi. Refleksi kaki 5 USD / pax.

Panti asuhan
With Love,

-semoga semua mahluk hidup berbahagia-
 
http://husinpeng.blogspot.com/2014/01/trip-asean-kisah-hidup-anak-anak-yatim.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com