“[4:19]
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Perjodohan
yang dipaksakan atau dikenal dengan “Kawin paksa” dalam arti bahasa
berasal dari dua kata “kawin” dan “paksa”. Kawin dalam kamus Bahasa
Indonesia berarti perjodohan antara laki-laki dan perempuan sehingga
menjadi suami dan istri, sedangkan paksa adalah perbuatan (tekanan,
desakan dan sebagainya) yang mengharuskan (mau tidak mau atau dapat
harus…). Sedangkan dalam kamus ilmiah popular paksa adalah mengerjakan
sesuatu yang diharuskan walaupun tidak mau. Jadi kedua kata tersebut
jika digabungkan akan menjadi kawin paksa yang berarti suatu perkawinan
yang dilaksanakan tidak atas kemauan sendiri (jadi karena desakan atau
tekanan) dari orang tua ataupun pihak lain yang mempunyai hak untuk
memaksanya menikah.
Sedangkan secara istilah fiqih kawin paksa merupakan salah satu
fenomena sosial yang timbul akibat tidak adanya kerelaan diantara
pasangan untuk menjalankan perkawinan, tentunya ini merupakan gejala
sosial dan masalah yang timbul ditengah-tengah masyarakat kita. Kawin
paksa ini muncul tentunya banyak motiv yang melatar belakanginya,
misalnya ada perjanjian diantara orang tua yang sepakat akan menjodohkan
anaknya, ada juga karena faktor keluarga, atau bahkan ada karena calon
mertua laki-laki kaya.
Secara hukum kawin paksa adalah perkawinan yang dilaksanakan tanpa
didasari atas persetujuan kedua calon mempelai, hal ini bertentangan
dengan pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi:
“Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”.
Syarat pernikahan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
yang akan melangsungkan perkawinan. Adanya persetujuan kedua calon
mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan dimaksudkan agar supaya
setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga
dalam perkawinan. Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-Undang
Perkawinan, dapat dihubungkan dengan sistem perkawinan pada zaman dulu,
yaitu seorang anak harus patuh pada orang tuanya untuk bersedia
dijodohkan dengan orang yang dianggap tepat oleh orang tuanya. Sebagai
anak harus mau dan tidak dapat menolak kehendak orang tuanya, walaupun
kehendak anak tidak demikian. Untuk menanggulangi kawin paksa,
Undang-Undang Perkawinan telah memberikan jalan keluarnya, yaitu suami
atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk pasal
27 ayat (1) apabila paksaan untuk itu dibawah ancaman yang melanggar
hukum.
Perjodohan
adalah salah satu cara yang ditempuh masyarakat dalam menikah. Tak ada
ketentuan dalam syariat yang mengharuskan atau sebaliknya melarang
perjodohan. Islam hanya menekankan bahwa hendaknya seorang Muslim
mencari calon istri yang shalihah dan baik agamanya. Begitu pula
sebaliknya.
Pernikahan
melalui perjodohan ini sudah lama usianya. Di zaman Rasul saw pun
pernah terjadi. Aisyah ra yang kala itu masih kanak-kanak dijodohkan dan
dinikahkan oleh ayahnya dengan Rasulullah saw. Setelah baligh, barulah
Ummul Mukminin Aisyah tinggal bersama Rasul saw. Dalam sebuah hadits
shahih disebutkan, seorang sahabat meminta kepada Rasul saw agar
dinikahkan dengan seorang Muslimah. Akhirnya, ia pun dinikahkan dengan
dengan mahar hapalan al-Qur’an. Dalam konteks ini, Rasul saw yang
menikahkan pasangan sahabat ini berdasarkan permintaan dari sahabat
laki-laki. Meskipun didasarkan pada permintaan, toh perintah pernikahan
datang dari orang lain, yaitu Rasul saw. Tentu saja dengan persetujuan
dari mempelai perempuan.
Ringkasnya,
perjodohan hanyalah salah satu cara untuk menikahkan. Orang tua dapat
menjodohkan anaknya. Tapi hendaknya meminta izin dan persetujuan dari
anaknya, agar pernikahan yang diselenggarakan, didasarkan pada keridhaan
masing-masing pihak, bukan keterpaksaan. Pernikahan yang dibangun di
atas dasar keterpaksaan, jika terus berlanjut, akan mengganggu
keharmonisan rumah tangga. Wallahu a’lam.
