Kisah Taubatnya Seorang Penyanyi
“Adalah
seorang pemuda yang bernama Dzaadzan seorang peminum khamr (minuman
keras), dan ia penabuh gendang, lalu Allah memberinya rezki berupa
taubat ditangan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu maka menjadilah
Dzaadzan termasuk orang-orang yang terbaik dari kalangan tabi’in, dan
salah seorang ulama yang terkemuka, dan termasuk orang-orang yang
masyhur dari kalangan hamba Allah ahli zuhud” [Lihat biografinya dalam
Hilyatul Aulia 4/199, dan Bidayah wan Nihayah 9/74 dan Siyar ‘Alamun
Nubala 4/280]
Inilah kisah taubatnya, sebagaimana Dzaadzan meriwayatkannya sendiri, ia berkata :
“Saya adalah seorang pemuda yang bersuara merdu, pandai memukul gendang, ketika saya bersama teman-teman sedang minum minuman keras, lewatlah Ibnu Mas’ud, maka ia pun memasuki (tempat kami), kemudian ia pukul tempat (yang berisikan minuman keras) dan membuangnya, dan ia pecahkan gendang (kami), lalu ia (Ibnu Mas’ud0 berkata : “Kalaulah yang terdengar dari suaramu yang bagus adalah Al-Qur’an maka engkau adalah engaku… engkau”.
Setelah itu pergilah Ibnu Mas’ud. Maka aku bertanya kepada temanku : “Siapa orang ini ?” mereka berkata : “Ini adalah Abdullah bin Mas’ud (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)”.
Maka dengan kejadian itu (dimasukkan) dalam jiwaku perasaan taubat. Setelah itu aku berusaha mengejar Abdullah bin Mas’ud sambil menangis, (setelah mendapatinya) aku tarik baju Abdullah bin Mas’ud.
Maka Ibnu Mas’ud pun menghadap kearahku dan memelukku menangis. Dan ia berkata : “Marhaban (selamat datang) orang yang Allah mencintainya”. Duduklah! lalu Ibnu Mas’ud pun masuk dan menghidangkan kurma untukku [Siyar ‘Alamun Nubala 4/28]
=================
Dan perkara lain yang kita ambil faedah dari kisah diatas bahwasanya Ibnu Mas’ud telah menempuh cara yang “syar’iyyah” (cara yang sesuai dengan agama) yang paling utama dalam merubah kemungkaran, tatkala ia mampu merubah kemungkaran dengan tangannya, maka iapun merubah kemungkaran dengan tangannya, ia pecahkan kendang dan ia hancurkan bejana minuman keras.
Sungguh pada diri Abdullah bin Mas’ud terdapat permisalan yang mengagumkan dalam keberanian dan maju membela kebenaran, serta dalam merubah kemungkaran. Ia tidak takut celaan orang yang suka mencela, padahal ia sendirian dan orang yang dilarang dari kemungkaran lebih dari satu, sebagaimana nampak dalam konteks cerita.
Amr bin Abdul Qais ketika ia berkata : “Barangsiapa yang takut kepada Allah, maka Allah menjadikan segala sesuatu takut kepadanya, dan barangsiapa yang tidak takut kepada Allah maka Allah akan menjadikannya takut terhadap segala sesuatu” [Sifatus Sofwah 3/208]
Dan dengan perbuatan Abdullah bin Mas’ud yang merubah kemungkaran dengan tangannya, kita akan mendapati seberapa besar belas kasih darinya dan seberapa besar kesempurnaan kelembutan dan nasehatnya kepada Dzaadzan. Karena tatkala Dzaadzan mendatanginya dalam keadaan bertaubat, iapun menghadapi dan memeluk Dzaadzan, lalu menangis lantaran gembira dengan taubat Dzaadzan. Dan Abdullah bin Mas’ud menghormatinya dengan ungkapan yang paling indah : “Selamat datang orang yang dicintai Allah”.
Sebagaimana firman Allah.
“Artinya : Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” [Al-Baqarah : 222]
Bukan itu saja, bahkan Ibnu Mas’ud mempersilahkannya duduk dan mendekatkannya, dan menghidangkan kurma untuknya.
Demikianlah, ahli sunnah mengetahui kebenaran dan berdakwah kepada kebenaran, ahli sunnah sayang terhadap mahluk dan menasehati mereka.
[Majalah Ad-Dakwah Edisi 1863
[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 09/Th.II /2004M/1424H. Terjemahan Dari Majalah Ad-Dakwah Edisi 1863. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Jl. Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/1944/slash/0
Inilah kisah taubatnya, sebagaimana Dzaadzan meriwayatkannya sendiri, ia berkata :
“Saya adalah seorang pemuda yang bersuara merdu, pandai memukul gendang, ketika saya bersama teman-teman sedang minum minuman keras, lewatlah Ibnu Mas’ud, maka ia pun memasuki (tempat kami), kemudian ia pukul tempat (yang berisikan minuman keras) dan membuangnya, dan ia pecahkan gendang (kami), lalu ia (Ibnu Mas’ud0 berkata : “Kalaulah yang terdengar dari suaramu yang bagus adalah Al-Qur’an maka engkau adalah engaku… engkau”.
Setelah itu pergilah Ibnu Mas’ud. Maka aku bertanya kepada temanku : “Siapa orang ini ?” mereka berkata : “Ini adalah Abdullah bin Mas’ud (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)”.
Maka dengan kejadian itu (dimasukkan) dalam jiwaku perasaan taubat. Setelah itu aku berusaha mengejar Abdullah bin Mas’ud sambil menangis, (setelah mendapatinya) aku tarik baju Abdullah bin Mas’ud.
Maka Ibnu Mas’ud pun menghadap kearahku dan memelukku menangis. Dan ia berkata : “Marhaban (selamat datang) orang yang Allah mencintainya”. Duduklah! lalu Ibnu Mas’ud pun masuk dan menghidangkan kurma untukku [Siyar ‘Alamun Nubala 4/28]
=================
Dan perkara lain yang kita ambil faedah dari kisah diatas bahwasanya Ibnu Mas’ud telah menempuh cara yang “syar’iyyah” (cara yang sesuai dengan agama) yang paling utama dalam merubah kemungkaran, tatkala ia mampu merubah kemungkaran dengan tangannya, maka iapun merubah kemungkaran dengan tangannya, ia pecahkan kendang dan ia hancurkan bejana minuman keras.
Sungguh pada diri Abdullah bin Mas’ud terdapat permisalan yang mengagumkan dalam keberanian dan maju membela kebenaran, serta dalam merubah kemungkaran. Ia tidak takut celaan orang yang suka mencela, padahal ia sendirian dan orang yang dilarang dari kemungkaran lebih dari satu, sebagaimana nampak dalam konteks cerita.
Amr bin Abdul Qais ketika ia berkata : “Barangsiapa yang takut kepada Allah, maka Allah menjadikan segala sesuatu takut kepadanya, dan barangsiapa yang tidak takut kepada Allah maka Allah akan menjadikannya takut terhadap segala sesuatu” [Sifatus Sofwah 3/208]
Dan dengan perbuatan Abdullah bin Mas’ud yang merubah kemungkaran dengan tangannya, kita akan mendapati seberapa besar belas kasih darinya dan seberapa besar kesempurnaan kelembutan dan nasehatnya kepada Dzaadzan. Karena tatkala Dzaadzan mendatanginya dalam keadaan bertaubat, iapun menghadapi dan memeluk Dzaadzan, lalu menangis lantaran gembira dengan taubat Dzaadzan. Dan Abdullah bin Mas’ud menghormatinya dengan ungkapan yang paling indah : “Selamat datang orang yang dicintai Allah”.
Sebagaimana firman Allah.
“Artinya : Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” [Al-Baqarah : 222]
Bukan itu saja, bahkan Ibnu Mas’ud mempersilahkannya duduk dan mendekatkannya, dan menghidangkan kurma untuknya.
Demikianlah, ahli sunnah mengetahui kebenaran dan berdakwah kepada kebenaran, ahli sunnah sayang terhadap mahluk dan menasehati mereka.
