Menagih Janji Politisi di Negeri Kelelawar (1)
Seekor kelelawar berpakaian necis, parlente, dan berdasi, berdiri di atas mimbar kehormatan. Bola matanya memancarkan pesona dan kekaguman. Ribuan kelelawar yang berdesak-desakan di alun-alun rela dipanggang terik matahari demi menyimak kata demi kata yang terlontar dari kelelawar parlente itu.
“Wahai Sudara-saudaraku! Negeri kta ini membutuhkan sebuah perubahan. Rezim masa lalu telah jatuh tersungkur untuk menerima karmanya,” kata sang kelelawar berdasi dengan penuh semangat. Sesekali tangannya mengepal untuk memberikan tekanan kata-kata kunci yang dihamburkan ke tengah massa. “Sekali lagi, negeri kita perlu perubahan! Ya, perubahan! Tentu saja perubahan ke arah yang lebih baik. Kita perlancar roda ekonomi, kita tekan angka kemiskinan dan pengangguran. Hutang-hutang luar negeri harus kita nego-ulang sehingga warisan rezim masa lalu itu tak akan berdampak serius terhadap kesejahteraan rakyat. Kita juga akan menggantung para koruptor yang nyata-nyata telah membuat negeri kita bangkrut. Kita harus melakukan perubahan di berbagai sektor; pendidikan, politik, ekonomi, hukum, pertahanan dan keamanan, serta sosial-budaya.” Massa menyambutnya dengan aplaus berulang-ulang dan bersambung-sambungan hingga menggetarkan pintu langit.
Massa kelelawar yang sedang mengalami masa transisi, dari rezim otoriter ke sebuah rezim “pembebasan”, serasa mendapatkan pencerahan. Baru kali ini, mereka menyimak orasi seorang politikus kelelawar yang cerdas, berani, dan visioner. Setiap kali tampil, kelelawar berdasi itu seperti mampu menyihir dan menghipnotis massa. Ketika berkampanye, kilatan cahaya lampu blitz para jurnalis dan fotograper tak henti-hentinya membidik jidatnya yang licin dan mengkilat. Setiap kata dan tindakannya menjadi rujukan banyak kelelawar. Ya, Ki Gedhe Sirahe, demikian nama politikus kelelawar itu, memang sedang memancarkan pamor politik yang mengagumkan. Slogan-slogan yang dia bentangkan lewat partainya pun sangat dekat dan akrab dengan rakyat. Sang politikus kelelawar juga selalu membuka pintu rumahnya yang megah 24 jam non-stop setiap harinya. Dia dan puluhan ajudannya siap melayani setiap tamu yang berdatangan dengan ramah dan selalu menaburkan pesona. Bahkan, juga menyediakan ruang penginapan gratis lengkap dengan segala layanan akomodasinya bagi mereka yang datang dari jauh.
***
Ya, ya, ya! Negeri kelelawar pada awalnya sebuah negeri yang makmur. Falsafah dan pandangan hidup bangsanya yang sarat dengan sentuhan nilai kemanusiaan dan religius telah membuat nama negeri itu dikagumi banyak negara di berbagai belahan dunia. Santun, ramah, dan selalu mengedepankan musyawarah-mufakat dalam mengambil keputusan. Tak heran jika negeri kelelawar itu dijuluki sebagai negeri yang “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem, kertaraharja”; sebagaimana tergambar dalam lirik berikut ini.
Kami anak-anak Ibu Pertiwi,
adalah pewaris yang sah negeri ini.
Negeri yang di dalam hikayat lama
disebut-sebut sebagai zamrud khatulistiwa.
Negeri yang di dalam dongeng anak-anak
dikisahkan gemah ripah loh jinawi.
Subur, makmur dan sentosa.
Karena di atas tanah negeri ini,
hutan nan luas terhampar,
berbagai jenis palawija berebut tumbuh
saling menyentuh.