Dalam
pernikahan ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Salah satunya adalah
kerelaan calon isteri. Wajib bagi wali untuk menanyai terlebih dahulu
kepada calon isteri, dan mengetahui kerelaannya sebelum diaqad nikahkan.
Perkawinan merupakan pergaulan abadi antara suami isteri. Kelanggengan,
keserasian, persahabatan tidaklah akan terwujud apabila kerelaan pihak
calon isteri belum diketahui. Islam melarang menikahkan dengan paksa,
baik gadis atau janda dengan pria yang tidak disenanginya. Akad nikah
tanpa kerelaan wanita tidaklah sah. Ia berhak menuntut dibatalkannya
perkawinan yang dilakukan oleh walinya dengan paksa tersebut (Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 7).
Perjodohan
yang dilakukan orang tua untuk anak, hanyalah salah satu jalan untuk
menikahkan anaknya itu dengan seseorang yang dianggap tepat menurut
mereka. Padahal tepat menurut orang tua belum tentu tepat menurut sang
anak. Orang tua boleh-boleh saja menjodohkan anaknya dengan orang lain,
tapi hendaknya tetap meminta izin dan persetujuan dari anaknya, agar
pernikahan yang dilaksanakan nantinya berjalan atas keridhoan
masing-masing pihak, bukan keterpaksaan. Karena pernikahan yang dibangun
di atas dasar keterpaksaan adalah harom hukumnya, dan jika terus
berlanjut, hanya akan mengganggu keharmonisan dalam berumah tangga
anaknya kelak.
Dan
orang tua, hendaknya tidak semena-mena terhadap anak. Jangan karena
anaknya enggan menerima tawaran dari orang tua, lalu mengatakan kepada
anaknya bahwa dia adalah anak yang durhaka, jangan! Tapi hendaknya orang
tua harus memahami kondisi psikologis sang anak dan harapan akan jodoh
yang diidamkannya. Sebab bila dilihat dari pertimbangan-pertimbangan
syar’i, hak-hak anak sangat diperhatikan. Islam datang untuk
memfasilitasi antara hak-hak dan kewajiban seorang anak untuk menikah
tanpa sama sekali melepaskan peran orang tua di dalamnya.
Coba
kita tengok sekilas kisah di zaman Rasul dulu. Suatu ketika Habibah
binti Sahl datang kepada Rasulullah SAW. Dia berkata, “Kalau bukan
karena takut kepada Allah ketika dia masuk, niscaya sudah kuludahi
mukanya.”
Memang
sebelumnya Habibah belum pernah melihat suaminya sampai saat malam
pertama tiba. Sebagaimana wanita di zamannya, dia masih percaya pada
orang tua dalam memilih jodoh. Tak terpikir olehnya, bahwa orang tua
yang dicintainya akan tega memilihkan suami untuk dirinya seperti Tsabit
bin Qois, yang baik kadar imannya namun buruk rupanya.
Habibah
mengungkapkan kekecawaannya pada Rasul, “Ya Rasulullah, aku mempunyai
wajah yang cantik sebagaimana engkau lihat, sedang Tsabit adalah
laki-laki yang buruk rupanya.” Inilah yang telah membuat Habibah tidak
bisa sepenuhnya menerima Tsabit sebagai suaminya, tentu masih dengan
masalah klasik : wajah.
“Wahai
Rasulullah, kepalaku tidak dapat bertemu dengan kepala Tsabit
selamanya. Aku pernah menyingkap kemah, lalu aku melihat dia sedang
bersiap-siap, ternyata ia sangat hitam kulitnya, sangat pendek tubuhnya,
dan sangat buruk wajahnya. Ya Rasulullah, aku tidak mencela akhlak
maupun agama suamiku. Tapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam,”
tukas Habibah.
Rasulullah SAW bertanya, “Maukah engkau mengembalikan kebun pemberian suamimu?”
Habibah menjawab, “Ya,”
Maka Rasulullah SAW bersabda, “Terimalah kebun itu hai Tsabit, dan jatuhkanlah talak satu kepadanya!”
Atas
perintah rasul, akhirnya mereka bercerai. Inilah kisah khulu’ (gugatan
cerai istri kepada suami) yang terjadi pertama kali dalam sejarah hukum
Islam.
