Tommy benci dengan kehidupan barunya. Terlebih dia membenci ayah
tirinya. Jason adalah pria yang baik. Dia memperlakukan Tommy seperti
anaknya sendiri. Tapi Tommy tidak menginginkan ayah baru. Dia ingin
ayahnya. Matanya kembali basah setiap kali dia mengingat tentang
ayahnya. Kecelakaan mengerikan itu telah merenggut ayah yang
dicintainya untuk selamanya. Dia masih ingat betul hari itu. Saat dia
melihat ayahnya untuk terakhir kalinya. Ayahnya sedang bersiap-siap
masuk ke dalam mobil dan berangkat ke kantor. Saat itu Tommy sedang
marah kepada ayah dan ibunya karena mereka tidak mengijinkannya untuk
ikut berlibur bersama keluarga Randy sahabatnya ke hawaii. Ayahnya
berbalik dan menatap Tommy yang berdiri di ambang pintu. Wajahnya tampak
ragu sejenak.
''Tommy, kau anak yang pintar. Lakukanlah apa yang
menurutmu baik. Tapi kau harus mempertimbangkan konsekuensinya. Waktu
tidak dapat diputar kembali. Jadi pikirlah matang-matang sebelum kau
bertindak''.
Setelah berkata demikian, ayah Tommy tersenyum lalu berjalan ke arah mobilnya di depan jalan.
''Aku benci pada papa'' kata Tommy lalu masuk kembali ke dalam rumah dengan perasaan marah dan kecewa.
Dan begitulah Tommy melihat ayahnya dalam keadaan hidup untuk terakhir
kalinya. Karena beberapa saat kemudian mereka menerima sebuah telepon
yang mengubah kehidupan mereka untuk selamanya.
Ayahnya tewas dalam sebuah kecelakaan beruntun di sebuah persimpangan jalan hanya beberapa blok dari rumah mereka.
Kematian ayahnya meninggalkan sebuah lubang tanpa dasar yang tidak bisa
ditutupi oleh Tommy tak peduli apapun yang dilakukannya.
Ayahnya
bukan hanya sekedar sosok seorang pria yang menasehati putranya karena
sebuah kenakalan atau teman bermain softball. Ayahnya adalah sahabat
sejatinya.
Dia selalu terbuka pada ayahnya dan hubungan mereka begitu erat dan dalam.
Keesokan harinya setelah pemakaman ayahnya yang terasa begitu berat
untuk dijalani, Tommy terbangun dari tidurnya dan berharap semua hanya
mimpi buruk terburuk yang pernah dialaminya. Dia berharap ayahnya
baik-baik saja. Dia melompat dari tempat tidur dan berlari ke ruang
makan, berharap melihat ayahnya sedang duduk membaca koran di meja makan
sambil menikmati secangkir kopi seperti yang biasa dilakukannya setiap
pagi. Tapi saat melihat sosok ibunya yang sedang duduk seorang diri di
ruang makan dengan mata sembab dan ekspresi duka mendalam di wajahnya,
dia seakan tersadar bahwa kematian ayahnya bukanlah sebuah mimpi buruk.
Itu adalah kenyataan pahit yang harus dijalaninya seumur hidup.
Tommy berubah drastis setelah kepergian ayahnya.
Da menjadi pendiam dan selalu mengurung diri di dalam kamarnya.
Dia keluar dari tim softball di sekolahnya dan memilih untuk
menghabiskan waktu luang untuk mengurung diri di dalam kamar bermain
dengan koleksi-koleksi model pesawat terbangnya. Jika ada satu kesamaan
yang paling berarti antara Tommy dan ayahnya, itu adalah ketertarikan
mereka pada pesawat. Ayah Tommy dulu bercita-cita ingin menjadi seorang
pilot, tapi karena masalah finansial, dia harus mengubur mimpinya. Dia
pun mulai mengoleksi model dan miniatur pesawat terbang. Hobi ini tidak
berhenti bahkan sampai dia bertemu dengan ibu Tommy dan mereka akhirnya
menikah.
Tommy mulai dikenalkan dengan hobi ayahnya ini saat dia
berumur delapan tahun. Mereka lalu mulai mengoleksi berpuluh-puluh model
pesawat dan merakit miniatur rancangan mereka sendiri. Setiap akhir
pekan, mereka akan menghabiskan waktu berjam-jam diruang bawah tanah
untuk membuat skema, merancang, dan merakit model buatan mereka sendiri.
Ketika Tommy memasuki fase remaja, hubungannya dengan ayahnya menjadi
renggang. Hal ini disebabkan karena gejolak hormon ditubuhnya yang
membuatnya berpikir bahwa dia bukan anak kecil lagi dan tidak ingin
diperlakukan seperti itu. Dia mulai merasa perhatian ayahnya kepadanya
terlalu kekanak-kanakkan. Dia bahkan tidak suka lagi saat ayahnya
memanggilnya Tom Kiddo.
Tommy mulai sibuk dengan teman-temannya dan dunia sendiri.
Sampai kemudian kecelakaan mengerikan itu terjadi dan membawa ayahnya pergi untuk selamanya.
Tommy merasa sangat menyesal telah memperlakukan ayahnya dengan kasar
selama ini. Dia tenggelam dalam penyesalannya sendiri dan menolak segala
kebaikan dari orang-orang di sekitarnya.
Tiga tahun setelah
kepergian ayahnya, ibunya menikah lagi dengan Jason, sahabat ayahnya.
Tommy bukannya benci atau tidak suka pada Jason. Dia adalah pria yang
baik dan menganggap anak-anak sahabatnya sebagai anaknya sendiri. Tapi
Tommy benci dengan fakta bahwa ibunya begitu cepatnya melupakan ayahnya.
Ketika Tommy mengkonfrontasi ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan marah,
ibunya hanya menjawab ''Ayahmu akan selalu menjadi bagian dari
kehidupan kita, Tommy. Kita semua menyayanginya. Tapi kita juga harus
melanjutkan hidup kita. Ibu yakin, itulah yang paling diinginkan ayahmu
sekarang ini''.
Tommy merasa sangat dikhianati oleh ibunya sendiri.