[Majalah Ad-Dakwah Edisi 1863
[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 09/Th.II /2004M/1424H. Terjemahan Dari Majalah Ad-Dakwah Edisi 1863. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Jl. Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/1944/slash/0
Zuhud
Singkat
cerita, setelah kurang lebih enam hari berjalan kaki, Darsin sampai di
sebuah perbukitan di lereng gunung tempat dimana dulu Kiyai Sobirin
belajar pada Tuan Guru Mursid. Darsin istirahat beberapa saat untuk
meredakan napasnya yang tersengal-sengal akibat pendakian yang cukup
panjang di akhir perjalanannya tadi. Setelah merasa segar, Darsin
berkeliling untuk mencari di mana rumah Tuan Guru tersebut, lama Darsin
berkeliling mencari, namun tidak ditemukannya rumah yang sesuai dengan
benaknya. Satu-satunya yang ia lihat adalah sebuah bangunan yang besar
dan menurutnya cukup megah dengan pagar tembok batu yang kokoh dan
bagus, di dalamnya ada beberapa bangunan yang kesemuanya tergolong
mewah, sehingga hal ini membuat hati Darsin menjadi bimbang “inikah
rumah Tuan Guru yang diceritakan Kiyai Sobirin itu, mengapa berbeda
sekali dengan sifat-sifat guruku yang sederhana” bisiknya dalam hati.
Dalam hatinya mulai ada perasaan buruk sangka, namun karena figure
Kiyai Sobirin yang selalu menjadi tauladannya, terlebih lagi ia sudah
terlanjur menempuh perjalanan yang tidak dekat, maka ia tidak surut
untuk melangkah memasuki pintu gerbang utama yang terbuka lebar.
Setelah berada di dalam pagar tembok ia lihat beberapa orang yang
sedang melakukan aktifitas ada yang sedang membersihkan halamam dan
mengurus kebun bunga, ada yang sedang membersihkan kaca jendela dan
aktifitas lainnya. Darsin menghampiri seorang petugas penjaga yang
sedang duduk pada sebuah bangunan menyerupai pos penjagaan di samping
bangunan rumah induk. Setelah memberikan salam dan memperkenalkan diri,
Darsin menceritakan maksud kedatangannya ingin bertemu dengan Tuan
Guru. Jawab penjaga “Tuan Guru sedang pergi dan baru besok siang beliau
kembali dan sebaiknya anda bermalam saja disini” jawab petugas
penjaga. Dengan sedikit kecewa Darsin menurut dan menunggunya hingga
besok siang. Darsin diberi tempat untuk istirahat, sebuah kamar yang
luas dan sejuk dengan tempat tidur yang bagus. “Beginikah kehidupan
Tuan Guru yang diceritakan Kiya Sobirin itu, mengapa beda sekali dengan
sifat-sifat guruku yang sangat sederhana” kalimat ini yang
berkali-kali ia bisikan dalam hatinya entah sampai berapa kali.
Setelah keesokan harinya sebelum waktu dzuhur Tuan Guru tiba, walaupun usianya telah mencapai tujuh puluh empat tahun namun masih terlihat sehat dan kuat sehingga masih mampu menunggang kuda dengan jarak yang cukup jauh. Beliau memakai sorban, mengenakan pakain dan terompah yang semuanya serba bagus dan indah. Maka hal ini semakin membuat Darsin ragu-ragu dan dalam hatinya bergumam “mengapa tidak terlihat sedikitpun kedzuhudan dalam penampilan Tuan Guru ini”. Namun Darsin tidak berani menatap wajah Tuan Guru, wajah yang memancarkan kelembutan dan kesejukan serta penuh kasih sayang. Tuan Guru seorang ulama yang sangat bijaksana, beliau sangat memahami keragu-raguan tamunya, dengan lemah lembut beliau bertanya “anak muda dari mana asalmu dan apa tujuanmu kesini”. Darsin dengan tetap menunduk menjelaskan panjang lebar akan hal ihwal dan maksud kedatangannya serta tidak lupa Darsin menyampaikan salam dari Kiyai Sobirin untuk Tuan Guru. “Apa pekerjaan Kiyai Sobirin, gurumu itu” tanya Tuan Guru. Kemuian Darsin menceritakan pekerjaan gurunya, termasuk amalan-amalan yang selama ini sangat dikaguminya, “beliau setiap hari membagi-bagikan ikan hasil tangkapannya, baik kepada tetangga maupuk kepada kami para santrinya, sementara beliau hanya mengambil beberapa potong itupun terkadang hanya bagian kepalanya yang tidak berdaging”. Tuan Guru menyimak cerita Darsin penuh perhatian, kemudian kata beliau “Anak muda, apa yang kamu lihat itu hanyalah amalan lahir saja, ketahuilah daging ikan yang telah dibagikan kepada orang-orang seperti yang kamu ceritakan kepadaku tadi masih ada dan melekat erat dalam hatinya dan selalu ada dalam benaknya, sehingga hal itu menjadi hijab atau tirai penghalang dalam mengingat Allah azzawajala, kamu tertipu oleh amalan bathin yang tidak pernah kamu sadari, sehingga kamu pun berburuk sangka kepada harta titipan Allah yang ada padaku ini”. Batapa terperanjatnya Darsin mendengar penjelasan Tuan Guru yang lemah lembut itu. Darsin merasa bagaikan mendapat tamparan di mukanya, kini ia sadar “bahwa semua pekerjaan harus didasari oleh ikhlas dan sedikitpun tidak boleh bangga atas amalan tersebut”. Tuan Guru sangat maklum kepada orang-orang seperti Darsin, beliau melanjutkan bicara “banyak orang yang keliru, dzuhud atau bersahaja bukanlah diukur dari tampilan kehidupan lahir belaka, ia ada didalam ruh atau bathin, bathin harus bersih dari keinginan- keinginan dunia, sehingga bathin tersibak dari penghalang atau hijab. Ada yang hidup serba kekurangan bahkan miskin sekalipun belum tentu ia dzuhud, namun ada yang hidup serba kecukupan bahkan kaya raya bisa jadi ia orang yang sangat dzuhud”. Mendengar penjelasan Tuan Guru Darsin merasa sangat malu, kemudan ia minta maaf kepada Tuan Guru serta mohon diterima untuk menjadi muridnya. Semoga Allah swt memberikan rahmat kepada kita sekalian amin, amin ya robbal’alamin… wassalam …
Setelah keesokan harinya sebelum waktu dzuhur Tuan Guru tiba, walaupun usianya telah mencapai tujuh puluh empat tahun namun masih terlihat sehat dan kuat sehingga masih mampu menunggang kuda dengan jarak yang cukup jauh. Beliau memakai sorban, mengenakan pakain dan terompah yang semuanya serba bagus dan indah. Maka hal ini semakin membuat Darsin ragu-ragu dan dalam hatinya bergumam “mengapa tidak terlihat sedikitpun kedzuhudan dalam penampilan Tuan Guru ini”. Namun Darsin tidak berani menatap wajah Tuan Guru, wajah yang memancarkan kelembutan dan kesejukan serta penuh kasih sayang. Tuan Guru seorang ulama yang sangat bijaksana, beliau sangat memahami keragu-raguan tamunya, dengan lemah lembut beliau bertanya “anak muda dari mana asalmu dan apa tujuanmu kesini”. Darsin dengan tetap menunduk menjelaskan panjang lebar akan hal ihwal dan maksud kedatangannya serta tidak lupa Darsin menyampaikan salam dari Kiyai Sobirin untuk Tuan Guru. “Apa pekerjaan Kiyai Sobirin, gurumu itu” tanya Tuan Guru. Kemuian Darsin menceritakan pekerjaan gurunya, termasuk amalan-amalan yang selama ini sangat dikaguminya, “beliau setiap hari membagi-bagikan ikan hasil tangkapannya, baik kepada tetangga maupuk kepada kami para santrinya, sementara beliau hanya mengambil beberapa potong itupun terkadang hanya bagian kepalanya yang tidak berdaging”. Tuan Guru menyimak cerita Darsin penuh perhatian, kemudian kata beliau “Anak muda, apa yang kamu lihat itu hanyalah amalan lahir saja, ketahuilah daging ikan yang telah dibagikan kepada orang-orang seperti yang kamu ceritakan kepadaku tadi masih ada dan melekat erat dalam hatinya dan selalu ada dalam benaknya, sehingga hal itu menjadi hijab atau tirai penghalang dalam mengingat Allah azzawajala, kamu tertipu oleh amalan bathin yang tidak pernah kamu sadari, sehingga kamu pun berburuk sangka kepada harta titipan Allah yang ada padaku ini”. Batapa terperanjatnya Darsin mendengar penjelasan Tuan Guru yang lemah lembut itu. Darsin merasa bagaikan mendapat tamparan di mukanya, kini ia sadar “bahwa semua pekerjaan harus didasari oleh ikhlas dan sedikitpun tidak boleh bangga atas amalan tersebut”. Tuan Guru sangat maklum kepada orang-orang seperti Darsin, beliau melanjutkan bicara “banyak orang yang keliru, dzuhud atau bersahaja bukanlah diukur dari tampilan kehidupan lahir belaka, ia ada didalam ruh atau bathin, bathin harus bersih dari keinginan- keinginan dunia, sehingga bathin tersibak dari penghalang atau hijab. Ada yang hidup serba kekurangan bahkan miskin sekalipun belum tentu ia dzuhud, namun ada yang hidup serba kecukupan bahkan kaya raya bisa jadi ia orang yang sangat dzuhud”. Mendengar penjelasan Tuan Guru Darsin merasa sangat malu, kemudan ia minta maaf kepada Tuan Guru serta mohon diterima untuk menjadi muridnya. Semoga Allah swt memberikan rahmat kepada kita sekalian amin, amin ya robbal’alamin… wassalam …
Di Tolong Harimau
Amir bin Qais – semoga allah merahmatinya – mendatangi seorang wali.
