Jumat, 20 Juli 2012

ULAMA BANJAR PADA ZAMAN DAHULU KALA HARUS SAKTI MANDRAGUNA

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd.

Ulama Banjar pada zaman dahulu kala harus sakti mandraguna itulah salah satu kesimpulan yang dapat dipetik jika kita membaca biografi para ulama Banjar yang hidup pada zaman dahulu kala.
Selain mengusai ilmu-ilmu yang berhubungan erat dengan masalah-masalah keagamaan, mereka juga harus menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan erat dengan masalah-masalah kedigjayaan (memiliki karomah atau maunah).
Ketika membetulkan arah kiblat Masjid Jembatan Lima Jakarta yang terlalu miring ke kiri, Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari harus memperlihatkan maunah atau karomahnya kepada para jemaah masjid setempat.
Menurut ceritanya, beliau ketika itu mengacungkan tangannya dan para jemaah dapat melihat Ka’bah dari celah-celah lengan baju jubah beliau (Radar Banjarmasin, 18 Oktober 2007:7).
Syeikh Abdul Hamid Abulung (Datu Abulung) diceritakan sebagai seorang ahli tasawuf yang memiliki kesaktian luar biasa. Menurut ceritanya, beliau ketika itu sedang bermasalah dengan Raja Banjar, ilmu tasawuf yang diajarkannya dinilai sesat dan menyesatkan.
Beliau kemudian ditangkap oleh lasykar kerajaan, dimasukan ke dalam kerangkeng besi, dan kerangkeng besi itu kemudian ditenggelamkan ke dasar sungai. Tujuannya, apa lagi kalau bukan untuk membunuh Datu Abulung (jika benar demikian ceritanya, maka duh kejamnya Raja Banjar dimaksud, sama kejamnya dengan Firaun terhadap Nabi Musa).
Tapi, beliau tidak mati lemas karenanya, bahkan setiap kali tiba waktu shalat fardhu, kerangkeng besi itu akan naik sendiri dan mengapung di atas permukaan sungai. Tanpa kesulitan berarti beliau dapat ke luar dari kerangkeng besi itu dan melaksanakan shalat fardhu di atasnya (Asmuni, 2002 : 12-15).
Uniknya, meskipun sakti mandraguna seperti itu, Datu Abulung tidak pernah menjadikan kesaktiannya itu sebagai sarana untuk membela dirinya dari kezaliman Raja Banjar yang berkuasa ketika itu.
Beliau pasrah saja menerima nasib buruk dihukum mati karena keyakinan tasawufnya yang tidak selaras dengan mainstream syariah Islam sezaman. Apa gunanya memiliki kesaktian jika kesaktian itu tidak dapat dipergunakan untuk membela diri dan keyakinan tasawufnya?
Dalam biografi resmi mereka masing-masing, H. Muhammad Afif (Datu Landak) dan Datu Karipis diceritakan sebagai ulama Banjar yang mampu mencabut pohon langsung dengan akar-akarnya.
Pohon yang dicabut H. Muhammad Afif adalah pohon ulin yang tumbuh di hulu sungai Barito. Pohon ulin itulah yang setelah diolah sedemikian rupa kemudian dipancangkan oleh H. Muhammad Afif sebagai tiang guru Masjid Al Qaromah Martapura (Asmuni, 2002:29). Sementara pohon yang dicabut Datu Karipis adalah pohon enau yang tumbuh di Kampung Muning, Tatakan, Tapin (Asmuni, 2002:86).
Beberapa orang tokoh ulama Banjar yang hidup pada zaman dahulu kala, diceritakan tidak hanya sakti mandraguna ketika masih hidup saja, tetapi juga tetap sakti mandraguna meskipun telah meninggal dunia.
Unjuk kesaktian dimaksud antara lain dilakukan oleh Haji Ahmad Balimau (Asmuni, 2002:.23) dan Datu Sulaiman (Asmuni, 2002:.112). Keduanya diceritakan mampu memindahkan makamnya ke lain tempat yang lebih sesuai dengan keinginan hatinya, meskipun dirinya telah meninggal dunia.
Berkat selalu membaca Al Qur’an Surah Al An’am ayat 103 sebanyak 129 kali setiap kali usai shalat fardhu, Haji Dullah diceritakan sebagai tokoh ulama Banjar yang mampu menggaibkan dirinya sehingga tubuhnya tidak dapat dilihat oleh pasukan Belanda (bahasa Banjar mahalimunan)(Asmuni, 2002:).
Sementara itu, Datu Murkat diceritakan sebagai tokoh ulama Banjar yang sakti mandraguna. Beliau diceritakan dapat menaklukan lawannya yang sakti mandraguna hanya dengan bertepuk tangan saja (Asmuni, 2002:.87).
Datu Insat lain lagi kesaktiannya, tokoh ini diceritakan sebagai tokoh ulama Banjar yang sakti mandraguna. Beliau mampu menyembunyikan dirinya di dalam perut musuhnya (Asmuni, 2002:.120).
Tokoh ulama Banjar yang juga memiliki kesaktian istimewa adalah Abdus Samad al Palembangi (Datu Sanggul). Datu Sanggul diceritakan sebagai tokoh yang acapkali melaksanakan shalat Jum’at di Mekkah (Asmuni, 2002:78).
Para ulama Banjar yang hidup di zaman dahulu kala tampaknya memang harus sakti mandraguna. Jika tidak maka akan sulit bagi mereka untuk meyakinkan para jemaahnya. Hal ini sesuai dengan situasi dan kondisi zamannya, orang-orang ketika itu sangat sulit diyakinkan jika hanya dicekoki dengan paparan-paparan ilmiah yang bersifat abstrak (teoritis) tanpa bukti visual yang meyakinkan (bukti kongkrit).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com