Di bawahnya, Tuhan menyimpan minyak,
gas, timah, tembaga, bahkan emas dan
uranium, serta platina.
Suatu saat nanti,
bila kami sudah dewasa,
sudah memiliki pengetahuan,
akal budi dan tata krama,
bisa mengambilnya
sedikit demi sedikit.
Ya, sedikit demi sedikit,
supaya anak-anak kami,
cucu-cucu kami,
buyut-buyut kami,
bisa juga menikmati karunia Illahi ini.
Memanfaatkannya
demi kesejahteraan semua.
………
(Dikutip dari …Negeri yang Didongengkan Gemah Ripah Loh Jinawi…)
Namun, agaknya negeri kelelawar jadi salah urus akibat kebijakan penguasa yang tak berpihak kepada rakyatnya. Para penguasa sibuk membangun kongsi dan kemegahan keluarga serta kroni-kroninya. Pembangunan digenjot, tetapi orientasinya semata-mata demi menegakkan pundi-pundi ekonomi trah dan keturunannya. Jubah kekuasaan telah membuat suasana negeri kelelawar jadi gersang dan tandus. Habitat dan lingkungan alam mulai tidak ramah. Banyak rakyat kelelawar yang mati kelaparan dengan cara yang tragis dan mengenaskan akibat tak sanggup menanggung beban hidup yang begitu berat.
Suasana negeri kelelawar makin tak menentu ketika sang penguasa menghilangkan sikap kemandirian dalam membangun singgasana perekonomian bangsa. Laju dan roda perekonomian justru gampang disetir dan dikendalikan oleh “Thuyul Raksasa” ekonomi dunia yang ada di benua lain. Bangsa kelelawar jadi kehilangan otoritas untuk mengatur lalu-lintas perekonomian di negerinya sendiri. Yang lebih parah, kontrol terhadap kelelawar-kelelawar berhati busuk juga gagal dilakukan. Sang penguasa tak sanggup mengendalikan perilaku korup yang membudaya di kalangan birokrat. Budaya upeti, sikut ke kanan, sikut ke kiri, sembah ke atas injak ke bawah, sudah menjadi pola dan gaya hidup para birokrat di segenap lapis dan lini birokrasi.
Proses rekruitmen para abdi negara pun belepotan lumpur dosa dan maksiat. Bukan kecerdasan dan kemampuan yang dibutuhkan, melainkan semata-mata ditentukan berdasarkan besarnya upeti yang diserahkan kepada sang penentu kebijakan. Dari situlah kebrengsekan dan kebangkrutan layanan publik itu dimulai. Para abdi negara yang direkrut dengan cara-cara curang dan tidak fair, disadari atau tidak, telah menciptakan birokrat-birokrat baru berhati saudagar. Mereka berupaya keras untuk mengembalikan modal upeti dalam waktu yang singkat dan cepat, kemudian mencari celah untuk memperkaya diri. (Bersambung) ***
Ontran-ontran di Negeri Kelelawar (2)
*** Sebelum membaca kisah selengekan ini, sebaiknya baca dulu penggalan kisah Menagih Janji Politisi di Negeri Kelelawar (1)! ***
Pelayanan publik yang kacau akibat proses rekruitmen pegawai yang salah urus membuat nasib bangsa kelelawar makin terpuruk. Para pejabat berpesta di puncak menara kekuasaan, sementara rakyat kelelawar di bawah sana menjerit dan terlunta-lunta. Kue kekuasaan hanya dinikmati oleh beberapa gelintir pejabat beserta para kroni dan kanca-kancanya. Tak perlu heran kalau setiap hari, mereka yang tengah memangku kekuasaan selalu kebanjiran upeti. Para kelelawar penjilat tak sungkan-sungkan mencium pantat atasannya. Jika perlu, kentut pun mereka kantongi sebagai aji-aji dan azimat agar mendapatkan bagian kue kekuasaan.