“Tolong aku didoakan…”
“He, kamu minta tolong pada orang yang lebih lemah daripada kamu? Taatlah pada Allah dan berpegang teguhlah padaNya, Allah bakal memberikan kepadamu apa yang diminta oleh para hambaNya.”
Lalu sang wali itu tiba-tiba diam sejenak dan berbicara tentang firman Allah kepada Nabi Musa as:
“Jika kamu ingin menjadi pemimpin di dunia, dan menjadi pangeran di tempat yang luhur, maka pasrah totallah dirimu pada urusanKu, rela terhadap aturan hukumKu…”
Dalam kisah ini Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Aku sangat malu untuk mengatakan, “Aku berpegang teguh pada Allah. Karena orang yang berpegang teguh pada Allah itu tidak pernah takut kepada selain Allah, tidak pernah berharap selain Allah. Hatinya putus hubungan dengan dunia dan akhirat….”
Seorang yang saleh tiba-tiba kejebur sumur di tengah padang gersang. Tak ada yang menolongnya. Walau pun ia berteriak kesana kemari. Tiba-tiba ada suara, “Apakah anda minta tolong selain padaKu? Sedangkan Akulah penolong orang yang minta bantuan pertolongan?”
Orang saleh itu terdiam seribu bahasa. Tiba-tiba datanglah serombongan orang mendatangi sumur itu. Bukannya menolong dia, tetapi malah menutup sumur tersebut, agar tidak ada orang yang kejebur sumur tadi.
Orang saleh tadi putus asa. Karena bibir sumur itu tertutup. Tentu suaranya tidak didengar siapa pun. Ia pun putus harapan dari minta pertolongan pada makhluk. Lalu orang itu bermunajat kepada Allah.
“Oh Tuhanku, sekarang tak ada lagi selain DiriMu. Sedang aku sangat butuh kepadaMu….”
Kemudian Allah mengutus harimau, yang muncul dan mencoba membuka tutup sumur itu. Gilanya, si harimau malah turun ke arah sumur itu, dan mencengkeram orang itu dan dientaskan sampai ke atas sumur. Lalu ada suara dari atas kepala harimau.
“Hai kamu jangan putus asa hatimu dari yang menolongmu, dari kehancuran demi kehancuranmu….”
Orang tersebut lalu memohon ampun kepada Allah Azza wa-Jalla atas rasa putus asanya.
sufinews
“Tolong aku didoakan…”
“He, kamu minta tolong pada orang yang lebih lemah daripada kamu? Taatlah pada Allah dan berpegang teguhlah padaNya, Allah bakal memberikan kepadamu apa yang diminta oleh para hambaNya.”
Lalu sang wali itu tiba-tiba diam sejenak dan berbicara tentang firman Allah kepada Nabi Musa as:
“Jika kamu ingin menjadi pemimpin di dunia, dan menjadi pangeran di tempat yang luhur, maka pasrah totallah dirimu pada urusanKu, rela terhadap aturan hukumKu…”
Dalam kisah ini Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Aku sangat malu untuk mengatakan, “Aku berpegang teguh pada Allah. Karena orang yang berpegang teguh pada Allah itu tidak pernah takut kepada selain Allah, tidak pernah berharap selain Allah. Hatinya putus hubungan dengan dunia dan akhirat….”
Seorang yang saleh tiba-tiba kejebur sumur di tengah padang gersang. Tak ada yang menolongnya. Walau pun ia berteriak kesana kemari. Tiba-tiba ada suara, “Apakah anda minta tolong selain padaKu? Sedangkan Akulah penolong orang yang minta bantuan pertolongan?”
Orang saleh itu terdiam seribu bahasa. Tiba-tiba datanglah serombongan orang mendatangi sumur itu. Bukannya menolong dia, tetapi malah menutup sumur tersebut, agar tidak ada orang yang kejebur sumur tadi.
Orang saleh tadi putus asa. Karena bibir sumur itu tertutup. Tentu suaranya tidak didengar siapa pun. Ia pun putus harapan dari minta pertolongan pada makhluk. Lalu orang itu bermunajat kepada Allah.
“Oh Tuhanku, sekarang tak ada lagi selain DiriMu. Sedang aku sangat butuh kepadaMu….”
Kemudian Allah mengutus harimau, yang muncul dan mencoba membuka tutup sumur itu. Gilanya, si harimau malah turun ke arah sumur itu, dan mencengkeram orang itu dan dientaskan sampai ke atas sumur. Lalu ada suara dari atas kepala harimau.
“Hai kamu jangan putus asa hatimu dari yang menolongmu, dari kehancuran demi kehancuranmu….”
Orang tersebut lalu memohon ampun kepada Allah Azza wa-Jalla atas rasa putus asanya.
sufinews
Asal Mula Hari Raya Qurban / Idul Adha
Terjadinya sumur Zamzam
Nabi Ibrahim AS menikah untuk kedua kalinya dengan Hajar, salah seorang pembantu yang berakhlak mulia, atas saran dari istrinya Sarah. Hal itu karena hingga usia mereka yang semakin lanjut, mereka belum juga dikaruniai anak. Sementara Nabi Ibrahim berharap bisa memiliki keturunan untuk meneruskan dakwahnya. Atas izin Allah, tidak berapa lama kemudian Hajar mengandung dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Ismail. Nabi Ibrahim AS sangat bersuka cita. Namun Sarah yang semula begitu menyetujui pernikahan mereka, merasa cemburu melihat Hajar dapat memberi suaminya seorang putra.
“Kenapa bukan aku?” pikirnya.
Setelah kecemburuannya tak tertahankan lagi, ia meminta suaminya untuk mengusir Hajar.
“Suamiku, bawalah Hajar dan anaknya Ismail pergi dari sini, aku tidak tahan melihatnya,” pinta Sarah.
“Tapi, Hajar baru saja melahirkan dan Ismail masih bayi merah, tidak kasihankah engkau pada mereka?” tanya Nabi Ibrahim AS.
“Aku tidak dapat menahan kecemburuanku melihat anugerah yang diberikan Allah pada Hajar, tolonglah bawa mereka pergi jauh-jauh!” Sarah memohon.
Nabi Ibrahim terdiam. Kemudian turunlah wahyu Allah yang memerintahkannya untuk membawa Hajar dan Ismail ke sebuah gurun pasir. Maka ia segera menyiapkan perbekalan untuk perjalanan mereka. Esoknya berangkatlah ketiga anak beranak ini dari Palestina menuju gurun pasir yang tandus.
Berhari-hari mereka mengarungi gurun pasir yang tandus dan terik hingga tibalah mereka di suatu tempat yang sekarang bernama Mekah. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan Hajar dan Ismail di tempat itu.
“Istriku, disinilah aku harus meninggalkan engkau dan Ismail. Sementara aku harus kembali ke Palestina dan meneruskan dakwahku,” kata Nabi Ibrahim AS.
Mendengar kata-kata suaminya, Hajar menangis karena ketakutan.
“Suamiku tegakah engkau meninggalkan aku dan anakmu yang baru lahir ini di padang tandus tak berpenghuni ini?” tangisnya. “Kemana nantinya aku encari perlindungan?”
“Hajar istriku. Tentu saja berat hatiku meninggalkan kalian berdua di sini. Tapi ini adalah perintah Allah. Percayalah pada perlindungan-Nya. InsyaAllah Ia akan selalu menolongmu,” kata Nabi Ibrahim AS.
