Ada orang yang berkata kepada Abdullah bin Umar:
Si Fulan Al-Anshari meninggal dunia. Beliau berkata : “Semoga Allah merahmatinya.”
Mereka berkata: “Ia meninggalkan uang seratus ribu.”
Beliau berkata:”Tetapi uang itu tidak meninggalkannya.”
Ia tertimpa kondisi perekonomian yang sempit sekali.
Kondisinya menjadi amat buruk, harta bendanya menipis, dan teman-temannya pergi menjauhi…
Ia teringat, bahwa semenjak sepuluh tahun yang lalu ia mengajukan pengunduran diri dari pekerjaannya, dan beralih ke usaha bebas. Kondisinya otomatis berubah setelah pengunduran diri… hartanya berlimpah. Ia pindah ke sebuah villa besar, menikah dengan istri kedua. Bepergian kesana kemari, tak terhitung jumlahnya. Ia tenggelam dalam kesenangan dan kemaksiatan, tanpa batas. Saat terdengar adzan, sementara letak masjid hanya beberapa meter dari kantornya, ia tidak mau pergi untuk shalat. Bahkan dalam waktu yang lama sekali, ia tidak pernah bersujud. Ia sibuk sekali, sehingga tidak punya waktu untuk itu.
Di rumah, ia tak ubahnya seekor binatang. Makan, minum dan tidur. Bahkan mendidik anak saja ia tidak sempat. Tidak pernah ia bertanya kepada anaknya, apakah mereka mengenal shalat atau tidak. Dalam soal harta, baginya tidak ada bedanya antara halal dengan haram. Cara baginya bukan masalah penting, yang penting adalah hasil. Itu adalah kaidahnya dalam berbisnis.
Akan tetapi kira-kira dua tahun yang lalu, urusan perekonomiannya memburuk. Ia berusaha melakukan tindakan yang mustahil, untuk tetap menjaga pekerjaan dan keuntungan-keuntungannya si masa lalu. Oleh sebab itu pekerjaannya mulai mengalami kesimpangsiuran. Bagaikan orang tenggelam yang berusaha mencari keselamatan.
Mulailah mereka yang mencari keuntungan cepat mempropagandakan kepadanya proyek-proyek tertentu. Satu proyek gagal, tidak berhasil. Proyek yang lain hanya menghasilkan setengah dari modal. Dalam waktu dua tahun saja, sudah banyak hutangnya dan bertumpuk permasalahannya. Ia teringat bagaimana keadaannya dahulu sebelum berhenti bekerja. Sekarang pengeluarannya menggurita, sementara masukannya sedikit. Ia mulai mengambil hutang di berbagai bank.
Hanya dalam waktu satu tahun saja, hutangnya sudah bertumpuk-tumpuk, sehingga ia tidak mampu lagi mengembalikannya. Beralihlah ia ke fase baru dalam kehidupannya yakni fase munculnya berbagai tuntutan di mahkamah dan di hadapan hukum serta kepolisian. Pekerjaannya sekarang hanyalah berusaha menangguhkan hak pihak yang menghutanginya ke waktu lain. Bulan demi bulan berlalu. Hutang semakin melilit.
Bayangan penjarapun mulai terlihat. Terkadang dalam bentuk peringatan dan ancaman, terkadang juga dalam bentuk pengaduan dan dakwaan. Demikianlah yang dilakukan oleh pihak pemberi hutang…
Ia menjual semua yang dimilikinya. Villanya, mobil-mobilnya, tanahnya-tanahnya, berbagai aset dagangnya. Semuanya bisa membayar sebagian besar hutangnya. Tinggal sedikit bagian hutangnya yang dibiarkan oleh para penghutangnya, karena merasa kasihan kepadanya. Ia pindah ke sebuah rumah kecil. Di situ ia berkumpul bersama istri dan sepuluh anaknya. Sopir dan pembantu? Sudah tidak lagi mereka miliki. Malam hari mereka lalui dalam kegundahan dan kesedihan.
Di tengah kemelut persoalan tersebut, terbersit dalam hatinya keinginan berkunjung kepada sahabatnya, Muhammad. Mungkin ia bisa membantu dengan sedikit uang. Ia adalah sahabatnya di masa kecil, dan juga rekan kerjanya dahulu.
Pergi mengunjunginya atau tidak? Karena ketika Muhammad mengunjunginya dua tahun yang lalu, ia merasa sesak dengan berbagai kemewahannya dan juga oleh suara-suara musik dan ribut-ribut di rumahnya. Tetapi sekarang kebutuhan mendesak…
Ia membulatkan tekad dan mancari waktu yang tepat, yakni waktu ashar besok hari. Di pertengahan Ashar, ia mengenakan pakaiannya.
Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk. Siapa? “Bilang saja tidak ada orangnya.” Rupanya ia adalah pemilik rumah yang hendak menagih uang sewa rumahnya. “Mana bapak kalian?” “Tidak ada di rumah.” Ia terpaksa mengundur kepergiannya setengah jam, sampai pemilik rumah itu menjauh dari rumahnya...