Saat anak dari pernikahan ibunya dan Jason lahir, Tommy merasa sedikit
terhibur memiliki seorang saudara untuk berbagi. Duncan adalah saudara
yang baik walaupun dia sedikit usil dan suka mencampuri urusan orang
lain.
Tahun-tahun berlalu dan Tommy masih tidak bisa merelakan
kepergian ayahnya. Hubungannya dengan ibunya semakin menjauh dan dia
menyambut persahabatan yang ditawarkan Jason dengan dingin.
Suatu hari sepulang kuliah Tommy merasa sangat lapar dan lelah. Dia masuk ke dalam dapur dan mengambil sekotak susu dingin.
Suasana rumah sepi. Ibunya dan Jason belum pulang.
Duncan pasti sedang bermain video game dikamarnya.
Dia baru saja akan meneguk minumannya saat tanpa sengaja tangannya menyenggol sebuah gelas diatas meja makan.
Gelas itu jatuh ke lantai dengan bunyi keras memekakkan telinga dan pecah menjadi serpihan-serpihan kaca.
Sambil mengumpat-umpat dalam hati Tommy bergegas mengambil kotak sampah di ruang tengah.
Dia menundukkan badan lalu memungut pecahan-pecahan gelas itu dengan hati-hati.
Saat itulah dia melihat gagang bundar dari pintu kecil ruang bawah tanah rumahnya, tersembunyi dibawah rak piring.
Tommy mengernyitkan keningnya.
Dia sama sekali sudah lupa pada ruangan itu.
Dia bergegas membereskan kekacauan yang baru saja dibuatnya lalu mendorong rak piring itu sekuat tenaga.
Berlusin-lusin piring dan gelas bergetar pelan saat Tommy akhirnya
berhasil menyingkirkan rak itu dari atas pintu ruang bawah tanah
dilantai.
Tommy menarik gagang pintu itu dan pintunya langsung membuka dengan bunyi berderit pelan.
Sekarang pintu itu tampak seperti sebuah lubang persegi yang gelap dan sempit.
Dibawah sangat gelap. Dia tidak bisa melihat apa-apa.
Dikuasai oleh rasa penasarannya, Tommy mengambil senter lalu turun ke bawah.
Anak-anak tangga kayunya berderit keras setiap kali Tommy menginjakkan kakinya.
Udara di dalam ruangan itu terasa pengap dan lembab.
Tommy meraba-raba permukaan dinding disampingnya, mencari-cari tombol lampu, berharap lampu itu masih bisa bekerja.
Saat tangannya berhasil menemukan tombol itu, dia menekannya dengan
bunyi 'klik' pelan dan seluruh ruangan itu langsung dibanjiri oleh
cahaya kekuningan.
Tommy mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya terang tiba-tiba itu.
Dia memandang sekeliling dan mendapati ruangan itu dipenuhi oleh kardus-kardus besar yang kotor dan penuh sarang labah-labah.
Dia mendekat dan mengamati lebih dekat.
Dibukanya salah satu kardus itu dan dia langsung tertegun.
Berlembar-lembar pakaian yang telah dilipat rapi menumpuk di dalam.
Pakaian ayahnya.
Tommy mengambil T-Shirt ditumpukan teratas dan dia bisa mengingat baju
itu adalah salah satu baju yang biasa di kenakan ayahnya dirumah.
Tanpa terasa air matanya mengalir turun.
Kenangan akan ayahnya kembali menguasainya.
Dia memeriksa semua pakaian itu satu persatu dan semua ingatan masa
kecilnya tentang ayahnya kembali padanya seperti potongan-potongan
adegan dalam sebuah film.
Dia memeriksa kardus-kardus yang lain dan menemukan barang-barang ayahnya.
Sepatu, alat-alat pertukangan, jaket, kaos kaki, semua barang-barang pribadi ayahnya.
Air mata Tommy mengalir semakin deras.
Dia sudah tidak sanggup lagi melihat semua barang-barang ini.
Dia mundur dan menyandarkan diri di tangga lalu duduk sambil terisak-isak pelan.
Sepuluh menit berlalu dan dia masih belum bisa menguasai dirinya.
Dia benar-benar tidak menyangka akan menemukan semua properti pribadi
ayahnya. Benda-benda yang dipakai oleh ayahnya saat dia masih hidup.
Sebelum kecelakaan mengerikan itu...
Dia menangis dan menumpahkan semua emosinya di dalam ruang bawah tanah itu.
Saat dia akhirnya berhasil menguasai dirinya dia berdiri sambil membasuh wajahnya yang basah oleh air mata dan peluh.
Saat itulah dia melihat lorong itu.
Tersembunyi di sudut ruangan oleh rak buku tua yang reot dan kotor.
Merasa penasaran Tommy menyingkirkan rak itu dan mengintip ke dalam lorong gelap itu.
Diujung sana dia melihat sebuah tangga yang menuju keatas.
Lorong itu hanya diterangi cahaya samar yang berasal dari pantulan cahaya diruangan utama ke dinding.
Tommy melangkah masuk dengan penasaran, bertanya-tanya menuju kemana kira-kira tangga itu.
Dia berjalan sampak akhirnya dia tiba diujung lorong, tepat didepan tangga itu.
Dia menengadah ke atas dan dengan pelan melangkah naik.
Tangga itu terasa goyah dan bisa ambruk kapan saja.
Tommy bergerak dengan hati-hati.
Ketika dia akhirnya tiba di anak tangga teratas dia mendorong pintu kayunya dengan pelan, nyaris tanpa paksaan.
Daun pintu itu mengayun keluar dengan bunyi derit keras.
Dia melangkah keluar dan mendapati dirinya berada di dalam gudang kayu yang sangat di kenalinya.
Gudang itu berada di halaman belakang rumahnya dan penuh dengan barang-barang yang sudah tidak dipergunakan lagi.
Tommy melangkah keluar dan cahaya matahari yang menyilaukan langsung menyambutnya.
Dia memandang berkeliling.
Merasa ada yang sangat aneh.
Rumahnya terasa berbeda walaupun dia sendiri tidak bisa menjelaskan apa itu.
Mungkin ini karena aku terlalu lama berada dibawah sana, pikirnya.
Dia menggelengkan kepalanya lalu melangkah dengan berat menuju pintu
belakang. Matahari berada diatas kepala dan bersinar dengan sangat
terik.
