"Saya
jadi membayangkan nggak heran Ponari dkk laris, karena dokter pun
ternyata pengobatannya nggak rasional, Kasihan banyak pasien yang
terpaksa diracun oleh obat-obat yang nggak diperlukan dan dibuat
'miskin' untuk membeli obat-obat yang mahal tersebut. Ini belum termasuk
dokter ahli yang sudah 'dibayar' cukup mahal ternyata nggak banyak
menjelaskan pada pasien sementara kadang kala keluarga sengaja berkumpul
& menunggu berjam-jam hanya untuk menunggu dokter visite," papar
dokter Billy.
Ini mungkin tulisan yang cukup 'aneh'. Kok bisa, seorang dokter justru
meminta kepada pasien untuk berhati-hati pada dokter. Tetapi inilah
saran yang diberikan oleh dokter Billy sebagaimana ditulis dalam "Konsul
Sehat" (http://konsulsehat/. web.id). Konsul sehat merupakan situs
untuk kemajuan edukasi masyarakat di bidang kesehatan.
Seperti yang diceritakan Billy dalam artikel
tersebut, selama beberapa hari dokter Billy mengurusi abangnya yang
sakit demam berdarah (DBD). Dokter ini membuatkan surat pengantar untuk
dirawat inap di salah satu, RS swasta yang terkenal cukup baik
pelayanannya. Sejak masuk UGD Billy menemani sampai masuk ke kamar
perawatan, dan setiap hari dia menunggui, jadi dia sangat tahu
perkembangan kondisi abangnya.
"Abang saya paksa untuk rawat inap karenatrombositnya 82 ribu. Agak
mengkhawatirkan," katanya. Padahal sebenarnya si abang menolak karena
merasa diri sudah sehat, tidak demam, tidak mual; hanya merasa badannya
agak lemas.
Mulai di UGD Billy sudah merasa ada yang 'mencurigakan'. Karena Billy
tidak menyatakan bahwa dia dokter pada petugas di RS, jadi dia bisa
dengar berbagai keterangan/penjelasan dan pertanyaan dari dokter dan
perawat yang menurutnya 'menggelikan'. Pasien pun diperiksa uiang
darahnya. Ini masih bisa diterima, hasil trombositnya tetap sama, 82
ribu.
Ketika abangnya akan di-EKG, si abang sudah mulai 'ribut' karena
Desember lalu baru tes EKG dengan treadmill dengan hasil sangat baik.
Lalu Billy menenangkan bahwa itu prosedur di RS. Tetapi yang membuat
Billy heran adalah si Abang harus disuntik obat Ranitidin (obat untuk
penyakit lambung), padahal dia tidak sakit lambung, dan tidak mengeluh
perih sama sekali. Obat ini disuntikkan ketika Billy mengantarkan sampel
darah ke lab.
Oleh dokter jaga diberi resep untuk dibeli, diresepkan untuk tiga hari,
padahal besok paginya dokter penyakit dalam akan berkunjung, dan
biasanya obatnya pasti ganti lagi. Belum lagi resepnya pun isinya tidak
tepat untuk DBD. Jadi resep tidak dibeli, Dokter penyakit dalamnya
setelah ditanya ke teman yang praktik di RS tersebut, katanya dipilihkan
yang dia rekomendasikan, katanya 'bagus dan pintar', ditambah lagi dia
dokter tetap di RS tersebut, jadi pagi-sore selalu ada di RS.
Malamnya via telepon dokter penyakit dalam memberi instruksi periksa lab
macam-macam, setelah Billy lihat banyak yang 'nggak nyambung', jadi
Billy minta Abang untuk hanya setujui sebagian yang masih rasional.
Besoknya, Billy datang ke RS agak siang. Dokter penyakit dalam sudah
visite dan tidak komentar apapun soal pemeriksaan lab yang ditolak.
