Rabu, 25 Desember 2013

Mainstream Media: Berita Banjir di Jakarta untuk Siapa?

http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/01/23/berita-banjir-di-jakarta-untuk-siapa-522092.html
Berita banjir yang melanda Jakarta dan kawasan sekitar masih saja santer, gemanya hingga ke daerah-daerah. Kalau dikuantifikasi total pemberitaannya mungkin mencapai ratusan item. Maraknya pemberitaan masalah banjir juga dipicu kehadiran media, terutama media massa konvensional (suratkabar, radio, televisi) serta media massa online dan media sosial yang secara real-time > tak henti menyebarluaskan peristiwa maupun berbagai dampak yang timbul.
Aktivitas komunikasi yang disampaikan lewat beragam media tersebut semakin menambah padatnya arus lalulintas informasi. Tidak keliru bila dikatakan bahwa peluberan informasi kini sedang melanda ruang publik media, termasuk ruang publik virtual tentunya. Peluberan informasi nampak semakin tak terbendung, bahkan jika tak terkendali, bukan tidak mungkin terjadi ”polusi informasi” terkait banjir di Jakarta.
Persoalan banjir yang melanda ibukota itu sudah banyak disorot, dibahas (ahlinya) dan telah banyak pihak berkompeten mengupayakan solusi. Penulis sendiri tidak menguasai persoalan banjir tersebut lantaran tidak banyak data dan fakta lapangan sehingga cukup berfokus sepintas mengkaji pemberitaan media. Menyoba memahami > sejauhmana media berperilaku, serta bagaimana khalayak menyikapi media supaya informasi yang diserap bisa bermanfaat, setidaknya bisa membantu  menangani masalah terkait banjir di Jakarta dan kawasan sekitarnya.
13588976531397665525
banjir di pemukiman Pluit, Jakarta (sumber: KOMPAS.com, 22/1/2013)
Maraknya sorotan media terhadap banjir di Jakarta tentu bisa dimaklumi. Karena   bersangkut-paut ancaman keamanan dan peristiwanya sedang terjadi (aktual), menyentuh kepentingan para korban dan manusiawi (human interest), berdampak terhadap stabilitas sosial dan nasional, melibatkan para tokoh, bahkan mulai dari sebab-sebab hingga dampak-dampak ikutan lain terkait banjir telah mengundang banyak perhatian.
Di tengah maraknya sorotan musibah banjir tersebut, banyak pihak menyebut bahwa media massa, terutama medium televisi dinilai lebay dalam meliput dan memberitakan peristiwa banjir Jakarta. Tidak sedikit kalangan mencibir bahwa kehadiran stasiun televisi dengan peliputan dan sorotan sorotannya kurang memberikan kontribusi dalam menangani musibah banjir. Malahan banyak menilai bahwa kehadiran TV melalui peliputan dan tayangannya > kurang proporsional, meresahkan, tidak berempati terhadap para korban banjir, dan bla-bla-bla sejenisnya.
Persoalan ini menarik dikaji, mengapa hal demikian mesti terjadi dan bagaimana menyikapi agar khalayak tidak terpengaruh pemberitaan ”miring” sebagaimana tayangan peristiwa banjir yang selama ini gencar didifusikan stasiun-stasiun TV swasta/komersial sebagai pilihan topik layak jual (baca: selling topic).
Berkait hal tersebut, pertanyaan selanjutnya yang perlu dikemukakan adalah > berita banjir Jakarta, untuk siapa? Apa yang seharusnya dilakukan untuk meminimalisir supaya benturan kepentingan dapat diselesaikan?
1358897925429922821
sumber gambar: http://logo-lambang-emblim,blogspot.com
Perlu diketahui, booming media paska reformasi disambut gegap gempita oleh semua pihak. Tak terkecuali “era kebebasan pers” betul-betul dinikmati oleh pejuang dan pengusaha media. Seiring diberlakukannya deregulasi di bidang perizinan, maka perkembangan media boleh dikata luar biasa jumlahnya.
Jumlah media cetak mengalami lompatan pada tahun 1998. Awal mula era reformasi, semua orang sangat mudah mendirikan koran baru, tabloid, dan majalah. Media berbasis teknologi informasi cq. internet ikutan berkembang pesat mengikutinya. Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara (21/11/2009, dalam inilah.com) menyebutkan, di Indonesia ada sekitar 1008 media cetak, 150 lebih media televisi, dan 2000 lebih radio. Total tiras media cetak mencapai 19,08 juta eksemplar. Pemirsa televisi yang diperebutkan sekitar 30 juta orang dan radio ada 34 juta pendengar.
