Senin, 01 April 2013

Teroris itu Berjenggot, Bercadar, Bercelana Ngatung (JANGAN SALAH SANGKA)

http://klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2013/03/15/163723/540x270/perampok-toko-emas-tambora-terkait-jaringan-teroris.jpgItulah stigma yang dihembuskan Australia dan AS dan kemudian diikuti Densus 88 dalam operasinya. Hal ini diungkapkan Noam Chomsky dari Massachussetts Institute of Technology AS. Lewat tulisannya di The Jakarta Post edisi 3 Agustus 1993, AS memiliki standar ganda.
“AS memanfaatkan istilah terorisme sebagai instrumen kebijakan standarnya untuk memukul lawan-lawannya dari kalangan Islam,” ujarnya yang penulis kutip dari Suara Islam edisi 127 (11-25 Shafar 1433 H/ 6-20 Januari 2012 M).
Kompasianers, tak heran, lanjut Chomsky, dalam prakteknya, Australia dan AS beserta sekutu mereka membuat definisi sendiri mereka yang disebut teroris, yakni orang berjenggot, berjubah, bercadar, dan bercelana ngatung, serta di pondokannya terdapat buku-buku keislaman.
Padahal Kompasianers, berdasarkan kasus-kasus yang diterima oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) sepanjang 2010-Juni 2011, telah terjadi 85 kali kekerasan dengan jumlah korban 373 orang. Kompasianers tahu siapa yang melakukan ini? Apakah mereka yang berjenggot, berjubah, bercadar, dan bercelana ngatung, serta di pondokannya terdapat buku-buku keislaman? Mereka adalah para anggota Republik Maluku Selatan (RMS) dan aktivis Tentara Pembebasan Nasional (TPN) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM).
1362702656340809292
Data Kontras yang dirilis pada 29 Juni2011 ini disebutkan, mereka melakukan aksi terorisme. Dalam 9 kali peristiwa di Timika pada 2011, belasan aparat keamanan dan pekerja sipil tewas dibantai TPN/ OPM. Bahkan Kapolsek Puncak jaya, AKP Dominggus Oktavianus Awes, ditembak saat memantau keamanan Bandara Mulia pada 24 Oktober 2011. Saat itu, tiba-tiba ia disergap dari belakang, dilumpuhkan, dan ditembak di tempat dalam jarak dekat. Apakah yang menembak itu berjenggot, berjubah, bercadar, dan bercelana ngatung, serta di pondokannya terdapat buku-buku keislaman? Sayang sekali, bukan! Mereka adalah TPN/ OPM. Apakah mereka ditangkap? Sayang sekali, tidak!
Mari Kompasianers ke tempat lain, yakni di Poso dan Makassar. Tujuah orang yang belum jelas kesalahannya ditembak mati di tiga tempat berbeda. Lalu, dua orang ditembak beberapa menit setelah menunaikkan sholat Dhuha di masjid Al Afiah di kompleks Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo. Mereka semua orang sipil tanpa senjata dan tidak melakukan kontak senjata dengan petugas. Mereka adalah muslim yang mati tanpa jelas status yang dituduhkan pada mereka.
Ketidakadilan. Barangkali kata itulah yang menjadi dasar protes kerja Densus 88. Andai saja dasar operasi Densus 88 bukan berdasarkan stigma pesanan Australia dan AS, yakni mereka berjenggot, berjubah, bercadar, dan bercelana ngatung, serta di pondokannya terdapat buku-buku keislaman adalah teroris, barangkali tak akan ada teriakan pembubaran Densus 88.
RMS, TPN/ OPM yang jelas-jelas telah membunuh aparat keamanan dan warga sipil, tidak pernah mendapat tudingan sebagaimana warga Poso, yakni teroris. Mereka paling-paling disebut sebagai kriminal bersenjata. Padahal RMS, TPN/ OPM secara terang-terangan ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pernyataan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri Komjen Sutarman, yang penulis kutip dari Republika hari ini (Kamis, 7 Maret 2013), bahwa intelijen Densus telah mampu menekan ruang gerak teroris di Indonesia sungguh menggelikan.