Hajar segera menyadari tugas yang diemban suaminya sebagai Nabi, maka dengan ikhlas ia merelakan suaminya untuk kembali ke Palestina.
Nabi Ibrahim AS segera memanjatkan doa, memohon perlindungan Allah untuk anak dan istrinya, “Ya Allah lindungilah anak dan istriku dan muliakanlah tanah ini di kemudian hari.”
Kemudian dengan perasaan berat ia berpamitan kepada Hajar dan mencium kening Ismail.
Sepeninggal Nabi Ibrahim, Hajar terduduk di tengah gurun. Matahari seolah ingin membakar semua makhluk yang ada di bawahnya. Setan yang senang menggoda manusia, membisikkan pikiran-pikiran jahat di benak Hajar.
“Hai Hajar. Percayakah engkau dengan yang diucapkan suamimu? Allah tidak mungkin memberikan perintah yang kejam. Itu pastilah akal-akalan suamimu untuk mengusir kalian,” bisiknya.
“Demi Allah, aku percaya dengan kemuliaan suamiku. Pergilah dari pikiranku!” Hajar berbicara dalam batinnya.
Untuk menentramkan hati, Hajar memanjatkan doa kepada Allah SWT, “Ya Allah yang Maha Agung lindungilah hambaMu. Dan berilah hamba ketabahan serta kesabaran yang tinggi.”
Sebentar saja perbekalan mereka habis. Tak ada air yang tersisa.
Ismail mulai menangis karena kelaparan dan kehausan. Hajar mencoba menyusuinya, namun tak setetes pun ASInya yang keluar. Ia mulai panik. Ia mencoba memeras kerudungnya, berharap ada keringatnya yang bisa diminum Ismail, tapi keringatnya pun kering. Ia meletakkan putranya di tanah.
“Anakku, tunggulah di sini. Ibu akan mencoba mencari air. Mudah-mudahan di bukit itu ada mata airnya,” kata Hajar.
Lalu ia berlari-lari kecil mendaki bukit Shofa hingga ke puncaknya. Alangkah kecewanya ia, karena tidak setetes air pun yang ditemukannya. Dari puncak bukit Shofa ia melihat bahwa di bukit satunya (bukit Marwah) sepertinya ada mata air.
Maka ia kembali berlari menuruni bukit Shofa dan mendaki bukit Marwah. Namun ternyata yang dilihatnya hanyalah fatamorgana. Tak ada air di sana. Bukit itu sama tandusnya. Tiba-tiba ia melihat bahwa di bukit Shofa ada mata air.
Segera ia kembali menuju bukit Shofa dan menemukan bukit itu tandus. Ia terus berlari bolak-balik antara Shofadan Marwah hingga tujuh kali. Inilah nantinya yang dalam ibadah haji disebut Sa’i.
Hajar sangat kelelahan dan hampir putus asa. Tiba-tiba ia melihat Ismail yang masih menangis, menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Dari hasil hentakkannya itu keluarlah air yang memancar. Hajar segera berlari mendekati anaknya. Air iu memancar deras dan menyebar kemana-mana.
“Zam zam!” kata Hajar yang artinya ‘berkumpullah’.
Air itu kemudian berkumpul dan membentuk sebuah genangan yang luas. Dengan gembira Hajar memberi minum putranya hingga kenyang, lalu ia pun minum untuk menghilangkan dahaganya.
Mimpi Nabi Ibrahim AS
Dalam mimpinya ia merasa mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim AS terbangun dengan terkejut.
“Astaghfirullah,” kata Nabi Ibrahim AS dalam hati. “ Mungkinkah setan yang telah memberiku mimpi buruk ? ”
Pada waktu itu para pedagang sering melintasi padang gurun tersebut. Mereka terkejut dengan kemunculan kolam mata air itu. Terlebih lagi melihat keberadaan Hajar dan Ismail di tempat itu.
“Nyonya, kami adalah rombongan pedagan yang akan pergi ke negeri jauh. Ijinkanlah kami beristirahat dan mengisi perbekalan air kami,” kata ketua rombongan.
“Tentu saja anda boleh. Ambillah air hadiah dari Allah ini. Tapi bolehkah kami meminta sedikit makanan untuk kami?” kata Hajar.
“Dengan senang hati,” kata ketua rombongan.
Lama-kelamaan semakin banyak pedagang yang lewat dan mampir di air Zamzam untuk mengisi perbekalan. Hajar dan Ismail dianggap sebagai pemilik air Zamzam tersebut. Bahkan mereka membangunkan tempat tinggal untuk mereka berdua. Kemudian banyak dari pedagang dan musafir yang meminta izin untuk menetap sehingga tempat itu menjadi perkampungan yang ramai dan subur. Hajar dan Ismail tidak sendiri lagi. Maha kuasa Allah yang telah menjawab doa hambaNya.
Beberapa tahun kemudian, Nabi Ibrahim AS datang untuk mengunjungi istri dan anaknya. Ia sangat heran melihat perubahan yang terjadi.
“Ki sanak, apakah di tempat ini ada seorang perempuan bernama Hajar dan putranya Ismail?” tanya Nabi Ibrahim AS kepada seorang penduduk.
“Oh tentu saja. Mereka adalah pemilik sumur Zamzam. Mereka biasanya sedang menggembalakan ternaknya di Arofah,” jawab penduduk.
“Terima kasih,” kata Nabi Ibrahim AS.
Akhirnya Nabi Ibrahim menemukan istri dan anaknya yang sedang menggembala. Mereka berpelukkan dengan bahagia.
“Bagaimana kabarmu istriku?” tanya Nabi Ibrahim AS.
“Alhamdulillah, Allah selalu melindungi kami,” jawab Hajar. “Ini adalah Ismail putramu. Nak ini adalah ayahmu.”
Ismail mencium tangan Nabi Ibrahim AS.
“Maafkan ayahmu nak. Karena telah meninggalkan kalian begitu lama,” kata Nabi Ibrahim AS.
“Tidak apa-apa ayahanda. Itu sudah takdir Allah,” jawab Ismail bijak.
“Mari kita pulang ke rumah. Pastinya engkau capai dan ingin beristirahat,” ajak Hajar.
“Baiklah,” kata Nabi Ibrahim AS.
Perintah berqurban
Mereka segera beranjak dari Arofah. Namun setibanya di Mudzdalifah Nabi Ibrahim AS mengajak mereka untuk beristirahat sejenak. Saking capainya mereka ketiduran. Saat itu Nabi Ibrahim AS bermimpi. Dalam mimpinya ia merasa mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim AS terbangun dengan terkejut.
“Astaghfirullah,” kata Nabi Ibrahim AS dalam hati. “Mungkinkah setan yang telah memberiku mimpi buruk?” Namun esok malamnya, mimpi itu terulang kembali hingga tiga kali. Akhirnya ia membicarakan hal itu kepada Ismail.
“Nak, sesungguhnya ayah telah bermimpi sebanyak tiga kali. Dan dalam mimpiku, Allah memerintahkanku untuk menyembelihmu. Bagaimana menurut pendapatmu?” tanya Nabi Ibrahim AS.
“Ayahku, jika memang mimpi itu perintah Allah, maka laksanakanlah. Insya Allah engkau akan mendapatiku sebagai anak yang berbakti dan sabar,” jawab Ismail.
Nabi Ibrahim AS sangat bersedih hingga menitikkan air mata. Bagaimana tidak, setelah bertahun-tahun tidak bertemu, kini ia harus menyembelih putera tercintanya. Ismail memantapkan hati ayahnya.
Maka esoknya Ismail berdandan dengan baju terbaiknya. Kepada Hajar mereka pamit untuk berjalan-jalan. Di tengah jalan mereka bertemu seseorang..
“Hai Ibrahim. Betapa kejam hatimu hingga tega menyembelih anakmu sendiri,” katanya.
Nabi Ibrahim AS segera menyadari siapa yang menegurnya. Ia mengambil batu kerikil dan melempari orang itu. Kelak inilah yang dalam ibadah haji disebut Jumratul Ula.
“Dengan nama Allah pergilah kau setan,” kata Nabi Ibrahim AS.
Setan itu pun lari ketakutan dan menghilang.
Lalu muncul lagi orang yang kedua. Ia pun mengatakan hal yang sama dan Nabi Ibrahim AS melemparinya dengan batu juga. Inilah yang disebut Jumratul Wustha.