Yang lebih parah, kaum elite kelelawar bisa dengan mudah pamer kekayaan di tengah jutaan rakyat kelelawar yang kelaparan. Ke mana-mana menaburkan pesona senyum sambil mempertontonkan taring emasnya yang berkilat-kilat tertimpa cahaya lampu merkuri. Sungguh kontras dengan nasib jutaan kelelawar yang ompong giginya.
Ada seekor kelelawar yang cukup disegani. Para penduduk sering menyebut kelelawar berperut buncit dan berjidat licin ini sebagai Ki Gedhe Padharane. Dialah yang menguasai segenap lorong negeri kelelawar hingga ke sudut-sudut terpencil yang tak tercantum dalam peta. Para pengikutnya yang dikenal fanatik tersebar di berbagai lapis dan lini. Punya banyak spion dan mata-mata. Tak seekor pun kelelawar yang punya nyali untuk mengkritik kebijakan dan gaya kepemimpinannya yang dinilai arogan dan jumawa. Bisik-bisik dan cericit bernada miring akan cepat sampai ke telinga Ki Gedhe Padharane. Jika tak ingin digebug, semua kelelawar mesti tunduk pada semua selera dan keinginannya.
Di tengah singgasana kekuasaannya, Ki Gedhe Padharane selalu dikerumuni anak buahnya yang berlapis-lapis. Ada ring 1, ring 2, ring 3, dan seterusnya. Tak sembarang kelelawar bisa masuk menghadapnya sebelum melewati ring-ring yang dikelilingi prajurit kelelawar yang setia dan militan. Sementara itu, di lorong sebelahnya, ada sekawanan kelelawar yang seharusnya mampu menjadi kekuatan kontrol terhadap kebijakan Ki Gedhe Padharane. Mereka adalah wakil-wakil kelelawar di parlemen yang dipilih melalui sebuah “pesta” demokrasi yang sarat rekayasa.
Partai-partai kelelawar hanyalah sekadar asesoris untuk membuktikan pada dunia bahwa bangsa dan negeri kelelawar sangat menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Namun, sejatinya demokrasi di negeri kelelawar hanyalah demokrasi semu yang bertentangan secara diametral dengan prinsip kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan. Semua partai merupakan boneka buatan Ki Gedhe Padharane untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam hal pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup bangsa kelelawar, para anggota parlemen itu selalu mendendangkan suara koor yang padu; mengikuti komando dan aba-aba Ki Gedhe Padharane. Beberapa hari kemudian, para wakil rakyat ini melintas di atas kerumunan rakyat kelelawar dengan pongah. Sesekali meludah dan berak di sembarang tempat hingga menimbulkan bau busuk.
Situasi semacam itu berlangsung bertahun-tahun lamanya. Rakyat kelelawar seperti berada di atas tungku kekuasaan Ki Gedhe Padharane yang panas. Namun, tak punya kesanggupan untuk bercericit, berteriak, apalagi melawannya. Mereka hanya bisa membisu menyaksikan kepongahan kelelawar berperut buncit, berjidat licin, dan bertaring emas itu. Dukungan dan kebulatan tekad untuk selalu memenangkan orde kekuasaan Ki Gedhe Padharane membuat kelelawar yang kepalanya sudah mulai penuh dengan uban itu makin tak sanggup melakukan kontrol diri. Dia terus tenggelam dalam keasyikan menumpuk harta melalui slogan pembangunan ekonomi dan daya saing bangsa. Anak-anak dan keturunannya dibiarkan memanjakan naluri hedonis dan konsumtifnya sesuka hati. Demikian juga anak buahnya yang berada di berbagai lapis dan lini. Mereka digelontor dengan berbagai kemudahan dan fasilitas serba mewah. Jika masih kurang, tawaran hutang luar negeri diembatnya juga untuk memuaskan nafsu kebuasan hatinya. Para pejabat birokrasi juga dibiarkan melakukan korupsi, manipulasi, atau me-mark-up anggaran, asalkan dia dapat upeti yang besar. Perilaku culas dan biadab merajalela. Penipuan berlangsung kasat mata, tapi (nyaris) tak tersentuh hukum, lantaran para penegak hukum sudah diindoktrinasi untuk menjadikan Ki Gedhe Padharane sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Rakyat kelelawar makin tak berdaya. Kemiskinan benar-benar mencekik leher. Angka kematian melonjak drastis. Kelaparan dan busung lapar terjadi di seantero negeri. Namun, kaum elite negara yang seharusnya bertindak cekatan untuk mengulurkan bantuan seolah-olah menutup mata dan telinga terhadap derita bangsa kelelawar. Setiap hari selalu saja terdengar berita kematian. Kelelawar-kelelawar yang baru lahir jarang yang sanggup memperpanjang napasnya begitu menghirup udara di bumi kelelawar yang busuk dan pengap.