Saat itulah terdengar suara dari dalam rumah.
Suara seorang pria yang sedang tertawa.
Tommy berhenti ditengah gerakannya dan menatap ke depan.
Pintu belakang mengayun terbuka dan seorang pria melangkah keluar.
Pria yang sangat dikenalnya.
Pria yang telah ingin ditemuinya selama bertahun-tahun.
Ayahnya.
Tommy mengedip-ngedipkan matanya dengan tidak percaya.
Ayahnya, ayah yang telah dirindukannya sejak dia masih kanak-kanak sekarang berdiri dihadapannya.
Apakah ini mimpi???? Pikirnya dengan jantung berdegup kencang.
Apakah ini hanya semacam ilusi???
Sepuluh tahun sudah berlalu semenjak dia terakhir melihat ayahnya, tapi dia masih bisa mengingat suara ayahnya dengan jelas.
Dia mengenali gerakan tubuhnya, setiap detil dan caranya berbicara.
Ayahnya sedang menaruh tumpukan balok kayu diatas rak kayu kecil diteras belakang rumah mereka.
Tommy ingat rak kayu itu.
Rak kayu itu yang baru saja dilihatnya diruang bawah tanah.
Ada apa ini....... Pikir Tommy dengan takjub.
Ayahnya mengenakan kaos putih yang dikenalinya. Dia tampaknya tidak menyadari kehadiran Tommy disitu.
Terlalu takjub dan kaget, Tommy tidak berani melangkah lebih dekat.
Ini terlalu aneh..... Terlalu mustahil.
Ayahnya menoleh dan tampak terkejut melihat Tommy disitu. Dia
meninggalkan pekerjaannya dan berjalan mendekat untuk melihat lebih
dekat.
''Hai... Ada yang bisa kubantu, Nak?'' tanya ayahnya.
Pertanyaan itu mungkin bisa sangat mengagetkan. Tapi Tommy masih terlalu
senang mendengar suara itu setelah bertahun-tahun lamanya.
''Papa... '' seru Tommy dengan suara terbata-bata.
Ayahnya menatapnya dengan heran.
Tanpa sadar Tommy mendapati dirinya berlari mendekat menuju ayahnya.
Dia langsung memeluk pria itu dengan rasa haru dan bahagia luar biasa sambil menangis.
''Papa... Aku tidak percaya ini....'' isaknya, masih memeluk ayahnya dengan erat.
''Kau... Kau hidup.... Apakah ini cuma mimpi???''
Dia melepaskan ayahnya dan menatap wajahnya dengan penuh haru.
Ayahnya balas menatapnya dengan bingung.
''Nak, apa kau baik-baik saja???'' tukasnya.
''Apa maksud Papa? Tentu saja aku baik-baik saja. Aku lebih dari baik-baik saja. Aku luar biasa bahagia.'' jawab Tommy.
Dia memeluk ayahnya lagi dengan erat. Air matanya masih mengalir dengan deras.
Ayahnya yang sangat dirindukannya ada dihadapannya sekarang.
Kalau ini sebuah mimpi, ini terlalu nyata.
Dia bahkan bisa merasakan kehangatan tubuh ayahnya saat dia memeluknya.
Ini terlalu nyata untuk menjadi sebuah mimpi.
''Nak, apa kau butuh bantuan?'' tanya ayahnya lagi.
Tommy melepaskan pelukannya dan melihat tatapan iba di wajah ayahnya.
Apakah dia tidak mengenaliku? Pikir Tommy.
Kenapa dia menatapku seperti itu? Seakan-akan aku orang asing.
''Papa... Kau bercanda, kan? Ini aku, To-''.
Saat itu pintu belakang terbuka. Seorang bocah laki-laki remaja melangkah keluar.
''Papa!'' teriaknya.
Dan Tommy mengenali bocah itu.
Rambut cokelatnya dan wajahnya yang berbintik-bintik.
Bocah itu adalah dirinya sendiri saat dia masih kanak-kanak.
Tommy tertegun. Dia menyadari semuanya sekarang.
Entah bagaimana caranya dia telah kembali ke beberapa tahun silam. Saat ayahnya masih hidup dan dia masih kanak-kanak.
Tentu saja ayahnya tidak mengenali dirinya yang sekarang. Dia telah
berumur dua puluh lima tahun. Tentu saja penampilan fisik terutama
wajahnya telah berbeda jauh dengan dirinya lima belas tahun yang lalu.
Bocah itu mendekat lalu berdiri disamping ayahnya dan menatap Tommy dengan penasaran.
Tommy tidak percaya dia sedang menatap dirinya sendiri.
''Tom kiddo, masuklah ke dalam, ok? Papa sedang berbicara dengan
seorang teman. Papa akan masuk sebentar lagi'' kata ayahnya pada bocah
itu.
Bocah itu mengangguk pelan lalu melangkah masuk kembali ke dalam rumah dengan patuh.
''Kau baik-baik saja. Kau tampak pucat. Kau perlu bantuan, nak?'' tanya ayahnya dengan ekspresi prihatin diwajahnya.
Tommy tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya masih berdegup dengan
kencang. ''Ayo, sepertinya kau perlu sedikit menenangkan diri'' ayahnya
lalu mengajaknya duduk diteras belakang.
Tommy terus menatap ayahnya dengan takjub.
Ini sangat luar biasa, pikirnya.
''Siapa namamu?'' tanya ayahnya begitu mereka duduk.
Tommy melepaskan jaket yang sedang dipakainya dan tampak ragu.
''Eh, Tommy'' jawabnya akhirnya.
Dia sadar dia pasti tampak seperti seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan bagi ayahnya.
''Oh, kebetulan. Nama anak saya Tommy juga'' tukas ayahnya.
Tommy menundukkan kepalanya dan berpikir keras.
Apa mungkin aku memang sudah gila, pikirnya. Ayah sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu dan sekarang dia duduk dihadapanku.
''Kau ingin segelas jus orange?'' tanya ayahnya lagi.
Tommy menganggukkan kepala tanpa berkata apa-apa.
Ayahnya tersenyum dan langsung berdiri.
''Tunggu disini,'' katanya sebelum melangkah masuk ke dalam.