Sedang
di sisi lain, banyak pula para sahabat yang menikah tanpa melalui
proses perjodohan. Salah satu contohnya, sahabat Rasul, Jabir ra, yang
menikahi seorang janda. Rasulullah bertanya kepadanya mengapa tidak
menikahi seorang gadis agar dapat bersenda gurau dengannya. Jabir ra
beralasan, karena dia punya adik kecil-kecil yang masih butuh asuhan
sehingga ia menikahi janda tersebut.
Hukum Pernikahan karena Paksaan Orang Tua
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak
boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan
tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin
darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui
izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136
dan Muslim no. 1419)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا
“Seorang
janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan
maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya
adalah diamnya.” (HR. Muslim no. 1421)
Dari Khansa’ binti Khidzam Al-Anshariyah radhiallahu anha:
أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا
“Bahwa
ayahnya pernah menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan laki-laki
yang tidak disukainya. Maka dia datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam (untuk mengadu) maka Nabi shallallahu alaihi wasallam
membatalkan pernikahannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5138)
Al-Bukhari
memberikan judul bab terhadap hadits ini, “Bab: Jika seorang lelaki
menikahkan putrinya sementara dia tidak senang, maka nikahnya tertolak
(tidak sah).”
Penjelasan ringkas:
Di
antara kemuliaan yang Allah Ta’ala berikan kepada kaum wanita setelah
datang Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak penuh dalam menerima atau
menolak suatu lamaran atau pernikahan, yang mana hak ini dulunya tidak
dimiliki oleh kaum wanita di zaman jahiliah. Karenanya tidak boleh bagi
wali wanita manapun untuk memaksa wanita yang dia walikan untuk menikahi
lelaki yang wanita itu tidak senangi.
Karena
menikahkan dia dengan lelaki yang tidak dia senangi berarti menimpakan
kepadanya kemudharatan baik mudharat duniawiah maupun mudharat diniah
(keagamaan). Dan sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam telah
membatalkan pernikahan yang dipaksakan dan pembatalan ini menunjukkan
tidak sahnya, karena di antara syarat sahnya pernikahan adalah adanya
keridhaan dari kedua calon mempelai.
Akan
tetapi larangan memaksa ini bukan berarti si wali tidak punya andil
sama sekali dalam pemilihan calon suami wanita yang dia walikan. Karena
bagaimanapun juga si wali biasanya lebih pengalaman dan lebih dewasa
daripada wanita tersebut. Karenanya si wali disyariatkan untuk
menyarankan saran-saran yang baik lalu meminta pendapat dan izin dari
wanita yang bersangkutan sebelum menikahkannya. Tanda izin dari wanita
yang sudah janda adalah dengan dia mengucapkannya, sementara tanda izin
dari wanita yang masih perawan cukup dengan diamnya dia, karena biasanya
perawan malu untuk mengungkapkan keinginannya.
Berikut beberapa fatwa ulama seputar permasalahan ini.
Perbuatan Seorang Ayah Memaksa Putrinya untuk Menikah adalah Haram
Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah ditanya:
Saya
memiliki saudara perempuan seayah, kemudian ayah saya menikahkannya
dengan laki-laki tanpa keridhaannya dan tanpa meminta pertimbangan
kepadanya, padahal dia telah berumur 21 tahun. Ayah saya telah
mendatangkan saksi palsu atas akad nikahnya, bahwa dia (saudari saya)
menyetujui akan hal tersebut. Dan ibunya ikut terjerumus menjadi
pengganti dia dalam mengadakan akad. Demikianlah, akad pun selesai dalam
keadaan saudari saya senantiasa meninggalkan suaminya tersebut. Apa
hukum akad nikad itu dan persaksian palsu tersebut?
Maka beliau rahimahullah menjawab:
Saudari
perempuan tersebut, apabila dia masih gadis dan dipaksa oleh ayahnya
untuk menikah dengam laki-laki tersebut, sebagian ahlul ilmi berpendapat
sahnya nikah tersebut. Dan mereka memandang bahwa sang ayah berhak
untuk memaksa putrinya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak
disenangi putrinya apabila laki-laki tersebut sekufu’ [1] dengannya.
Akan tetapi pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini, bahwasanya
tidak halal bagi sang ayah atau selainnya memaksa anak yang masih gadis
untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya, meskipun sekufu’.
Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Wanita gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya.”
Ini umum, tidak ada seorang wali pun yang dikecualikan darinya. Bahkan telah warid dalam “Shahih Muslim”:
“Wanita gadis, ayahnya harus minta izin kepadanya.”