Dengan tergesa-gesa ia keluar rumah dan mengendarai mobilnya, tujuannya adalah rumah Muhammad. Masih rumah yang lama, belum berubah. Ia sampai di rumah Muhammad tepat setelah adzan Maghrib. “Siapa di luar?” tanya orang di dalam. “Saya Shalih.” Jawabya. “Dia sedang ke masjid. Nanti ia pulang sesudah shalat.” Katanya. Ia segera mengendarai mobilnya sambil menundukkan kepala. Karena amatlah aib, jika menunggu dalam mobil sementara orang-orang lewat menuju masjid untuk shalat. Namun bagaimana kalau ia bertemu dengan Muhammad, lalu mendapatinya tidak shalat berjama’ah? Kemana ia harus pergi?
“Aku belum berwudhu, sementara bila aku ingin shalat, ini sudah ada masjid.” Gumamnya.
Ia pun berwudhu dan berangkat ke masjid untuk shalat. Ia mendapatkan shalat sudah di rakaat kedua. Seusai shalat, salah seorang Syaikh bangkit berdiri dan memegang pengeras suara. Setelah memuji Allah dan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Saya meminta waktu kalian lima menit saja.” Ia mulai berbicara tentang ketaatan. Bahwa ketaatan adalah sebab munculnya kebahagiaan dalam hidup. Tidaklah kalian mendengar firman Allah Ta’ala:
“Dan barangsiapa yang berpaling dari dzikir kepadaKu pasti ia akan mendapatkan kehidupan yang sempit.” (Thaha: 124)
Kemudian ia menyinggung tentang bagaimana seseorang dapat konsekuen dalam hidupnya, menyebutkan beberapa faidah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Ia juga menyebutkan tentang rizki. Aku mengangkat kepalaku untuk melihatnya. Ini hal yang penting buat diriku. Ia mengiringkannya dengan firman Allah Ta’ala:
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, akan Allah berikan kepadanya jalan keluar. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, akan diberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Artinya, rizki itu datang melalui pintu yang belum pernah kamu ketuk dan belum pernah kamu bayangkan.
Ia sudah menyelesaikan waktu lima menit, dan sudah menunaikan janjinya.
Aku berkata kepada diriku sendiri, “Andai saja ia tidak memenuhi janjinya.” Ucapannya masuk kedalam hatiku. Kemana perhatianku terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut. selama ini aku sudah tersesat. Tidak lagi mengenal Allah, selain dalam kesusahan ini. Alhamdulillah, kini aku sudah mengenalNya…
Ia telah memberi pengaruh pada diriku demikian mendalam. Sementara jiwaku tengah hancur dalam hal materi. Ia telah membangkitkan kesadaranku bahwa semua yang kualami penyebabnya adalah kemaksiatan. Aku ingat akan kelalaianku.
Air mataku berderai. Aku bersiap-siap dan keluar dari masjid. Nah, itu dia Muhammad…
Kami masuk ke rumahnya. Allahu Akbar, ia adalah teman seumur hidup, begitulah perumpamaannya. Ia menyambutku dengan baik, pada saat dimana orang-orang disekitarku sudah berlarian. “Bagaimana kabar anak-anakmu? Bagaimana kesehatanmu? Bagaimana pula kondisimu sekarang?” tanyanya. “Wahai Muhammad, jangan tergesa-gesa. Aku akan memberitahukan semuanya kepadamu.” Aku berbicara panjang lebar kepadanya. Kuceritakan segalanya secara rinci . selesai aku bercerita, ia mengutarakan kepadaku satu jawaban yang belum pernah aku dengar seumur hidupku. “Itu adalah rahmat Allah untuk dirimu. Engkau telah memakan yang haram, lebih banyak dari yang halal. Engkau juga telah meninggalkan banyak kewajiban agamamu dan menjauh dari Allah.. semoga hal ini juga dapat membangunkan hatimu. Agar engkau mengetahui bahwa materi (harta) itu tidak berarti apa-apa. Bahkan Allah akan membuat perhitungan kepadamu, sebagaimana dalam hadits:
“Seseorang akan ditanya tentang empat perkara: Umurnya, untuk apa dia habiskan. Masa mudanya, untuk apa dia gunakan. Hartanya, dari mana ia mengambil dan kemana ia belanjakan. Dan tentang ilmunya, untuk apa dia gunakan.”
Tetapi, alhamdulillah. Berapa hutangmu yang tersisa? Saya akan menanggung segala hutangmu yang tersisa. Dan rumah disebelah ini, sudah kubeli lima tahun yang lalu. Orang yang menyewanya sudah pergi dua bulan yang lalu.
Muhammad bersumpah agar aku bisa tinggal di situ, sampai Allah memberi kemudahan kepadaku. Aku pun memeluknya.
Sungguh ia orang yang shalih, dalam arti sesungguhnya. Seminggu kemudian kami tinggal di sebelah rumah Muhammad. Ia memiliki majelis setiap hari senin bersama teman-temannya, membaca beberapa buku agama. Anak-anakku mulai menghafal Al-Qur’an di masjid bersama anak-anaknya. Akupun mulai merasakan kenikmatan hidup. Keadaanku pun berangsur baik. Yang terpenting diantaranya adalah masalah agamaku dan rumah tanggaku. Seusai shalat Shubuh, aku duduk di masjid hingga matahari terbit..
Cahaya keimanan telah memasuki rumah tanggaku…
Sumber : Perjalanan Menuju Hidayah, cet. Darul Haq, karya : Abdul Malik Al-Qasim