Begitu ayahnya tidak tampak lagi Tommy langsung beranjan dari kursinya dan langsung berlari ke arah gudang.
Dia masuk lalu turun ke dalam tangga yang ditemukannya tadi.
Udara pengap ruang bawah tanah langsung menyambutnya.
Dia tidak berhenti berlari sampai tiba kembali di dapur.
Dia menutup pintu ruang bawah tanah itu lalu mendorong rak piring kembali pada posisinya semula.
Kotak susunya masih berada diatas meja.
Tiba-tiba dia merasa seakan-akan dia baru saja terbangun dari sebuah mimpi yang terasa begitu nyata.
Dia menatap keluar jendela dan menatap langit yang mulai gelap diluar.
Apakah aku baru saja mengalami halusinasi yang benar-benar nyata, pikirnya.
Dia mengambil posisi duduk di meja makan, kepalanya masih dipenuhi peristiwa ajaib yang baru saja dialaminya.
''Tommy, sudah berapa lama kau disitu?''
Tommy menoleh.
Adiknya Duncan sedang berdiri diujung tangga sambil menatapnya dengan heran.
''Hei... Eh, aku baru saja tiba'' jawab Tommy berbohong, menghindari tatapan penuh selidik Duncan.
Duncan mengangkat bahu.
''Tadi mama menelepon. Dia dan papa tidak akan pulang sampai jam
sepuluh. Mereka ada keperluan penting. Aku lapar sekali, Tommy. Ayo, aku
ingin makan di restoran italia di dekat sekolah'' tukas Duncan sambil
mengambil posisi duduk disamping kakaknya.
''Tommy??? Kau mendengarku? Hei...''
Tommy sadar bahwa dia tidak memperhatikan kata-kata Duncan sama sekali.
''Oh, eh, baiklah. Aku ingin membasuh tubuh dulu. Setelah itu kita makan'' katanya, masih menghindari tatapan adiknya.
Dia berdiri dan langsung menuju ke lantai atas.
Kepalanya masih dipenuhi dengan pertemuan menakjubkan dan misterius dengan ayahnya.
Keesokan paginya Tommy terbangun dengan perasaan aneh yang telah
mengganggunya dari semalam. Apakah dia bisa bertemu ayahnya lagi?
Apakah dia bisa memeluknya lagi.
Dia beranjak dari tempat tidur.
Langit diluar masih tampak gelap.
Dia melirik jam dinding dihadapannya.
Pukul lima lewat tiga menit.
Dia melangkah keluar dari kamarnya dan berjingkat-jingkat, berharap semua orang masih tidur.
Dia masuk ke dapur dan mendorong rak piring disamping lemari pendingin.
Dia menatap pintu ruang bawah tanah itu selama beberapa saat.
Sebelum dia menyadarinya, dia sudah berjalan menuruni tangga dan disambut oleh udara pengap dan lembab ruang bawah tanah.
Jantungnya berdegup kencang lagi.
Apakah dia akan bisa menemui ayahnya lagi?
Dia masuk ke dalam lorong itu dan berjalan pelan.
Lantai terasa dingin menusuk di kakinya yang telanjang.
Begitu tiba di anak tangga teratas dia langsung mendorong pintu kayu
itu dan terkejut mendapati bahwa pintu kayu itu sudah tidak ada.
Bahkan bukannya pelataran kayu yang di dapatinya melainkan permukaan tembok yang terasa kasar dikulitnya.
Ini tidak mungkin, pikirnya.
Kemarin dia merasa yakin bahwa pintu itu masih ada disini.
Siapa yang menutupinya?
Dia mengetuk-ngetuk tembok itu dengan keras dan terkejut mendengar
suara ibunya memanggil-manggil namanya dari kejauhan.Dia melompat turun
lalu bergegas kembali ke dapur.
Ibunya berdiri diambang pintu ruang bawah tanah, menatapnya dengan heran.
''Tom, apa yang kau lakukan dibawah sana???'' tanya ibunya.
Tommy merangkak keluar lalu menutup pintu itu kembali.
''Aku-aku sedang mencari sesuatu,'' tukasnya sambil mendorong rak piring itu ke posisinya semula.
''Selamat pagi, Ma!'' ucapnya, tidak berani menatap wajah curiga ibunya.
Dia mengambil posisi duduk di meja makan dan berpura-pura menonton siaran berita pagi di televisi.
Ibunya menatapnya selama beberapa saat lalu kembali membuat sarapan untuk mereka berempat.
Dalam hati, Tommy merasa sedikit kecewa. Dia ingin sekali bertemu lagi dengan ayahnya.
Dia yakin bahwa peristiwa kemarin bukan mimpi.
Entah bagaimana lorong diruang bawah tanah itu telah menjadi semacam
lorong waktu yang menghubungkannya dengan rumahnya beberapa tahun yang
lalu.
Dia merasa yakin dia akan menemukan cara untuk menemui ayahnya lagi.
Dia harus menemui ayahnya lagi.
Apapun dan bagaimanapun caranya.
Malamnya Tommy merasa gelisah. Dia terus memikirkan pertemuannya dengan
ayahnya. Dia benar-benar melihat ayahnya berbicara. Dia bahkan
memeluknya.
Ini benar-benar sebuah keajaiban.
Mungkin Tuhan merasa iba melihatku hidup dalam kesedihan selama bertahun-tahun, pikir Tommy.
Mungkin ini adalah hadiah dari Tuhan.
Aku dipertemukan kembali dengan ayahku.
Aku harus bisa menemuinya lagi.
Pasti ada cara supaya aku bisa melakukannya.
Dan tiba-tiba Tommy tersadar.
Dia mencoba mengingat-ingat semua detil pertemuannya dengan ayahnya..
Ayahnya sedang memperbaiki rak kayu itu.
Itu berarti.....
Tidak salah lagi.
Itu adalah hari sebelum kecelakaan itu.
Sehari sebelumnya ibunya mengeluh mengenai rak pajangan yang kakinya hampir habis dimakan rayap.
Hari itu ayahnya sedang libur jadi dia punya banyak waktu luang untuk memperbaiki rak itu.
Dan keesokan harinya kecelakaan itu terjadi saat ayahnya berangkat ke kantor.