Hadits
ini memberikan nash atas wanita gadis dan nash atas ayahnya. Nash ini,
apabila terjadi perselisihan (antara ayah dan putrinya), maka wajib
untuk kembali kepada nash ini. Berdasarkan hal ini, maka perbuatan
seseorang memaksa putrinya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak
disukainya adalah perbuatan haram. Sedang sesuatu yang haram tidak sah
dan tidak pula berlaku. Sebab pemberlakuan dan pengesahannya
bertentangan dengan larangan yang warid dalam masalah ini. Dan apa saja
yang dilarang syariat ini maka sesungguhnya menginginkan dari umat ini
agar tidak mengaburkan dan melakukannya. Kalau kita mengesahkan
pernikahan tersebut, maknanya kita telah mengaburkan dan melakukan
larangan tersebut serta menjadikam akad tersebut sama dengan akad nikah
yang diperbolehkan oleh Pembuat syariat ini. Ini adalah suatu perkara
yang tidak boleh terjadi. Maka berdasarkan pendapat yang rajih ini,
perbuatan ayah anda menikahkan putrinya tersebut dengan laki-laki yang
tidak disukainya adalah pernikahan yang fasid (rusak), wajib untuk
mengkaji ulang akad tersebut di hadapan pihak mahkamah.
Adapun
bagi saksi palsu, maka dia telah melakukan dosa besar sebagaimana
tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau
bersabda:
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar?”
Kemudian beliau pun menyebutkannya dan pada waktu itu beliau bersandar kemudian duduk dan mengatakan
“Maukah
aku kabarkan kepada kalian tentang dosa besar yang paling besar? Maka
kami (para shahabat) menjawab: “Tentu ya Rasulullah!” Beliau bersabda:
“Menyekutukan Allah Azza wa Jalla dan durhaka kepada orang tua.” Pada
waktu itu beliau bersandar kemudian duduk seraya mengatakan: “Ingatlah,
dan perkataan dusta, ingatlah, dan perkataan dusta, ingatlah, dan
persaksian palsu…!” Beliau terus mengulanginya hingga para shahabat
mengatakan, “Semoga beliau diam”.
Mereka
adalah orang-orang yang telah melakukan persaksian palsu. Wajib bagi
mereka untuk bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan mengatakan
perkataan yang haq (benar), dan hendaknya dia menjelaskan kepada hakim
yang resmi bahwa mereka telah melakukan persaksian palsu dan bahwasanya
mereka mencabut kembali persaksian tersebut. Demikian juga si ibu, yang
mana dia telah terjerumus menggantikan putrinya dengan dusta, dia telah
berdosa dengan perbuatan tersebut dan wajib baginya untuk bertaubat
kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak melakukan kembali perbuatan yang
semisalnya. [Fatawa Al-Mar'ah]
Tidak Boleh Seorang Ayah Memaksa Putranya untuk Menikah dengan Wanita yang Tidak Disenanginya
Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin juga ditanya:
Apa
hukumnya jika seorang ayah ingin menikahkan putranya dengan wanita yang
bukan shalihah? Dan apa hukumnya apabila dia tidak mau menikahkannya
dengan wanita yang shalihah?
Maka beliau rahimahullah pun memberi jawaban:
Tidak
boleh seoramg ayah memaksa putranya untuk menikahi wanita yang tidak
disukainya, baik dikarenakan aib yang ada pada wanita tersebut berupa
aib dien, tubuhnya atau akhlaknya. Betapa banyak orang-orang yang
menyesal ketika memaksa anak-anaknya untuk menikah dengan wanita-wanita
yang tidak disukainya. Akan tetapi, dia mengatakan: “Nikahilah dia,
sebab dia itu anak saudaraku atau karena dia itu dari kabilahmu” dan
alasan yang lainnya. Maka tidak mengharuskan bagi si anak untuk
menerimanya dan tidak boleh bagi orang tua untuk memaksa putranya agar
menikahi wanita tersebut. Demikian juga, kalau seandainya si anak ingin
menikah dengan wanita yang shalihah, kemudian sang ayah
menghalang-halanginya, maka hal itu tidak mengharuskan bagi si anak
untuk mentaatinya, apabila si anak memang senang dengan wanita shalihah
tersebut dan ayahnya mengatakan, “Kamu tidak boleh nikah dengannya!”