Khalayak yang dulu hanya familier dengan TVRI, sejak itulah bisa menikmati sajian informasi dari 10 stasiun televisi swasta nasional. Belum lagi hadirnya beberapa stasiun TV lokal di berbagai daerah ikut bersiaran. Tentu saja, ini merupakan fenomena yang cukup menggembirakan. Banyak pihak menikmati kebebasan (mendirikan) pers dan selama 10 tahun lebih media swasta/komersial semakin tumbuh beragam sebagai industri.
Namun demikian, pertumbuhan perusahaan media dipertanyakan kehadirannya dalam memberikan manfaat optimal bagi para pemirsanya yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Terlebih mengingat kedudukannya sebagai perusahaan, yang notabene bertujuan komersial > maka barang tentu kinerja media di era kekinian, baik cetak, elektronik dan maya, tidak dapat dilepaskan bertujuan bisnis. Media akan selalu menampilkan ruang bisnis yang profit oriented dalam setiap informasi atau pemberitaan yang disampaikan. Dan belakangan ini ditemui kecenderungan sisi komersial media lebih dominan ketimbang penyampaian informasi yang sarat makna.
Sepak terjang/perilaku media semacam ini memang bisa dipahami. Dalam perspektif ekonomi politik > seiring pergeseran fungsi media yang telah mengindustri maka media massa modern memiliki kecenderungan menjalankan market-driven journalism. Artinya, pembentukan berita dan segala bentuk informasi tidak lagi sekadar masalah politik media, tetapi menyangkut model kapitalisme industri.
Struktur ekonomi menjadi sangat penting, terutama ketika media menjadi bagian dari suatu industri bisnis yang besar. Akibatnya, seperti disebutkan Vincent Mosco (1996), bahwa produk media selalu dikemas untuk menarik perhatian audiens dalam skala massal. Layaknya barang dagangan, pengelolaan media sarat nilai-nilai ekonomis  yang berkiblat pada tiras atau oplah, tingginya angka rating, efisiensi, dan efektivitas produksi.
Dalam kaitan pemberitaan banjir yang melanda ibukota Jakarta dan kawasan sekitar, sebuah fakta bisa diolah dan dikemas sedemikian menariknya untuk memenuhi selera pasar. Di tengah gentingnya bencana banjir berlangsung, liputan media terutama televisi swasta/komersial melalui siaran khusus dalam Breaking News, maupun slot jam-jam siarannya sering menampilkan sisi melodrama peristiwa bencana banjir. Menampilkan gambar-gambar kepanikan, lokasi banjir dan luapan sungai yang dahsyat, ekspos terhadap jumlah/tempat tinggal atau lingkungan korban, disorot sedemikian rupa untuk menggugah rasa iba dan berkesan mencekam. Terkait hal ini, ditampilkan pula secara spekulatif betapa lambatnya penanganan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa media sesungguhnya telah berpotensi sebagai “pembawa teror informasi” karena liputan yang disajikan telah berdampak, misalnya menimbulkan rasa ketakutan dan trauma bagi warga yang mengalami  musibah. Kerapnya ditayangkan pemberitaan banjir yang melanda Jakarta dan sekitar, bahkan ditayangkan secara berulang-ulang tanpa melibatkan narasumber yang relevan ikut mewarnai kemasan informasi hanya demi memikat publik.
Pada konteks inilah media secara tekstual dihadapkan serangkaian konsep teoritik tentang relasi sosial, ekonomi dan jalinan kekuasaan yang berlangsung dalam produksi dan distribusi bahasa media. Untuk menjelaskan relasi ini, (Mosco, 1996, dalam bukunya The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal) menyebutnya sebagai komodifikasi (commodification) media massa dalam memproduksi informasi untuk memenuhi kepentingannya.
Konsekuensi dari itu semua, konten media tidak mungkin lagi dilihat sebagai cermin dari realitas. Keyakinan ini muncul dalam paradigma konstruktivisme bahwa media tidak layak lagi disebut sebagai refleksi, melainkan media sekadar “representasi” apa yang berlangsung dalam masyarakat, sehingga klaim-klaim obyektif untuk memahami bahasa media menjadi kurang diterapkan.
Implikasinya, apa yang tersaji di media seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada dalam realitas empirik. Dengan perkataan lain, realitas sosial tidak selalu sama dengan realitas media. Ini telah menggambarkan bahwa sejauh mana media mengambil posisi di tengah pergulatan kepentingan dan ideologi dalam setting kepemilikan modal (ekonomi) dan setting kekuasaan (politik).
Nah, bagi sebagian besar khalayak yang masih memandang media sebagai refleksi atas peristiwa/kejadian, yaitu mereka yang mengonstruksi bahwa produk media merupakan sebuah refleksi maka tayangan banjir yang telah di-komodifikasi dan secara bertubi-tubi dipublikasikan oleh stasiun TV swasta/komersial ini akan mendapat respons berupa cibiran bahkan cacian sedemikian rupa, karena tak bersesuaian dengan pandangan yang mereka anut.