Dia tahu apa yang harus dilakukannya.
Seluruh tubuhnya bergetar hebat menyadari sesuatu yang tiba-tiba terlintas dibenaknya.
Kalau dia bisa kembali menembus dimensi waktu, itu berarti dia bisa mencegah terjadinya kecelakaan itu.
Dia bisa menyelamatkan ayahnya.
Dia bisa merubah semuanya.
Dia tidak harus kehilangan ayahnya untuk selama-lamanya.
Jantungnya berdebar-debar oleh semangat yang tiba-tiba memenuhi dirinya.
Dia melompat dari tempat tidur dan berjalan keluar dari kamarnya.
Selasar diluar tampak gelap, hanya diterangi cahaya redup di ujung tangga.
Semua orang pasti telah tertidur.
Dengan berjingkat-jingkat pelan dia berhasil menuruni tangga, lalu
tanpa suara dia menyelinap masuk ke dalam dapur yang hanya diterangi
oleh cahaya dari lampu jalan diluar yang menembus masuk melalui celah
diantara tirai jendela.
Dia menghampiri rak piring disamping lemari pendingin lalu mulai mendorongnya sepelan mungkin.
Piring-piring dan gelas berdentingan saat rak itu mulai bergeser ke samping.
Saat pintu ruang bawah tanah itu sudah tampak, Tommy menarik napas dan memejamkan matanya.
Ini patut dicoba, pikirnya.
Aku harus menyelamatkan ayahku. Mungkin aku bisa melakukan sesuatu untuk mencegahnya.
Dia menarik pintu kayu itu dengan pelan, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun.
Lalu dia memanjat turun ke dalam dan disambut oleh hawa pengap dan lembab yang sudah dikenalnya.
Dia menyalakan lampu dan berjengit saat kakinya menyentuh lantai ruang bawah tanah yang dingin seperti es.
Jantungnya berdegup semakin kencang.
Dia masuk ke dalam lorong itu sambil berdoa di dalam hati.
Semoga kali ini dia berhasil kembali menembus waktu. Untuk menemui ayahnya.
Untuk menyelamatkannya dari kecelakaan mengerikan itu.
Dia menapakkan kakinya di anak tangga terbawah dengan semangat menggebu-gebu.
Kumohon, katanya dalam hati.
Aku harus bisa menemuinya.
Aku harus menyelamatkannya.
Begitu dia sampai di anak tangga paling atas, dia memejamkan mata dan mengulurkan kedua tangannya ke langit-langit.
Pintu kayu itu berderit keras saat dia berhasil mendorongnya sampai terbuka.
Luapan rasa bahagia langsung memenuhi dirinya.
Dia berhasil.
Dia akan segera bertemu ayahnya kembali.
Dia akan menyelamatkan ayahnya.
Dia memanjat keluar dan kembali mendapati dirinya di dalam gudang dibelakang rumahnya itu.
Dia melangkah keluar dan serangan udara dingin langsung menerpanya.
Kabut.
Kabut tipis tampak melayang-layang diudara seperti hantu.
Tommy berpikir keras, berusaha mengingat-ingat hari itu.
Hari itu adalah hari musim gugur yang sangat dingin.
Selimut tipis salju mulai tampak menutupi permukaan tanah dimana-mana.
Dia memeluk dirinya sambil menggigil kedinginan. Angin bertiup pelan dan membuatnya berjengit.
Dia menoleh sekeliling dan melihat rumahnya yang tampak samar dibalik kabut.
Ini adalah salah satu pagi musim gugur yang beku.
Kalau dia tidak segera mendapat tempat perlindungan yang hangat dia akan segera terserang hipotermia.
Tommy berjalan dengan cepat dan meringis setiap kali kakinya menginjak
lapisan es tipis yang menutupi halaman belakang rumahnya.
Dia naik keatas teras sambil mengusap-usap tubuhnya untuk menghangatkan diri.
Dia mengintip ke dalam jendela.
Dapur tampak kosong.
Mungkin semua orang masih tidur.
Dia keluar dari teras dan berjalan memutari rumah itu menuju ke halaman depan.
Jantungnya serasa copot saat melihat ayahnya berjalan keluar dari pintu depan.
Dia menundukkan badan dengan cepat dan bersembunyi dibalik pagar pengaman teras depan, berharap ayahnya tidak melihatnya.
Ayahnya sedang menentenga tas kantornya dan dia tampak rapi.
Tidak salah lagi.
Dia sedang bersiap-siap untuk ke kantor.
Ini saatnya, pikir Tommy.
Aku harus menghentikannya.
Dia tidak boleh pergi.
Tapi apa yang harus kulakukan?
Dia mungkin akan menganggapku gila dan mengusirku.
Saat itu pintu depan kembali terbuka dan seorang bocah laki-laki tampak berdiri diambang pintu.
Ayahnya memutar tubuh dan menatap bocah itu selama beberapa saat.
''Tommy, kau anak yang pintar. Lakukanlah apa yang menurutmu baik. Tapi
kau harus mempertimbangkan konsekuensinya. Waktu tidak dapat diputar
kembali. Jadi pikirlah matang-matang sebelum kau bertindak'' kata
ayahnya sambil tersenyum, lalu memutar tubuh dan berjalan ke arah
mobilnya.
Bocak remaja laki-laki itu tidak menjawab. Dia menundukkan kepala menatap lantai.
Tapi tiba-tiba dia berseru dengan suara keras ''Aku benci pada Papa'' setelah itu dia masuk kembali ke dalam rumah.
Ayahnya terkejut mendengar kata bocah itu. Dia berhenti ditengah
gerakannya lalu memutar tubuhnya. Tapi bocah itu sudah menghilang ke
dalam rumah.
Senyum sedih tampak diwajah ayahnya.
Tommy menyaksikan peristiwa itu dengan hati hancur.
Dia masih ingat dengan jelas kata-kata ayahnya itu.
Tanpa terasa air matanya mengalir turun dengan deras.
Dia terisak-isak tanpa suara.
Dia sadar bahwa dia benar-benar sangat merindukan ayahnya.
Dan dia telah memperlakukan ayahnya dengan sangat buruk dihari-hari terakhirnya.
