Tanggal 17 setiap bulan Agustus kita memperingati
hari kemerdekaan negeri kita. Pertanyaan klasik tapi selalu relevan
untuk dipertanyakan: apakah kita sudah benar-benar merdeka?
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka artinya bebas dari penghambaan,
penjajahan, dll; berdiri sendiri; tidak terkena atau lepas dari
tuntutan; tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak
tertentu; atau leluasa. Dari definisi ini, mari kita bertanya kembali:
apakah kita sudah benar-benar merdeka?
Kita memang sudah merdeka
dari penjajahan secara fisik. Namun kita harus sadar bahwa kita sekarang
ini sebetulnya masih terkungkung dan terbelenggu oleh penjajahan yang
bersifat nonfisik.
Negeri kita adalah negeri yang kaya dengan
berbagai macam sumber daya alam, baik yang terpendam didalam tanah,
diatas tanah, maupun yang ada di lautan kita yang luas. Namun semua itu
seolah-olah tidak ada bekasnya. Negara-negara kapitalis telah mengeruk
dan mengeksploitasinya. Kapal-kapal asing dengan leluasa menjarah hasil
lautan kita. Bahkan negeri kita justru dililit utang yang luar biasa
jumlahnya, yang kita sendiri belum tahu berapa generasi lagi hutang itu
bisa kita lunasi. Apakah ini yang disebut kemerdekaan?
Angka kemiskinan begitu tinggi. Harga-harga semakin
melonjak, sementara rupiah semakin anjlok. Dimana-mana rakyat harus
antre untuk bisa mendapatkan minyak tanah, minyak goreng, beras murah,
dan sebagainya. Biaya pendidikan semakin lama semakin mahal. Lapangan
kerja sedemikian sulit. Rakyat menjerit! Apakah ini yang disebut
kemerdekaan?
Secara politik, apakah negara kita juga sudah
benar-benar merdeka dan berdaulat? Betapa seringnya kita tidak berani
untuk mengambil sikap dan keputusan politik yang benar-benar kita mau
karena takut dengan bayang-bayang hegemoni asing. Demikian pula
berbicara soal martabat, apakah negara kita punya martabat di mata
dunia? Silakan Anda jawab sendiri.
Bentuk lain dari penjajahan
gaya baru, yang bersifat nonfisik, adalah penjajahan opini. Para
penjajah baru yang berusaha melanggengkan kekuatan kapitalisme global
dalam rangka menguasai dunia, termasuk menguasai negeri kita, telah
mensosialiasikan dan mempermainkan berbagai macam isu untuk memuluskan
agenda-agenda mereka. Diantara isu-isu tersebut adalah HAM,
demokratisasi, jender, dan perdagangan bebas. Mereka berusaha
mempermainkan isu-isu tersebut sembari menerapkan standar ganda yang
sangat hipokrit.
Disamping itu, yang tidak kalah hebatnya adalah
penjajahan budaya. Kita telah melihat dengan mata kepala kita sendiri
bagaimana budaya-budaya asing yang hedonis, materialis, dan merusak
telah merasuk dan menjadi gaya hidup bangsa kita. Kita adalah bangsa
yang mayoritas muslim, bahkan yang populasi muslimnya terbesar di dunia,
namun mengapa budaya dan gaya hidup yang tidak islami jauh lebih hidup
di tengah-tengah kita daripada budaya dan gaya hidup yang islami? Inilah
serangan budaya yang sengaja dilancarkan kepada kita agar kita
senantiasa terlena, lemah dan terus terjajah.
Merdekakan Diri Sendiri
Segala
yang besar berasal dari yang kecil. Agar bangsa ini bisa benar-benar
merdeka, setiap orang terlebih dulu harus memerdekaan dirinya sendiri.
Diri kita disebut merdeka jika tidak menghambakan diri kepada sesuatu
pun kecuali kepada Allah, satu-satunya Dzat yang memang layak
mendapatkan penghambaan. Jika diri kita masih terbelenggu, terkungkung
dan diperbudak oleh syetan, hawa nafsu, harta benda, kekuasaan, dan
sebagainya maka itu berarti kita masih belum merdeka. Kita masih
terjajah!