Muncul lagi yang terakhir yang juga dilempari batu oleh Nabi Ibrahim AS. Yang ini disebut sebagai Jumratul Aqobah. Kemudian sampailah mereka di bukit Mina tempat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Ismail.
“Nak, benarkah kau ikhlas dengan perintah Allah ini?” tanya Nabi Ibrahim AS.
“InsyaAllah,” jawab Ismail. “Tapi aku meminta padamu untuk meringankan deritaku. Ikatlah kedua tangan dan kakiku. Tutuplah mukaku dengan baju ini. Percepatlah gesekan pedangmu. Lalu sampaikan salam dan berikan pakaianku kepada ibuku untuk kenang-kenangan.”
“Baik anakku. Aku akan melakukan permintaanmu,” kata Nabi Ibrahim AS dengan hati hancur.
Ismail berbaring terlentang di atas sebuah batu, sementara pedang Nabi Ibrahim AS telah berada di lehernya.
“Bismillahirrohmanirrohiim..” suara Nabi Ibrahim AS begitu gemetar.
Sesaat sebelum pedangnya menyentuh kulit Ismail, terdengar suara ghaib memecah angkasa.
“Wahai Ibrahim kau telah membuktikan ketaatanmu kepada Allah. Dan Allah berkenan memberimu balasan yang setimpal.”
Di depan Nabi Ibrahim AS kini berdiri sesosok malaikat yang bercahaya. Ia menuntun seekor domba yang besar dan bagus.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar..” salamnya.
“La Ilaaha Illalahu, Allahu Akbar..” sahut Nabi Ibrahim AS.
“Allahu Akbar, Walillahil Hamdu,” lanjut Ismail.
“Wahai Ibrahim. Allah memerintahkan untuk mengganti kurbanmu dengan seekor domba. Sembelihlah domba itu sebgaia ganti anakmu. Makanlah dagingnya dan jadikanlah hari ini sebagai hari raya bagimu. Sedekahkanlah sebagian dagingnya kepada fakir miskin. Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang taat,” kata Malaikat.
Nabi Ibrahim AS dan Ismail sangat gembira. Mereka menyembelih domba tersebut dan membagi-bagikan sebagian dagingnya kepada fakir miskin. Begitulah asal mula adanya Hari Raya Idul Adha atau Hari aya Qurban atau disebut juga Hari Raya Haji.
Hilman Muchsin
Spiritualitas Abu Dzarr al-Ghifari
Kehidupan sufi tidaklah seperti yang dibayangkan orang selama ini; di ruang gua yang sempit di tengah hutan atau di puncak menara. Stigma mementingkan kesalehan pribadi dan mengabaikan kesalehan sosial yang selalu dilekatkan pada ajaran spiritual ini mungkin perlu ditelaah ulang. Jika kita mau merunut akar sejarah sufi hingga zaman sahabat Nabi, justru kita akan menemukan pribadi-pribadi yang sangat membenci dan menentang terjadinya ketimpangan sosial.
Abu Dzarr al-Ghifari adalah tokoh sufi yang sangat disegani di kalangan sahabat. Meskipun enggan dengan kekayaan, ia sangat memikirkan kesejahteraan rakyat. Beliau tidak henti-hentinya menyuarakan pemerataan ekonomi di masyarakat. Ia tidak rela melihat ketimpangan dan gap yang curam antara si miskin dan si kaya. Ia berteriak dari Syiria hingga ke pusat pemerintahan Islam di Madinah agar si kaya tidak menumpuk kekayaan pribadi.
"Wahai orang-orang kaya, bantulah yang miskin. Orang-orang yang menumpuk kekayaan dan tidak mendermakannya di jalan Allah, akan dipanggang di neraka." Kalimat itu seringkali diteriakkan oleh Abu Dzarr di Syiria, pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Serentak, rakyat kecil yang berekonomi lemah menjadi pendukung Abu Dzarr. Mereka meneriakkan kalimat yang sama di seluruh penjuru Syiria—mirip orasi massif kaum proletar dalam pergulatan sosialisme modern.
Orang-orang kaya merasa terganggu dengan "kritik" tajam Abu Dzarr tersebut, hampir mirip barangkali dengan kondisi para borjuis di masa Perang Dingin yang sangat risih dengan ide sosialisme. Mereka mengadu kepada pemerintah Syiria. Mu`awiyah, yang saat itu menjabat Gubernur Syiria, segera mengirim Abu Dzarr ke Khalifah Ustman di Madinah.
Di hadapan Khalifah, Abu Dzarr mempertegas pandangannya bahwa orang-orang kaya tidak semestinya menumpuk harta. Ia kemudian membaca firman Allah dalam Surah at-Taubah bahwa orang-orang yang menumpuk emas-perak dan tidak dinafkahkan di jalan Allah, mereka akan mendapat siksa yang pedih dan dipanggang di neraka.
Di hadapan Khalifah, Abu Dzarr didebat oleh Ubay bin Ka`b. Ia bilang: "Tidak masalah, orang kaya menyimpan harta, asal ia memenuhi kewajiban yang terkait dengan kekayaannya itu". Abu Dzarr berang. Beliau tak bersikeras dengan pandangannya. "Aku tidak rela dengan orang-orang kaya, sehingga mereka membagikan hartanya dan berbuat baik kepada orang di sekelilingnya ….," tegasnya kepada Khalifah.
Abu Dzarr dengan segala kesufiannya memiliki kepekaan sosial yang begitu tinggi terhadap kondisi masyarakat di sekelilingnya. Ia hidup berzuhud, tidak suka harta, tapi memiliki gagasan yang revolusioner mengenai kesejahteraan.
Dengan gagasannya itu, Abu Dzarr dianggap sebagai simbol pembela orang-orang kecil yang proletar. Ide sosialisme Islam semacam Abu Dzarr inilah yang kemudian diusung oleh kelompok Islam sosialis Indonesia beberapa dekade setelah kemerdekaan. Beberapa tokoh Muslim sosialis meneriakkan pembelaan terhadap rakyat kecil dengan menggunakan kata mustadl`afin, sebuah term yang akrab sekali dengan pembelaan Alquran terhadap Muslimin yang tertindas di Mekkah. Mereka menemukan akarnya dalam Islam dan menjadikannya dasar atas kecenderungan mereka yang memihak terhadap paham sosialisme yang diadopsi dari Eropa pada masa Perang Dingin.
Meski sama-sama pembelaan terhadap rakyat jelata, ide dan semangat Abu Dzarr sangat berbeda dengan sosialisme modern. Abu Dzarr tidak mendasarkan paham ekonominya sebagai gerakan politik. Beliau tidak memiliki kepentingan dan tendensi apa pun dengan pahamnya itu.
Meskipun ada yang menengarai bahwa beliau dipengaruhi oleh Abdullah bin Saba', politisi pengacau pada masa pemerintahan Utsman. Bahkan, adapula yang berupaya mengaitkan paham Abu Dzarr dengan paham sosialisme ekstrim Mazdak di Persia, yang menyatakan bahwa harta dan wanita adalah aset umum yang tidak bisa menjadi milik pribadi. Namun menurut saya ini terlalu berlebihan.
Abu Dzarr tidak dipengaruhi oleh siapa pun. Beliau membenci penimbunan kekayaan semenjak awal masuk Islam. Dan, pandangan itu terus beliau pegang sampai dijemput ajal sendirian di Rabdzah, sebuah pelosok di timur Madinah.
Sebagai sufi yang tak memiliki kecintaan apapun terhadap harta, Abu Dzarr sangat risih dengan watak serba materialistik pada saat itu. Bukan karena sentimen terhadap orang-orang kaya, tapi berjuang menghadang watak rakus yang menjalar dengan sangat cepat dan mengakar di tengah-tengah masyarakat.
Fokus Abu Dzarr bukan mengubah orang miskin menjadi kaya, tapi mengubah watak orang-orang kaya agar tidak rakus, tertumpu pada materi dan gila harta.
Ketimpangan sosial di sekitarnya ia jadikan sebagai sarana untuk mengubah moralitas orang-orang kaya agar mau berbagi, tidak menumpuk kekayaan dan tidak "mempertuhankan" materi.
Abu Dzarr memberikan warna yang unik dalam tasawuf dan paham kesejahteraan masyarakat. Di satu sisi beliau suka hidup miskin, di sisi lain beliau meneriakkan pemerataan ekonomi dan mengecam orang-orang kaya.
Protesnya terhadap orang-orang kaya, bukan karena dirinya miskin. Tapi, karena muak dengan kecenderungan materialistik mereka.