Dia pasti telah menyakiti hati ayahnya dengan kata-kata itu hanya
karena dia tidak diizinkan untuk ikut berlibur ke hawaii bersama
keluarga Randy, sahabatnya.
Penyesalan besar pun menggantung dengan berat di dalam hatinya.
Air matanya terus mengalir dan dia terkejut saat mendengar deru mesin mobil ayahnya.
Dia berdiri dan mendongak menatap ke arah jalan.
Ayahnya sudah masuk ke dalam mobil.
Aku harus menghentikannya, pikir Tommy.
Dia berdiri dan berjalan terhuyung-huyung ditanah yang dingin dan licin. Tapi terlambat.
Mobil ayahnya sudah bergerak pelan dan mulai melaju dengan pelan.
Tommy berlari dan terpeleset, lalu jatuh terjerembab dengan keras ditanah, mendarat pada perut dan dadanya.
Tubuhnya langsung basah oleh lumpur dingin.
Oh tidak, pikir Tommy.
Rasa sakit mulai menjalar di sekujur tubuhnya, melumpuhkan semua
persendiannya. Tapi dia segera bangkit berdiri lagi dan mulai berlari
mengejar ayahnya.
Dia berlari keluar dari halaman rumah itu dan melihat mobil ayahnya sudah berbelok disebuah tikungan.
Dia berlari dengan kencang sambil berteriak-teriak memanggil ayahnya.
Dia sudah tidak mempedulikan serangan udara dingin dan rasa sakit yang menggerogoti seluruh tubuhnya.
Dibenaknya hanya ada satu.
Mencegah kecelakaan itu dan menyelamatkan ayahnya.
Mengubah takdirnya.
Dia berlari sekuat tenaga dan tiba di jalan utama kompleks itu yang berakhir di perempatan lampu merah.
Disitulah kecelakaan itu terjadi.
Mobil ayahnya bertabrakkan dengan sebuah truk besar akibat jalanan yang basah dan licin.
Tommy berteriak-teriak seperti orang gila memanggil-manggil ayahnya.
Mobil ayahnya melaju dengan kecepatan rata-rata beberapa meter di depannya.
Dia terus berlari sambil melambai-lambaikan tangan dan berseru-seru memanggil ayahnya.
Kalau ayahnya sudah tiba diperempatan itu maka semuanya akan terlambat.
Dia terus berlari dan tersandung pada kakinya sendiri lalu terjatuh dan mendarat dengan keras di pelataran semen yang keras.
Rasa sakit yang lebih kuat mencengkeramnya. Pandangannya terasa gelap dan berputar-putar.
Kesadarannya mulai hilang.
Sudah terlambat.
Dia telah gagal menyelamatkan ayahnya.
Tommy terbangun dengan kepala pusing bukan main. Pandangannya
berkunang-kunang dan perutnya terasa mual. Dia mendapati dirinya sedang
terbaring disebuah ruangan yang hangat dan membuatnya merasa sangat
nyaman. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya lalu memaksakan diri untuk
berdiri.
Dia memandang berkeliling dan menyadari dirinya berada di ruang keluarga rumahnya sendiri.
Hanya saja perabotan-perabotan diruangan itu berbeda.
Semuanya adalah perabotan-perabotan yang lama.
Ayahnya datang menghampirinya sambil membawa segelas teh.
''Nak kau baik-baik saja?'' seru ayahnya dengan lembut.
Tommy sangat terkejut melihatnya.
''Aku melihatmu terjatuh dari kaca spion mobil lalu aku berhenti dan membawamu kemari'' ujar ayahnya.
Dia berhasil.... Ayahnya selamat.
Kecelakaan itu tidak pernah terjadi.
Dia berhasil menyelamatkan ayahnya.
Jantungnya berdegup kencang oleh rasa bahagia.
''Aku baik-baik saja,'' jawab Tommy sambil mengambil segelas teh yang ditawarkan ayahnya kepadanya.
Aku sangat luar biasa baik-baik saja, pikirnya senang.
''Kau tinggal dimana? Sepertinya aku pernah melihatmu. Kau tinggal di kompleks ini?'' tanya ayahnya lagi.
Tommy meneguk tehnya dan langsung merasa luar biasa hangat.
''Uhm, iya'' katanya berbohong.
Rasa sakit di dadanya terasa menusuk dan berdenyut-denyut.
''Kau perlu mengobati luka-lukamu'' kata ayahnya sambil menunjuk lututnya yang lecet. Dia lalu berdiri dan naik ke lantai atas.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Tommy.
Dia langsung berdiri dari tempatnya dan dengan cepat bergerak ke arah pintu belakang.
Seluruh ruangan tampak berputar-putar tapi dia terus berjalan.
Dia harus segera kembali dan melihat apakah dia telah berhasil menyelamatkan ayahnya.
Begitu dia tiba di halaman belakang, udara dingin langsung menyambutnya lagi. Tapi dia tidak peduli.
Tidak ada yang bisa menghalanginya.
Jantungnya berdebar-debar oleh semangat.
Bahkan nyeri di sekujur tubuhnya pun hampir tidak dirasakannya.
Dia masuk ke dalam gudang dan memanjat turun ke dalam ruang bawah tanah itu.
Anak-anak tangga kayu itu langsung memprotes dengan suara berderak keras saat dia melangkah turun.
Apakah aku berhasil, pikirnya.
Dia terpincang-pincang berjalan menyusuri lorong gelap itu dan tidak berhenti berdoa sampai dia tiba dianak tangga teratas.
Dia memanjat keluar dari ruang bawah tanah dan tiba di dapur rumahnya kembali.
Suasana tampak sepi.
''Ayah????'' teriaknya. Dia bergegas menuju ruang tengah dan terkejut
melihat seorang wanita tua sedang duduk sambil menonton televisi.
''Nenek Jean???'' serunya dengan heran.
Wanita itu menoleh dan langsung terkejut begitu melihat Tommy.
''Ya ampun!!! Ada apa denganmu???? Apa kau terluka???''
Tommy sudah lupa kalau tubuhnya bermandikan lumpur.
''Oh, yeah. Aku terjatuh'' jawabnya pelan.
Neneknya langsung menghampirinya dan menariknya ke kuris.