“Densus 88 bubar, teroris menang. Jadi, jangan masyarakat terpancing oleh isu-isu yang membuat Densus 88 layak dibenci,” kata mantan ajudan Gus Dur ini.
Entahlah, ketika Sutarman membuat pernyataan itu sudah menggunakan fakta di lapangan. Yang pasti, pada saat Densus 88 menembak mati lima orang di Nusa Tengga Timur (NTT), tepatnya di Bima dan Dompu, MUI beserta ormas Islam dan LSM setempat membentuk Tim Pencari Fakta dan Rehabilitasi (TPFR). Hasil fakta atas tewasnya Roy asal Makassar dan Bahtiar asal Bima, NTB setelah ditembak Densus 88, tidak membuktikan mereka teroris.
Kompasianers, di Bandung, tulis Media Umat (Edisi 97, 6-13 Rabiul Awwl 1434 H), Densus 88 menangkap seorang tersangka teroris bernama Untung Budi Susanto (43). Saat ditangkap, Untung dalam kondisi sehat. Namun, baru sehari dalam masa interogasi, ia meninggal. Di hari berikut, jenazah diantar ke keluarganya oleh Densus 88 dalam peti mayat untuk segera dikuburkan. Saat itu rumah dijaga ketat belasan Densus 88 dengan senjata lengkap. Keluarganya diancam Densus 88 agar tidak melakukan tiga hal: membuka jenazah korban, melaporkan, dan menghubungi media massa.
Kompasianers, sampai saat ini, teroris sesungguhnya masih beredar, baik di Ambon maupun di Papua. Gerakan terorisme yang mengingkan pisah dari NKRI ini mendapat dukungan dari dalam maupun luar negeri. Dari dalam negeri, teroris-teroris yang bukan berjenggot, berjubah, bercadar, dan bercelana ngatung, serta di pondokannya terdapat buku-buku keislaman ini mendapat dukungan dari LSM-LSM komprador atau kelompok sekutunya.
TPN/ OPM adalah milisi bersenjata dimonitori oleh organisasi yang dipimpin oleh Beny Wanda, yaitu Free West Papua Campaign (FWPC) dan International Lawyer for West Papua (ILWP). Salain Beny, menurut 19 dokumen rahasia Kopassus TNI-AD yang dibocorkan jaringan media Fairfax edisi 13 Agustus 2011, beberapa tokoh internasional yang mendukung OPM adalah lain Desmond Tutu dari Afrika Selatan, mantan PM Papua Nugini Michael Somare, Senator AS dari Partai Demokrat Dianne Feinstein, dan 40 anggota Kongres AS, serta anggota Parlemen dari Partai Buruh Inggris Andrew Smith.
Pada Januari 2012, almarhum Dr. Ahmad Sumargono, MM pernah mengatakan, “Konspirasi dan intervensi asing sudah sangat jelas di Papua.”. “Operasi intelejen asing asing juga dilakukan AS di Papua. Dari mana OPM mendapatkan senjata yang begitu banyak, juga LSM lokal dan asing yang beroperasi di Papua banyak yang dibiayai AS.”
Kalau mereka Islam, lanjut Ahmad, AS dan Barat pasti tak akan mendukung. Lihatlah di Moro di Filipina Selatan, Pattani di Thailand Selatan, Kashmir di India, Palestina, maupun Suriah. Jadi Kompasianers, selama masih ada orang-orang sipil yang berjenggot, berjubah, bercadar, dan bercelana ngatung, serta di pondokannya terdapat buku-buku keislaman, Australia dan AS serta sekutu-sekutunya akan terus mendukung Densus 88. Dan Polri akan terus mengeluarkan pernyataan sebagaimana Kabareskrim Sutarman,
“Bubarnya Densus 88 adalah kemunduran bagi upaya negara negara menangani teroris.”
Ciyuss???? Miapah??
Lahacia…
sumber: http://hankam.kompasiana.com/2013/03/07/teroris-itu-berjenggot-bercadar-bercelana-ngatung-539863.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com