Billy diminta perawat untuk menebus resep ke apotek. Ketika Billy
melihat resepnya, dia langsung bingung. Di resep tertulis obat
Ondansetron suntik, obat mual/muntah untuk orang yang sakit kanker dan
menjalani kemoterapi. Padahal Abangnya tidak mual apalagi muntah sama
sekali. Tertulis juga Ranitidin suntik, yang tidak perlu karena Abang
tidak sakit lambung. Bahkan parasetamol bermerek pun diresepkan lagi
padahal Abang sudah ngomong kalau dia sudah punya banyak.
Karena bingung, Billy sampai cek di internet, apa ada protokol baru
penanganan DBD yang dia lewatkah atau kegunaah baru dari Ondansetron.
Ternyata tidak. Akhirnya Billy hanya membeli suplemen vitamin saja dari
resep.
Pas Billy menyerahkan obat ke perawat, dia tanya 'obat suntiknya mana?'
Billy jawab bahwa pasien tidak setuju diberi obat-obat itu. Perawatnya
malah seperti menantang, akhirnya dengan terpaksaBilly beritau bahwa dia
dokter, dan dia yang merujuk pasien ke RS. "Abang saya menolak
obat-obat . itu setelah tanya pada saya. Malah saya dipanggil ke nurse
station dan diminta tandatangani surat refusal consent (penolakan
pengobatan) oleh kepala perawat," papar Billy.
"Saya beritau saja bahwa pasien 100% sadar, jadi harus pasien yang
tandatangani, itu pun setelah dijelaskan oleh dokternya langsung.
Sementara dokter saat visite nggak jelaskan apapun mengenai obat-obat
yang dia berikan. Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang
'bengong'," katanya.
Saat Billy menunggu Abangnya itu, pasien di sebelah ranjangnya temyata
sakit DBD juga. Ternyata dia sudah diresepkan 5 botol antibiotik infus
yang mahal dan sudah 2 dipakai, padahal kondisi fisik dan nasil lab
tidak mendukung dia ada infeksi bakteri. Pasien tersebut ditangani oleh
dokter penyakit dalam yang lain. Saat dokter penyakit dalam pasien
tersebut visite, dia hanya ngomong 'sakit ya?', 'masih panas?', 'ya
sudah lanjutkan saja dulu terapinya', visite nggak sampai tiga menit.
Besoknya dokter penyakit dalam yang menangani Abangnya Billy visite
kembali dan tidak komentar apapun soal penolakan membeli obat yang dia
resepkan. Dia hanya ngomong bahwa kalau trombositnya sudah naik maka
bdleh pulang.
"Saya jadi membayangkan nggak heran Ponari dkk laris, karena dokter pun
ternyata pengobatannya nggak rasional, Kasihan banyak pasien yang
terpaksa diracun oleh obat-obat yang nggak diperlukan dan dibuat
'miskin' untuk membeli obat-obat yang mahal tersebut. Ini belum termasuk
dokter ahli yang sudah 'dibayar' cukup mahal ternyata nggak banyak
menjelaskan pada pasien sementara kadang kala keluarga sengaja berkumpul
& menunggu berjam-jam hanya untuk menunggu dokter visite," papar
dokter Billy.
Beberapa waktu sebelumnya Billy juga pernah menunggui saudaranya yang
lain yang dirawat inap di salah satu RS swasta yang katanya terbaik di
salah satu kota kecil di Jateng akibat sakit tifoid. Kejadian serupa
terjadi pula, sangat banyak obat yang tidak rasional diresepkan oleh
dokter penyakit dalamnya.
"Kalau ini nggak segera dibereskan, saya nggak bisa menyalahkan
masyarakat kalau mereka lebih memilih pengobatan alternatif atau berobat
ke LN. Semoga bisa berguna sebagai pelajaran berharga untuk rekan-rekan
semua agar berhati-hati dan kritis pada pengobatan dokter," tulis Billy
menutup artikelnya.
Pertanyaan kita sekarang, apakah semua pasien harus ditunggui oleh
saudaranya yang dokter supaya tidak dapat pengobatan sembarangan?
http://kiatsehat2010.blogspot.com/2010/12/pengalaman-seorang-dokter-seorang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com