''Oh lihat luka-luka ini!!!'' ringis wanita tua itu sambil mengamati seluruh tubuh Tommy dengan cemas.
Tapi Tommy tidak punya waktu untuk membahas luka-luka atau tubuhnya yang kotor.
Dia harus mencari tahu apakah dia telah berhasil mencegah kematian ayahnya.
''Kapan nenek datang???'' tanya Tommy heran.
''Dimana ayah???'' tanyanya lagi.
Neneknya tidak menjawab. Dia malah menatap Tommy dengan tatapan bingung dan keheranan.
''Ayahmu???'' tanya nenek Jean.
Tommy mengangguk.
Neneknya mengamati wajah Tommy dan membelai kepalanya dengan lembut.
''Kau terjatuh, nak? Kepalamu pasti terbentur begitu keras'' desahnya dengan sedih.
''Dimana ayah, Nenek Jean?'' tanya Tommy lagi dengan nada suara meninggi.
''Kau benar-benar tidak ingat, nak?'' tanya neneknya, matanya mulai berkaca-kaca.
''Apakah ayah meninggal???'' Tommy menarik napas dengan kecewa. Ternyata dia tidak berhasil menyelamatkan ayahnya.
Ternyata dia tidak berhasil merubah takdirnya.
''Tidak, nak. Ayahmu masih hidup. Tapi......''.
''Dimana ayah, nek??? Dimana??? Aku ingin bertemu dengannya'' seru Tommy dengan penuh semangat.
Ternyata dia berhasil. Ayahnya masih hidup.
''Baiklah, baiklah. Sekarang bersihkan dirimu lalu kita akan pergi
menemui ayahmu'' kata Nenek Jean sambil membelai kepala Tommy.
Tommy terlalu bersemangat. Terlalu bahagia.
Dia segera menuju ke toilet dan membersihkan dirinya dengan air hangat.
Dia tidak peduli.
Ayahnya masih hidup.
Dia segera berganti pakaian dan bergegas turun ke ruang tengah untuk menemui neneknya.
Saat dia hendak turun ke bawah dia berpapasan dengan kamar Duncan dan langsung menyadari sesuatu.
Dia mendorong pintu kamar itu dan melihat bahwa isinya telah berubah.
Tidak ada tempat tidur. Poster-poster batman kesayangan Duncan pun tidak tampak di dinding.
Kamar itu dijejali rak-rak tinggi yang dipenuhi beratus-ratus buku tebal.
Kalau ayahnya masih hidup, tentu saja ibunya tidak akan menikah dengan Jason.
Itu berarti Duncan tidak pernah lahir.
Adiknya yang malang.
Tommy tiba-tiba merasa seakan-akan ada sesuatu yang dingin menghantam jantungnya.
Apakah dia bisa melanjutkan hidupnya seperti ini? Merubah dan mengatur
jalan hidup orang hanya karena dia ingin menyelamatkan ayahnya.
Kematian ayahnya adalah memang sebuah takdir. Ayahnya memang telah ditakdirkan untuk meninggal di kecelakaan itu.
Tapi Duncan... Dia tidak bersalah.
Dan ketiadaan Duncan dari muka bumi ini adalah tanggung jawabnya.
Apakah kehilangan Duncan pantas dengan mendapatkan ayahnya kembali?
Apakah semua ini pantas dan patut terjadi?
Dia menutup pintu kamar itu dan merenungi perbuatannya.
Apakah dia begitu ingin mendapatkan kembali ayahnya sampai dia rela kehilangan adiknya?
Dia berjalan turun ke ruanga tengah tanpa suara.
Neneknya telah menunggunya dibawah.
''Nenek Jean... Katakan padaku, dimana ayah sekarang'' tanya Tommy.
Wanita tua itu menatap Tommy dengan ekspresi sedih di wajahnya.
''Tommy, ayahmu sekarang ada di St.Xaverius, rumah sakit untuk orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan'' jawab neneknya.
Tommy terdiam.
Dia mengambil posisi duduk disamping neneknya dan meresapi fakta ini.
''Kecelakaan itu sangat mengerikan. Ayahmu koma selama dua bulan. Dan
saat dia terbangun, dia sudah tidak sama lagi. Otaknya mengalami
pendarahan hebat. Dan sekarang dia tidak memiliki kesadaran lagi. Dia
seperti mayat hidup. Tubuhnya memang masih berfungsi. Tapi otaknya sudah
rusak. Dia tidak akan pernah lagi berfungsi sebagai seorang manusia
normal'' kata-kata nenek Jean menusuk jantung Tommy seperti belati.
Dia menundukkan kepalanya dan merasakan air matanya mengalir turun.
Dia menyadari bahwa dia tidak bisa merubah takdir.
''Dan ibumu yang malang... Semoga dia beristirahat dengan tenang di surga... '' kata nenek Jean lagi.
''Ibuku ada di mobil itu pada saat kecelakaan???'' tanya Tommy terkejut.
Nenek Jean menganggukan kepala.
''Ibumu meninggal di tempat kejadian saat itu juga''.
Tommy merasa bahwa dia seharusnya terkejut. Tapi entah kenapa dia sudah menyadari bahwa ini semua akan terjadi.
Bahwa akan ada konsekuensinya apabila dia berani bermain-main dengan waktu.
Semuanya memang harus terjadi sebagaimana mestinya.
Dia memang telah mencegah kematian ayahnya, tapi sekarang sesuatu yang lebih buruk dari kematian malah terjadi pada ayahnya.
Dia sadar bahwa dia tidak seharusnya merubah apa yang telah terjadi.
Ayahnya memang ditakdirkan untuk meninggal dalam kecelakaan itu.
Dengan mencegah kematian ayahnya, dia telah merusak keseimbangan waktu
dan ruang yang telah terjalin selama bertahun-tahun dan mengisi
relung-relung kehidupan dengan sangat pas.
Kematian ayahnya memang menyedihkan. Tapi waktu telah menunjukkan kemampuannya dalam menyembuhkan luka.
Ibunya menikah lagi, dan kemudian Duncan lahir.
Pernikahan ibunya dengan Jason dan kelahiran Duncan adalah cara waktu
dan kehidupan untuk memperbaiki dan menjalin kembali keseimbangan yang
telah rusak setelah kematian ayahnya.