maka boleh baginya untuk menikah dengan wanita tersebut walaupun
dihalang-halangi oleh ayahnya. Sebab seorang anak tidak harus taat
kepada ayahnya dalam perkara yang tidak membahayakan ayahnya, bahkan
justru bermanfaat bagi ayahnya. Kalau kita katakan bahwasanya wajib bagi
seorang anak menaati orang tuanya dalam segala sesuatu hingga dalam
permasalahan yang di dalamnya terdapat manfaat bagi si anak dan tidak
membahayakan ayahnya, niscaya akan timbul berbagai kerusakan. Akan
tetapi dalam keadaan seperti ini, hendaknya seorang anak bersikap luwes
terhadap ayahnya, lemah lembut dalam memahamkannya dan semampunya
berusaha agar ayahnya merasa lega. [Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makky,
jilid 3 hal. 224]
Hukum Nikah Paksa bagi Janda
Samahatusy
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya tentang hukum seorang anak
perempuan yang dinikahkan ayahnya tanpa ada ridha darinya, di mana
ketika itu ia telah menjanda, ia telah menikah sebelumnya dengan seorang
pria.
Jawaban:
Apabila
kondisinya sebagaimana yang anda gambarkan maka nikahnya yang terakhir
adalah tidak sah. Karena termasuk syarat-syarat pernikahan adalah adanya
ridha dari kedua pasangan (suami-istri). Seorang janda tidak boleh
dipaksa oleh ayahnya apabila ia telah berumur lebih dari 9 tahun (para
ulama dalam hal ini pendapatnya sama). [Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh
Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 80]
Hukum Seorang Janda yang Dipaksa Menikah oleh Ayahnya
Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya tentang hukum seorang janda yang dipaksa ayahnya untuk menikah.
Jawaban:
Khusus
pernikahan seorang wanita dengan lelaki putra pamannya, sementara ia
dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengan lelaki itu dalam kondisi
sebagai seorang janda yang baligh, sehat akalnya dan kesadarannya.
Sekarang pernikahan dengan putra pamannya itu telah berjalam selama 10
tahun dalam keadaan suaminya belum pernah menggaulinya. Ia tidak pernah
merasa ridha kepada lelaki itu dan sekarang keadaannya semakin buruk. Ia
selalu mendesak lelaki itu untuk memutus ikatan pernikahannya.
Kami
simpulkan untuk anda, di mana telah jelas di hadapan anda adanya unsur
paksaan dari ayah sang wanita untuk melakukan pernikahan dengan putra
pamannya. Sedangkan kondisi ketika itu ia seorang janda yang baligh dan
berakal sehat, maka pernikahannya itu adalah tidak sah. Karena termasuk
syarat sahnya sebuah pernikahan adalah adanya keridhaan dari calon
pasangan suami-istri. Bila keduanya tidak ridha atau salah satunya tidak
ridha maka pernikahannya tidak sah.
Di
dalam pemaksaan seorang ayah kepada anak-anaknya yang masih di bawah
umur dan kepada anak-anaknya yang terganggu akalnya (abnormal), juga
kepada anak yang masih gadis (bukan janda) untuk melakukan pernikahan,
maka dalam hal ini ada dua pendapat.
Sedangkan
bagi janda yang telah baligh dan berakal sehat, maka tidak ada khilaf
(perselisihan ulama) bahwa sang ayah tidak berhak untuk memaksamya dan
ini adalah pendapat mayoritas ulama. Karena telah diriwayatkan bahwa
Al-Khansa bintu Haram Al-Anshariyyah meriwayatkan bahwa ayahnya pernah
memaksa ia untuk menikah sementara ia dalam keadaan menjanda. Ia
menolaknya dan kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam selanjutnya beliau membatalkan pernikahannya. [Fatawa wa Rasail
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 85-86]
Seorang Anak Perempuan Dinikahkan oleh Ayahnya ketika Masih di Bawah Umur dan ketika Dewasa Ia Merasa Tidak Ridha
Samahatusy
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya tentang hukum seorang anak
perempuan yang diserahkan oleh ayahnya kepada seorang lelaki untuk
dinikahi, sementara usianya masih kecil, lalu sang ayah meninggal dunia.
Setelah
anak perempuan itu baligh, ia menolak penyerahan dirinya yang dilakukan
ayahnya dulu, dan ia merasa tidak ridha kepada lelaki (suaminya) itu
yang dulu ayahnya telah menyerahkan dirinya kepadanya.