Dari situ yang muncul sebagai esensi dalam paham ekonomi sufistik Abu Dzarr adalah pembentukan moralnya, sedangkan pemerataan ekonomi atau kesejahteraan bersama merupakan efek dari pembentukan moral itu. Ekonomi sufistik Abu Dzarr ini bisa dinalar dengan logika ekonomi dan tasawuf sekaligus. Logika ekonominya adalah jika orang-orang kaya menjadi zuhud, maka seluruh komponen masyarakat akan sejahtera. Sedangkan logika sufistiknya adalah jika orang-orang kaya mau berbagi, maka mereka menjadi orang-orang yang zuhud dan moral tinggi.
Sebagai falsafah hidup pribadi atau gerakan spiritual, teori ekonomi sufistik ala Abu Dzarr adalah sebuah ide yang betul-betul cemerlang. Tapi, untuk menjadi ideologi masyarakat, teori Abu Dzarr ini hampir menjadi sebuah utopia. Mungkin karena itu juga, Ustman berkata sebagai jawaban atas desakan Abu Dzarr: "Wahai Abu Dzarr, tidak mungkin kita membawa masyarakat menjadi zuhud semua. Yang harus aku lakukan adalah mengatur mereka dengan hukum Allah dan memberikan anjuran agar mereka hidup sederhana."taq/ad
Sumber : Republika Newsroom
Mengundang Tuhan Makan Malam
Pada suatu hari, beberapa orang dari Bani Israil datang menemui Musa as
dan berkata, Wahai Musa, bukankah kau boleh bicara dengan
Tuhan? Tolong sampaikan pada-Nya, kami ingin mengundang-Nya
makan malam.
Musa marah luar biasa. Ia berkata bahwa Tuhan tidak perlu makan atau minum.
Ketika Musa datang ke Gunung Sinai untuk berbicara dengan Tuhan, Tuhan bersabda,
Mengapa kau tidak menyampaikan kepada-Ku undangan makan malam dari hamba-Ku? Musa menjawab, Tapi Tuhanku, Engkau tidak makan. Engkau pasti tidak akan menerima undangan tolol seperti itu. Tuhan berkata, Simpan pengetahuanmu antara kau dan Aku. Katakan pada mereka, Aku akan datang memenuhi undangan itu.
Turunlah Musa dari Gunung Sinai dan mengumumkan bahwa Tuhan akan datang untuk makan malam bersama Bani Israil. Tentu saja semua orang, termasuk Musa, menyiapkan jamuan yang amat mewah. Ketika mereka sedang sibuk memasak hidangan-hidangan terlezat dan mempersiapkan segalanya, seorang kakek tua muncul tanpa diduga.
Orang itu miskin dan kelaparan. Ia meminta sesuatu untuk dimakan. Para koki yang sibuk memasak menolaknya, Tidak, tidak. Kami sedang menunggu Tuhan. Nanti ketika Tuhan datang, kita makan bersama-sama. Mengapa kamu tidak ikut membantu. Lebih baik kamu ikut mengambilkan air dari sumur!
Mereka tidak memberi apa-apa untuk kakek malang itu. Waktu berlalu tetapi Tuhan ternyata tidak datang. Musa menjadi amat malu dan tidak tahu harus berkata apa kepada para pengikutnya.
Keesokan harinya, Musa pergi ke Gunung Sinai dan berkata, Tuhan, apa yang Kau lakukan kepadaku?
Aku berusaha meyakinkan setiap orang bahwa Kau ada. Kau katakan Kau akan datang ke jamuan kami, tapi Kau ternyata tak muncul. Sekarang tidak ada yang akan mempercayaiku lagi!
Tuhan menjawab, Aku datang. Jika saja kau memberi makan kepada hamba-Ku yang miskin, kau telah memberi makan kepada-Ku. Tuhan bersabda, Aku, Yang tidak akan boleh dimasukkan ke seluruh semesta, boleh dimasukkan ke dalam hati hamba-Ku yang beriman.
Ketika kita berkhidmat kepada hamba Tuhan, kita telah berkhidmat kepada-Nya. Ketika kita mengabdi kepada makhluk, sesungguhnya kita juga mengabdi kepada Sang Khalik.
Musa marah luar biasa. Ia berkata bahwa Tuhan tidak perlu makan atau minum.
Ketika Musa datang ke Gunung Sinai untuk berbicara dengan Tuhan, Tuhan bersabda,
Mengapa kau tidak menyampaikan kepada-Ku undangan makan malam dari hamba-Ku? Musa menjawab, Tapi Tuhanku, Engkau tidak makan. Engkau pasti tidak akan menerima undangan tolol seperti itu. Tuhan berkata, Simpan pengetahuanmu antara kau dan Aku. Katakan pada mereka, Aku akan datang memenuhi undangan itu.
Turunlah Musa dari Gunung Sinai dan mengumumkan bahwa Tuhan akan datang untuk makan malam bersama Bani Israil. Tentu saja semua orang, termasuk Musa, menyiapkan jamuan yang amat mewah. Ketika mereka sedang sibuk memasak hidangan-hidangan terlezat dan mempersiapkan segalanya, seorang kakek tua muncul tanpa diduga.
Orang itu miskin dan kelaparan. Ia meminta sesuatu untuk dimakan. Para koki yang sibuk memasak menolaknya, Tidak, tidak. Kami sedang menunggu Tuhan. Nanti ketika Tuhan datang, kita makan bersama-sama. Mengapa kamu tidak ikut membantu. Lebih baik kamu ikut mengambilkan air dari sumur!
Mereka tidak memberi apa-apa untuk kakek malang itu. Waktu berlalu tetapi Tuhan ternyata tidak datang. Musa menjadi amat malu dan tidak tahu harus berkata apa kepada para pengikutnya.
Keesokan harinya, Musa pergi ke Gunung Sinai dan berkata, Tuhan, apa yang Kau lakukan kepadaku?
Aku berusaha meyakinkan setiap orang bahwa Kau ada. Kau katakan Kau akan datang ke jamuan kami, tapi Kau ternyata tak muncul. Sekarang tidak ada yang akan mempercayaiku lagi!
Tuhan menjawab, Aku datang. Jika saja kau memberi makan kepada hamba-Ku yang miskin, kau telah memberi makan kepada-Ku. Tuhan bersabda, Aku, Yang tidak akan boleh dimasukkan ke seluruh semesta, boleh dimasukkan ke dalam hati hamba-Ku yang beriman.
Ketika kita berkhidmat kepada hamba Tuhan, kita telah berkhidmat kepada-Nya. Ketika kita mengabdi kepada makhluk, sesungguhnya kita juga mengabdi kepada Sang Khalik.
Sultan dan Sufi
Alkisah, seorang Sultan sedang berparade di jalan-jalan utama kota
Istanbul, dengan dikelilingi para pengawal dan tentaranya.
Seluruh penduduk kota datang untuk melihat sang Sultan. Semua
orang memberikan hormat ketika Sultan lewat, kecuali seorang
darwis yang amat sederhana.
Sang Sultan segera menghentikan paradenya dan menyuruh tentaranya untuk membawa darwis itu menghadap. Ia menuntut penjelasan mengapa darwis itu tak memberikan penghormatan kepadanya ketika ia lewat.
Darwis itu menjawab, "Biarlah semua orang ini menghormat kepadamu. Mereka semua menginginkan apa yang ada padamu; harta, kedudukan, dan kekuasaan. Alhamdulillah, segala hal ini tak berarti bagiku. Lagipula, untuk apa saya menghormat kepadamu apabila saya punya dua budak yang merupakan tuan-tuanmu?"
Semua orang di sekelilingnya ternganga. Wajah sang Sultan memerah karena marah. "Apa maksudmu?" bentaknya.
"Kedua budakku yang menjadi tuanmu adalah amarah dan ketamakan," ujar darwis itu tenang seraya menatap kembali kedua mata Sultan. Sultan itu pun tersadar akan kebenaran ucapan orang itu dan ia balik menghormat sang darwis.
Sang Sultan segera menghentikan paradenya dan menyuruh tentaranya untuk membawa darwis itu menghadap. Ia menuntut penjelasan mengapa darwis itu tak memberikan penghormatan kepadanya ketika ia lewat.
Darwis itu menjawab, "Biarlah semua orang ini menghormat kepadamu. Mereka semua menginginkan apa yang ada padamu; harta, kedudukan, dan kekuasaan. Alhamdulillah, segala hal ini tak berarti bagiku. Lagipula, untuk apa saya menghormat kepadamu apabila saya punya dua budak yang merupakan tuan-tuanmu?"