Pada dasarnya setiap manusia dilahirkan dalam keadaan
fitrah, yakni dalam keadaan bertauhid kepada Allah, terbebas dari
berbagai macam penghambaan kepada selain Allah. Umat bin Khattab suatu
ketika mengingatkan dengan keras seorang gubernurnya yang hendak
memperbudak dan menzhalimi rakyatnya: “Apakah engkau hendak memperbudak
manusia yang telah dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka?”
Islam
adalah agama tauhid. Olah karena itu, jika seseorang menjadikan Islam
sebagai agama dan jalan hidupnya secara konsisten, maka ia akan
senantiasa menjadi pribadi yang merdeka. Para sahabat dan para pendahulu
kita ketika mendakwahkan Islam kepada umat manusia di berbagai belahan
dunia biasa menyampaikan pesan bahwa Islam adalah agama yang
mengeluarkan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan
kepada Allah semata. Bagaimana dengan diri kita saat ini? Apakah kita
telah menghambakan diri hanya kepada Allah semata, dan terbebas dari
penghambaan kepada sesama, syetan, hawa nafsu, harta benda, kekuasaan,
dan sebagainya? Mari bertanya pada diri kita masing-masing.
Mensyukuri Kemerdekaan
Ketika
Rasulullah dan para sahabat menaklukkan Kota Mekkah, mereka tidak
merayakan keberhasilan itu dengan berpesta, bersulang, minum minuman
keras, atau menyaksikan para biduan dan penari wanita. Sebaliknya,
mereka justru diperintahkan oleh Allah untuk beristighfar, bertasbih,
dan memuji Allah.
Anehnya, saat ini umat Islam dan bangsa
Indonesia seringkali mengadakan pesta ulang tahun hari kemerdekaan
dengan acara-acara yang melupakan dan melenakan diri. Acara kadang diisi
dengan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan perayaan hari
kemerdekaan, bahkan bertentangan dengan aturan Allah yang telah memberi
karunia kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Bukankah kemerdekaan yang
kita raih adalah karena karunia dan rahmat Allah? Lihatlah dalam
pembukaan UUD 1945, disana tercantum bahwa ”Atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa bangsa Indonesia telah mencapai kemerdekaannya”.
Lalu
mengapa para pejabat, tokoh masyarakat dan rakyat mengadakan acara hari
kemerdekaan dengan segala hal yang sia-sia? Bahkan melanggar norma-norma
agama? Sungguh suatu perbuatan yang naif sekali! Acara-acara yang
menghiasai hari kemerdekaan seperti itu bukan saja “kurang ajar” kepada
Tuhan yang memberi nikmat kemerdekaan, tetapi juga “kurang ajar” kepada
para pahlawan yang telah gugur demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia.
Kadang, acara-acara itu tidak ada barang sejenak pun mengingat
perjuangan para pahlawan dan mendoakan mereka. Yang ada hanya hura-hura
dan sebagian lagi penuh dengan kemaksiatan. Anehnya, terkadang
acara-acara tersebut didukung oleh para pejabat, tokoh masyarakat atau
mereka yang dihormati oleh masyarakatnya. Jika itu telah membudaya di
tengah-tengah bangsa ini, bagaimana generasi masa depan akan menghargai
para pahlawannya?
Inilah saat untuk mengintrospeksi diri.
Perjuangan masih belum selesai. Kita masih harus melanjutkan perjuangan
para pahlawan yang telah gugur mendahului kita. Sebagaimana dahulu
mereka meneriakkan ’merdeka atau mati’ maka saat ini pun kita
meneriakkan yel-yel yang sama: ’merdeka atau mati’. Maknanya, kita akan
berjuang sekuat tenaga untuk menjadikan bangsa ini benar-benar merdeka,
merdeka dengan sebenar-benarnya, meski harus ditebus dengan kematian.
by: http://menaraislam.com/content/view/147/47/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com