Jawaban:
Apabila
keadaannya adalah sebagaimana yang disebutkan, maka tidaklah perbuatan
penyerahan yang dimaksud sebagai cara menikahkan yang sah, tidak pula
wanita itu dianggap sebagai istri bagi pria tersebut hanya dengan
sekedar melakukan apa yang anda sebutkan itu, karena tidak lengkapnya
syarat-syarat dari akad nikah yang sah. [Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh
Muhammad bin Ibrahim jilid 10 hal. 78.
Hukum Menikahkan Seorang Perempuan Yatim tanpa Seijinnya
Fadhilatusy Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya:
Apakah boleh menikahkan seorang anak perempuan yatim tanpa seijinnya?
Jawaban:
Seorang
perempuan yatim tidak dibenarkan untuk dinikahkan oleh saudara
laki-lakinya kecuali dengan persetujuannya. Dan bentuk persetujuan
seorang janda adalah dengan ucapan lisan dan ijinnya, sedangkan
persetujuan dari seorang gadis bisa dengan ucapan lisannya bisa pula
dengan sikap diamnya sepanjang ia tidak mengucapkan kata "tidak".
Bila
ibunya, bibinya (dari jalur ibu), atau saudara perempuannya mengatakan
bahwa ia ridha sebelum ia mengatakannya sendiri, maka tidak perlu ada
persaksian (pernyataan) langsung atas persetujuannya. Kecuali bila
dikhawatirkan bahwa saudara laki-lakinya atau walinya ingin memaksanya
untuk melakukan pernikahan, maka harus ada persaksian (pernyataan)
langsung atas persetujuannya. [Al-Majmu'ah Al-Kamilah li Muallafat
Asy-Syaikh As-Sa'di hal. 349/7]
Menikahkan Seorang Anak Perempuan dengan Lelaki yang tidak disukainya
Fadhilatusy Syaikh Abdurrahman As-Sa’di ditanya:
Apakah boleh memaksa seorang anak perempuan untuk menikah dengan lelaki yang tidak disukainya?
Jawaban:
Tidak
boleh bagi ayah perempuan itu untuk memaksa dan tidak boleh pula bagi
ibunya untuk memaksa anak perempuan itu menikah, meski keduanya ridha
dengam keadaan agama dari lelaki tersebut. [Al-Majmu'ah Al-Kamilah li
Muallafat Asy-Syaikh As-Sa'di hal. 349/7]
Wallahu a’lam bish-shawab.
Footnote:
[1] Lihat pengertian kufu di Batasan Kufu dalam Nikah
Referensi:
-
Bingkisan ‘tuk Kedua Mempelai karya Abu ‘Abdirrahman Sayyid bin ‘Abdirrahman Ash-Shubaihi (alih bahasa: Abu Hudzaifah), penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’, hal. 451-456.
-
Fatwa-fatwa Ulama Ahlus Sunnah Seputar Pernikahan, Hubungan Suami Istri dan Perceraian disusun oleh Amin bin Yahya Ad-Duwaisi (penerjemah: Abu Abdirrahman Muhammad bin Munir), penerbit: Qaulan Karima, hal. 23-28.
-
Al-Haddad, Tharir, 1993, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, Pustaka Firdaus, Jakarta.
-
Djatnika, Rahmat, 1991, “Sosialisasi Hukum Islam” Dalam Abdurrahman Wahid, (et.al.)
-
Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Rosda Karya, Bandung.
-
Engineer, Asghar Ali, 1994, Hak-hak Perempuan dalam Islam, LSPPA & CUSO, Yogyakarta.
-
Nasution, Khoiruddin, 2002, Status Wanita di Asia Tenggara, INIS, Jakarta.
-
Mahmood, Thahir, 1987, Personal Law ini Islamic Countries, Academy of Law and Religion,
-
New Delhi.
-
Rafiq, Ahmad, 1995, Hukum Islam di Indonesia, PT. Rajawali Pers, Jakarta
-
Shihab, M. Quraish, 1996, Wawasan Al Qur’an, Mizan, Bandung.
-
Syarifuddin, Amir, 1990, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Padan
by: http://lordbroken.wordpress.com/2011/12/23/janganlah-menikah-karena-paksaan-memaknai-perjodohan-yang-dipaksakan-dalam-sudut-pandang-hukum-negara-dan-hukum-agama-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com