Sekarang dengan mencegah kematian ayahnya, dia malah menciptakan kerusakan yang lebih besar lagi pada keseimbangan itu.
Ayahnya memang hidup tapi tersiksa harus menjalani sisa kehidupannya seperti mayat hidup.
Ibunya meninggal dunia dan dia harus menerima kenyataan pahit itu. Dia
sudah mencoba untuk mengobati luka hatinya semenjak kematian ayahnya.
Dan dia belum siap untuk menerima kematian ibunya.
Duncan tidak pernah lahir. Dan dia tidak siap menerima fakta ini juga. Dia sayang pada Duncan.
Dan tiba-tiba Tommy sadar bahwa betapa dia sangat merindukan Jason, ayah tirinya.
Dulu dia pernah memperlakukan ayahnya dengan sangat buruk. Bukankan
kehadiran Jason adalah kesempatan yang bagus baginya untuk menebus
kesalahannya pada ayahnya??
Jason memang ayah tirinya tapi dia meperlakukan dan menyayanginya seperti anaknya sendiri.
Lagipula Jason adalah sahabat ayahnya.
Ini bukan suatu kebetulan.
Ini adalah salah satu cara kehidupan untuk memperbaiki keseimbangan itu lagi.
Dia teringat lagi kata-kata ayahnya pagi itu.
''Tommy, kau anak yang pintar. Lakukanlah apa yang menurutmu baik. Tapi
kau harus mempertimbangkan konsekuensinya. Waktu tidak dapat diputar
kembali. Jadi pikirlah matang-matang sebelum kau bertindak''.
Dia tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.
''Nenek Jean. Aku sangat menyayangimu. Kuharap kau sering datang
mengunjungi kami disini'' kata Tommy lalu memeluk neneknya dengan erat.
Mereka berpelukan selama beberapa saat dengan penuh haru.
''Baiklah, nek. Sekarang aku harus pergi. Aku harus memperbaiki sesuatu
yang telah kukacaukan'' dia mencium pipi neneknya lalu beranjak dari
kursinya.
Dia menuju dapur dan pintu ruang bawah tanah yang terbula lebar itu seakan-akan menyambutnya.
Dia menarik napas panjang lalu memanjat turun ke dalam.
Air matanya masih terus mengalir. Tapi dia tahu dia harus melakukan ini.
Dia memfokuskan pikirannya pada pagi musim gugur yang beku itu.
Beberapa saat sebelum kecelakaan itu terjadi.
Dia harus kembali dan memperbaiki semuanya.
Dia menyusuri lorong pengap itu dan dengan penuh tekad berjalan menaiki tangga kayu reotnya.
Dia memanjat keluar dari tangga dan langsung disambut dengan udara dingin yang terasa menusuk.
Langit diluar tampak kelabu dan ditutupi oleh kabut tipis. Dia
melangkah keluar dari gudang dan bergegas berjalan menuju ke halaman
depan rumahnya.
''Aku benci ayah'' seru seorang bocah laki-laki yang sedang berdiri diambang pintu.
Ayahnya sedang berdiri di tangga teras. Dia memutar tubuh dan berbalik menatap bocah itu lalu tersenyum sedih.
Tommy menyaksikan semua ini dengan hati hancur.
Dia harus melakukan ini.
Begitu bocah itu masuk ke dalam rumah Tommy bergegas menghampiri ayahnya.
''Tuan...'' katanya.
Ayahnya berbalik dan terkejut menatapnya.
''Hei.. Kau... oh ya ampun... Kau tidak apa-apa, nak? Bagaimana kau bisa masuk kesini?'' tanya ayahnya.
''Aku masuk lewat pintu pagar halaman belakang anda. Aku tinggal disana'' jawab Tommy berbohong.
''Oh... Aku memang merasa pernah melihatmu sebelumnya. Apakah kau anak pasangan Wilson???'' tanya ayahnya lagi.
Tommy menganggukkan kepalanya.
''Tuan, aku... Aku ingin bilang kalau... Putra anda... Bocah
itu...Namanya Tommy, bukan? Dia memang sedang marah kepada anda. Tapi,
dia sangat menyayangi anda lebih dari apapun di dunia ini. Dia sangat
sangat menyayangi anda. Dan dia sangat bangga memiliki ayah sebaik
anda.'' ujar Tommy sambil berusaha menahan air matanya.
Ayahnya menatapnya selama beberapa saat kemudian dia tersenyum.
''Ya aku tahu itu. Dia memang sedikit rewel sekarang ini. Tapi saat
pulang kerja malam nanti, aku akan mengajaknya nonton pertandingan
softball. Dia suka sekali.'' seru ayahnya.
Tommy tersenyum.
''Baiklah, nak. Aku harus pergi kerja sekarang. Sampai ketemu lagi.
Salam buat orang tuamu'' kata ayahnya sambil berjalan menuju mobilnya
yang diparkir di depan jalan.
Tommy mengikutinya.
Dia menatap ayahnya lekat-lekat, menyadari bahwa ini adalah terakhir kalinya dia melihatnya.
''Tommy sangat menyayangi anda'' katanya pada ayahnya.
Ayahnya menyalakan mesin mobil dan menoleh sambil tersenyum.
''Aku tahu. Aku juga sangat menyayanginya''.
Tommy balas tersenyum dan menganggukkan kepala.
''Sampai ketemu lagi, nak'' kata ayahnya. Lalu dia melaju mobilnya ke jalan.
Disitu, di depan rumahnya, Tommy hanya bisa menatap kepergian ayahnya.
Dia tahu ini mungkin menyedihkan tapi semuanya memang harus terjadi.
Mobil itu berbelok ditikungan menuju jalan utama.
Dia menyadari bahwa diujung jalan itu, ayahnya akan pergi untuk
selama-lamanya. Tapi dia merasa sedikit lega karena dia telah
mengingatkan ayahnya betapa dia sangat menyayanginya.
Tommy memutar tubuh dan melangkah masuk ke dalam halaman rumahnya dan bergegas menuju ke gudang di belakang.
Aku menyayangimu juga, Papa.... Katanya dalam hati.
sumber: https://www.facebook.com/pages/Cerita-Horror/361135397296568?ref=stream
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com