Semua orang di sekelilingnya ternganga. Wajah sang Sultan memerah karena marah. "Apa maksudmu?" bentaknya.
"Kedua budakku yang menjadi tuanmu adalah amarah dan ketamakan," ujar darwis itu tenang seraya menatap kembali kedua mata Sultan. Sultan itu pun tersadar akan kebenaran ucapan orang itu dan ia balik menghormat sang darwis.
Nilai Seorang Mursyid
Bergabung
dengan kalangan sufi adalah fardhu ‘ain. Sebab tidak seorangpun
terbebas dari aib dan kesalahan kecuali para Nabi. (Imam Al-Ghazali)
Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’I dikenal
dengan nama Imam al Ghazali lahir tahun 450 H/1058 M di propinsi
Khurasan Irak. Beliau mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak dalam
berhujjah sehingga digelar sebagai hujjatul Islam. Diantara banyak karya tasawuf yang beliau karang yang sangat terkenal sampai sekarang adalah Ihya Ulumuddin (Kebangkitan ilmu-ilmu Agama).
Imam
al Gahazali pada mulanya bukanlah pengamal tasawuf bahkan beliau tidak
begitu mempercayai penomena-penomena kekeramatan yang di alami oleh
orang-orang shaleh sampai Allah memberikan petunjuk kepada beliau
sebagai mana yang beliau ceritakan berikut yang kami kutip dari buku Abdul Qadir Isa, Hakikat Tasawuf :
Pada
awalnya aku adalah orang mengingkari kondisi spiritual orang-orang
shaleh dan derajat-derajat yang dicapai oleh para ahli makrifat. Hal ini
terus berlanjut sampai akhirnya aku bergaul dengan Mursyid-ku, Yusuf
an Nasaj. Dia terus mendorongku untuk melakukan mujahadah, hingga
akhirnya aku memperoleh karunia-karunia ilahiyah. Aku dapat melihat
Allah dalam mimpi. Dia berkata kepadaku, “wahai Abu Hamid,
tinggalkanlah segala kesibukanmu. Bergaullah dengan orang-orang yang
telah Aku jadikan tempat untuk pandangan-Ku di bumi-Ku. Mereka adalah
orang-orang yang menggadaikan dunia dan akhirat karena mencintai Aku.” Aku berkata, “Demi kemulyaan-Mu, aku tidak akan melakukannya kecuali Engkau membuatku dapat merasakan sejuknya berbaik sangka kepada mereka.”
Allah berfirman, “Sungguh Aku telah melakukannya. Yang memutuskan
hubungan antara engkau dan mereka adalah kesibukanmu mencintai dunia.
Maka keluarlah dari kesibukanmu mencintai dunia dengan suka rela sebelum
engkau keluar dari dunia dengan penuh kehinaan. Aku telah melimpahkan
kepadamu cahaya-cahaya dari sisi-Ku Yang Maha Suci.” Aku bangun dengan
penuh gembira. Lalu aku mendatangi Syekh-ku, Yusuf an Nasaj, dan
menceritakan tentang mimpiku itu. Dia tersenyum sambil berkata, “Wahai
Abu Hamid, itu hanyalah lembaran-lembaran yang pernah kami peroleh di
fase awal perjalanan kami. Jika engkau tetap bergaul denganku, maka
matahati mu akan semakin tajam.”
Pengalaman
Imam Al Ghazali berjumpa dengan Allah dalam mimpi atas bimbingan Guru
Mursyidnya menyebabkan beliau sangat yakin dengan ilmu tasawuf yang
selama ini tidak menjadi perhatiannya. Pengalaman yang tidak pernah
Beliau alami sebelumnya walaupun telah hapal Al Qur’an, ribuan hadist
dan berbagai karya ulama-ulama besar. Dan dari keterangan Guru Mursyid
beliau ternyata perjumpaa dengan Allah dalam mimpi yang dialami oleh
Imam Al Ghazali itu hanyalah fase awal dari perjalanan rohani. Tentu
saja pengalaman-pengalaman spiritual yang dialami oleh Imam al Ghazali
bisa juga dialami oleh orang lain asal memenuhi rukun dan syaratnya.
Imam
al Ghazali berpendapat bahwa sangat penting bagi seseorang yang
menempuh perjalan rohani mempunyai seorang Guru Mursyid yang membimbing
agar tidak tersesat sebagaimana yang beliau kemukakan :
“Di antara hal yang wajib bagi para salik
yang menempuh jalan kebenaran adalah bahwa dia haru mempunyai seorang
Mursyid dan pendidikan spiritual yang dapat memberinya petunjuk dalam
perjalanannya, serta melenyapkan akhlak yang tercela. Yang dimaksud
pendidikan di sini, hendaknya seorang pendidik spiritual menjadi seperti
petani yang merawat tanamannya. Setiap kali melihat batu atau tumbuhan
yang membahayakan tanamannya, maka dia langsung mencabut dan
membuangnya. Dia juga selalu menyirami tanamannya agar dapat tumbuh
dengan baik dan terawat, sehingga menjadi lebih baik dari tanaman
lainnya. Apabila engkau telah mengetahui bahwa tanaman membutuhkan
perawat, maka engkau akan mengetahui bahwa seorang salik harus
mempunyai seorang mursyid. Sebab Allah mengutus para Rasul kepada umat
manusia untuk membimbing mereka ke jalan lurus. Dan sebelum Rasulullah
SAW`wafat, Beliau telah menetapkan para Khalifah sebagai wakil Beliau
untuk menunjukkan manusia ke jalan Allah. Begitulah seterusnya, sampai
hari kiamat. Oleh karena itu, seorang salik mutlak membutuhkan seorang
Mursyid.”
Menurut
Imam al Gahazali, pada umumnya manusia tidak bisa melihat
penyakit-penyakit jiwa mereka sendiri kecuali orang-orang yang telah
terbuka hijabnya dan telah tercerahkan lewat bimbingan Mursyid.
Seseorang hanya dapat melihat korotan saudaranya tapi dia tidak bisa
melihat kotorannya sendiri. Seorang Mursyid atas karunia Allah
mengetahui penyakit-penyakit hati manusia. Oleh karenanya kata Imam Al
Ghazali apabila menusia ingin mengetahui penyakit-penyakit jiwanya
hendaknya dia duduk dihadapan Mursyid yang mengetahui penyakit-penyakit
jiwa dan menyingkap aib-aib yang tersembunyi. Dia harus
mengendalikan hawa nafsunya dan mengikuti petunjuk Mursyidnya itu dalam
melakukan mujahadah. Inilah sikap seorang murid terhadap mursyidnya
atau sikap seorang pelajar terhadap gurunya. Dengan demikian, Mursyid
atau gurunya akan dapat mengenalkannya tentang penyakit penyakit yang
ada dalam jiwanya dan cara mengobatinya.
Zaman
sekarang orang menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu-ilmu yang
tidak berhubungan dengan dirinya sendiri dan melupakan tentang ilmu
mengenal diri. Tasawuf adalah ilmu untuk penyucian hati dan ilmu untuk
mengenal diri agar bisa mengenal Tuhan. Tasawuf bukan sekedar ilmu yang
dibaca dan dihapal lalu dipraktekkan menurut selera masing-masing.
Tasawuf pada intinya adalah ilmu kerohanian yang membutuhkan seorang
Master yang ahli untuk membimbing manusia kepada Tuhan. Dialah Mursyid
yang bukan hanya mengatakan bahwa Allah itu Esa dengan segala
sifat-sifat-Nya tapi juga bisa mengantarkan muridnya langsung bertemu
dengan Allah sebagaimana pengalaman Imam Al Ghazali diantarkan
kehadirat Allah oleh Guru Mursyidnya.
Saya selalu bersyukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya yang tidak terhingga dengan diperkenalkan saya dengan salah seorang Auliya-Nya.
Beliau lah yang membimbing saya kehadirat Allah SWT menemukan cahaya
dalam kegelapan hati. Tanpa Mursyid, sungguh saya hanyalah seorang hamba
baca yang merasa tahu tanpa bisa merasakan apa-apa.