Dari sepintas paparan di atas, dapat ditarik simpulan bahwa pemberitaan ikhwal banjir di Jakarta dan sekitarnya oleh stasiun TV swasta > jelaslah bukan untuk siapa-siapa, kecuali hanya untuk memenuhi kepentingan ekonomi, memenuhi kepentingan pemilik modal sehingga dikemaslah tayangan-tayangan dengan menampilkan peristiwa yang mengundang perhatian khalayak. Setiap peristiwa/kejadian telah dikemas sedemikian rupa termasuk peristiwa banjir di Jakarta yang telah membawa sejumlah korban, baik harta benda maupun ancaman nyawa manusia dibingkai sedemikian menariknya untuk ditayangkan secara massif.
Bagi khalayak yang cerdas (baca: sudah melek media), untuk menghindari atau mencegah agar tidak diperdaya oleh produk berupa tayangan-tayangan TV swasta/komersial di antaranya yaitu bisa memilah dan memilih informasi, atau tinggalkan saja saluran dan pilih saluran dari stasiun TV lain yang lebih bersesuaian. Bisa juga secara ekstrim > matikan saja TV-nya, gunakan sarana komunikasi lain yang lebih memberikan manfaat optimal.
Persoalannya memang tidak cukup di sini. Kehadiran stasiun-stasiun TV swasta yang sudah mengantongi izin siaran komersial, sesungguhnya telah ”merampas ruang publik” di mana ranah ini juga merupakan hak yang bisa dimanfaatkan warga/khalayak untuk mengakses informasi bermakna.
Kalau saja stasiun-stasiun TV swasta/komersial masih akan mengemas tayangan-tayangan yang telah di-komodifikasi dengan mengambil topik ringan dan bertujuan menghibur sekaligus meraup profit, mungkin masih bisa dimaklumi. Hal demikian masih bisa ditoleransi, karena salah satu fungsi media adalah memberikan hiburan kepada khalayaknya.
Namun jika sudah menyangkut persoalan urgen atau genting, mendadak (accident) seperti bencana banjir di Jakarta yang berurusan dengan ancaman serta keselamatan warga, berdampak terhadap stabilitas sosial dan nasional > seyogyanya berhati-hati dalam proses peliputan, pengolahan dan penyampaian pesan, supaya dampak negatif yang ditimbulkannya  tidak mengganggu (merugikan) khalayak, khususnya para warga yang mengalami/menjadi korban bencana banjir tersebut.
Banyak aspek yang bisa digali untuk dikemukakan terkait banjir di Jakarta dan sekitar, bagaimana khalayak seharusnya menyikapi bencana, mempersiapkan fisik dan mental warga yang tempatnya rawan/dilanda banjir, dan mengingat musim hujan belum berakhir > bagaimana langkah-langkah dalam situasi darurat jika bencana banjir kelak terjadi lagi. Hal semacam ini masih minim diwartakan media secara lengkap. Kecenderungan yang nampak justeru slot-slot jam siaran TV swasta didominasi tayangan yang menjual sensasi > sehingga media kurang memberitakan persoalan banjir di Jakarta secara komprehensif dengan menyuguhkan informasi yang melahirkan pemikiran kritis.
Lantas, apa yang perlu dilakukan untuk menghadapi masalah ini?
Pertama, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai institusi independen yang sesungguhnya punya kompetensi untuk menyikapi kasus “benturan kepentingan” seperti dipaparkan di atas. Namun sayangnya KPI sebagai regulator penyiaran masih terlihat pasif dalam menangani persoalan tersebut. KPI hanya bertindak jika sudah ada warga yang melaporkan (pengaduan), karena kewenangannya dibatasi. Memang terasa sedikit aneh di sini, yang namanya komisi, tetapi kewenangannya kok dibatasi, ya?
Kedua, perusahaan-perusahaan media terutama penyelenggara TV swasta/komersial perlu meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya, seperti: memberikan in-house training kepada wartawan-wartawan/jurnalis atau reporternya > dalam rangka peningkatan produk berupa sajian informasi, terutama menyangkut akurasi dan keberimbangan pemberitaan.
Ketiga, organisasi-organisasi profesi seperti Ikatan JurnalisTelevisi Indonesia (IJTI), Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), atau organisasi sejenis yang mewadahi profesi jurnalis perlu serius meningkatkan kapasitas keprofesionalan para anggotanya. Misalnya, melakukan program pelatihan jurnalisme. Jika memang diperlukan, bisa dilakukan roadshow ke berbagai perusahaan media bertujuan memacu agar produk jurnalistik yang disuguhkan kepada khalayak semakin meningkat kualitasnya.
JM (23-1-2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com