Semoga
Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim akan selalu mengekalkan kita
dalam karunia-Nya bersama dengan kekasih-Nya di muka bumi, memberikan
kesempatan untuk terus menyaksikan keindahan wajah-Nya, mengizinkan kita
untuk terus mendengar firman-Nya yang Maha Menggetarkan. Semoga! (SM)
Pengantin Baru Masuk Surga
|
Pada suatu hari laki-laki bernama Julaibiib menghadap Rasulallah Saw. Julaibiib adalah orang yang sangat melarat. Dia bertanya: “Ya Rasulallah! Jika aku mati dalam keadaanku yang beriman ini apakah Allah SWT akan memasukkan aku ke dalam surga dan mengawainkan aku dengan bidadari? “Ya tentu, insya Allah!”jawab Rasulallah Saw. “Mengapa sahabat-sahabat Tuan setiap yang aku lamar puterinya, semua menolak dan tidak menikahkan puterinya denganku?” tanya Julaibiib lagi. “Pergilah kamu ke rumah keluarga fulan dan katakanlah kepadanya bahwa Rasulallah Saw memerintahkan kepada Anda agar menikahkan puterinya kepadaku,”jawab Rasulallah. Keluarga itu pun akhirnya sepakat untuk menikahkan Julaibiib dengan putri mereka. Akan tetapi sebelum Julaibiib sempat masuk ke kamar pengantin, dia mendengar panggilan masuk berjihad. Maka dia pun lari dan bergabung dengan pasukan perang. Ketika perang telah usai, Rasulallah Saw bertanya kepada para sahabat: “Siapa diantara kawan-kawan kalian yang sekarang tidak tampak dan mugkin menjadi syahid?” Para sahabat pun menyebutkan beberapa nama, tetapi tidak menyebut nama Julaibiib karena dia belum banyak dikenal. Lalu Rasulallah Saw bersabda: “Apakah aku justru kehilangan Julaibiib, marilah kita bersama mencarinya!” Akhirnya, Rasulallah Saw menemukan jasad Julaibiib tergeletak mati sebagai syahid di tengah tujuh mayat orang kafir yang baru dilawannya. Lalu Rasulallah Saw pun duduk di samping jasad Julaibiib dan mengangkat kepalanya ke pangkuan beliau sambil menangis. Tetapi sesaat kemudian beliau tersenyum dan memalingkan wajahnya. Maka para sahabat pun bertanya: “Sungguh aneh sekali keadaan Tuan, ya Rasulallah! Tuan menangis lalu tersenyum dan memalingkan wajah Tuan?” Rasulallah bersabda: “Ya, aku menangis karena perpisahan dengan saudaraku ini, dan aku tersenyum ketika Allah memperlihatkan kepadaku tempatnya di surga. Aku palingkan wajahku ketika aku melihat istrinya, seorang bidadari dari suraga, aku turun ke bumi lalu masuk di antara kulit dan bajunya, kemudian mengakatnya ke surga di haribaan-Nya, di alam kelanggengan.” (HB) |
Tiga Nasehat
Pada suatu hari ada seseorang menangkap burung. Burung itu berkata kepadanya, "Aku tak berguna bagimu sebagaitawanan. Lepaskan saja aku, nanti kuberi kau tiga nasehat." Si Burung berjanji akan memberikan nasehat pertama ketika masih berada dalam genggaman orang itu, yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon,dan yang ketiga ia sudah mencapai puncak bukit. Orang itu setuju, dan meminta nasehat pertama. Kata burung itu, "Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun kau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal." Orang itupun melepaskannya, dan burung itu segera melompat ke dahan. Di sampaikannya nasehat yang kedua, "Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti." Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata, "O manusia malang! diriku terdapat dua permata besar,kalau saja tadi kau membunuhku, kau akan memperolehnya!" Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun katanya, "Setidaknya, katakan padaku nasehat yang ketiga itu!" Si Burung menjawab, "Alangkah tololnya kau, meminta nasehat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kaurenungkan sama sekali! Sudah kukatakan padamu agar jangan kecewa kalau kehilangan, dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal.Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku toh tidak cukup besar untuk bisa menyimpan dua permata besar! Kau tolol. Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia." Catatan Dalam lingkungan darwis, kisah ini dianggap sangat penting untuk "mengakalkan" pikiran siswa Sufi, menyiapkannya menghadapi pengalaman yang tidak bisa dicapai dengan cara-cara biasa. Di samping penggunaannya sehari-hari di kalangan Sufi,kisah ini kedapatan juga dalam klasik Rumi, Mathnawi.Kisah ini ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Attar,salah seorang guru Rumi.Kedua pujangga itu hidup pada abad ke tiga belas.
Bayazid dan Orang Bodoh
| |
| Pada suatu hari, seseorang mengomel kepada Bayazid, seorang ahli mistik pada abad kesembilan, mengatakan bahwa ia telah berpuasa dan berdoa dan berbuat segalanya selama tiga puluh tahun namun tidak juga menemukan kesenangan seperti yang digambarkan Bayazid. Bayazid menjawab, orang itu bisa saja melanjutkan perbuatannya tiga ratus tahun lagi tanpa mendapatkan kesenangan juga. "Mengapa begitu?" tanya Si Sok-Saleh. "Sebab kesombonganmu merupakan halangan utama bagimu." "Coba katakan apa obatnya." "Obatnya tak akan bisa kau laksanakan." "Bagaimanapun, katakan sajalah." Bayazid pun berkata, "Kau harus pergi ke tukang pangkas rambut untuk mencukur janggutmu, (yang terhormat, itu). Lepaskan semua pakaianmu dan kenakan korset. Isi sebuah kantong kuda dengan kenari sampai penuh, lalu gantungkan di lehermu. Pergilah ke pasar dan berteriaklah, 'akan kuberikan sebutir kenari kepada setiap anak yang memukul tengkukku.' Kemudian lanjutkan perjalananmu ke sidang pengadilan agar semua orang menyaksikanmu." "Tetapi aku tak bisa melakukan itu; coba katakan cara lain yang sama manfaatnya." "Itu langkah pertama, dan satu-satunya cara," kata Bayazid, "Tetapi sudah aku katakan kepadamu bahwa kau tak akan bisa melakukannya; jadi tak ada obat bagimu." Catatan Al-Ghazali, dalam Alkemia Kebahagiaan, mempergunakan ibarat ini untuk menekankan pernyataan yang sering diulang-ulangnya bahwa sementara orang, betapapun jujur tampaknya usaha mencari kebenaran itu bagi dirinya sendiri -dan bahkan mungkin juga bagi orang lain- nyatanya kadang-kadang didasari kesombongan atau mencari untung sendiri, hal-hal yang merupakan halangan utama bagi pencarian kebenarannya. |
Tobat gara-gara kertas
Kita sangat mengenal seorang sufi besar, Bisyr bin al-Harits
al-Hafi (150–227 H). Awal mula ia bertobat dan memasuki dunia sufi, sebenarnya gara-gara secarik kertas yang tercecer dan diinjak banyak orang. Ia melihat kertas itu dengan hati yang sangat antusias. Sebab pada kertas itu ada tulisan Nama Allah. Lalu kertas itu ia ambil, bahkan kertas itu ia beli dengan harga satu dirham. Kemudian kertas itu ia bersihkan sampai bersih, lantas ia letakkan di celah-celah sebuah tembok.
Malamnya Bisyr al-Hafi bermimpi. Dalam mimpi itu ia mendengar suara yang berkata padanya, “Wahai Bisyr, engkau telah membersihkan nama-Ku, sungguh Aku bakal membersihkan namamu (tergolong orang yang baik-- red) di dunia dan di akhirat.”
Sejak mendengar kata-kata itu, Bisyr bertobat dan menjadi sufi, bahkan tergolong tokoh sufi yang disegani di dunia.
al-Hafi (150–227 H). Awal mula ia bertobat dan memasuki dunia sufi, sebenarnya gara-gara secarik kertas yang tercecer dan diinjak banyak orang. Ia melihat kertas itu dengan hati yang sangat antusias. Sebab pada kertas itu ada tulisan Nama Allah. Lalu kertas itu ia ambil, bahkan kertas itu ia beli dengan harga satu dirham. Kemudian kertas itu ia bersihkan sampai bersih, lantas ia letakkan di celah-celah sebuah tembok.
Malamnya Bisyr al-Hafi bermimpi. Dalam mimpi itu ia mendengar suara yang berkata padanya, “Wahai Bisyr, engkau telah membersihkan nama-Ku, sungguh Aku bakal membersihkan namamu (tergolong orang yang baik-- red) di dunia dan di akhirat.”
Sejak mendengar kata-kata itu, Bisyr bertobat dan menjadi sufi, bahkan tergolong tokoh sufi yang disegani di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com