Atmosfer bumi kelelawar yang pengap dan busuk agaknya membuat darah bangsa kelelawar mendidih. Mereka sudah mulai muak dengan perilaku pejabat yang arogan dan wakil rakyat yang kehilangan kepekaan. Bahkan, mereka mulai berani melakukan kritik dan serangan terhadap Ki Gedhe Padharane yang dianggap sebagai diktator. Kelelawar-kelelawar yang kritis mulai keluar dari persembunyian, lantas terbang melintasi kerumunan bangsa kelelawar sambil menyebarkan kasak-kusuk.
Ki Gedhe Padharane agaknya mulai menangkap situasi yang kurang menguntungkan. Jika dibiarkan, bisa jadi akan mengancam singgasananya. Maka, dengan komando dan aba-aba yang masih ada dalam genggaman tangannya, dia segera memerintahkan anak buahnya untuk menggebug siapa pun kelelawar yang berani mengusik ketenangannya. Situasi pun makin memanas. Semakin banyak yang digebug, semakin bermunculan kelelawar-kelelawar kritis untuk melakukan perlawanan, meski harus menanggung risiko disingkirkan. Demo mulai marak. Kerumunan kelelawar untuk menuntut hak dan kebebasannya yang selama ini terpenjara terjadi di mana-mana. Sambil menenteng sehelai kertas yang dicontek dari puisi karya penyair negeri seberang, seekor kelelawar muda yang kurus dan pucat mendendangkan lirik yang penuh agitasi dan sarat perlawanan.
Peringatan
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asakalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengarbila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancamapabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
*** Wiji Thukul (1963) ***
Anak buah Ki Gedhe Padharane kebakaran jenggot. Kelelawar muda yang pucat dan kurus itu dinilai telah melakukan kegiatan subversi yang bisa membahayakan negara. Maka, dengan segenap kekuatan laskar kelelawar yang militan dan terlatih, mereka mengepung dan memburu kelelawar muda itu hingga ke lorong neraka sekalipun. *** (bersambung)
Situasi Chaos di Negeri Kelelawar Makin Parah (3)
Penculikan para aktivis telah memicu semangat kaum muda untuk menyuarakan suara-suara pemberontakan yang selama ini terbungkam. Semakin banyak aktivis yang digebug, semakin menambah daftar kaum muda yang berempati. Pintu-pintu kampus yang kokoh pun jebol. Para mahasiswa yang selama ini ditabukan terjun ke ranah politik praktis berduyun-duyun keluar kandang. Mereka lebur bersama para aktivis di luar tembok kampus untuk melakukan sebuah perubahan. Maka, gegap-gempitalah negeri Kelelawar. Jalan-jalan protokol di pusat kota selalu padat para pendemo. Saking padatnya, tak jelas lagi dibedakan, mana pendemo yang murni ingin melakukan perubahan dan mana pendemo yang ingin memancing di air keruh.
Syahdan, rombongan kelelawar dari berbagai penjuru menumpuk di satu titik. Suaranya menggema hingga mampu menggetarkan pintu langit. Cericit kelelawar dengan warna tenor, bariton, dan bass, menyatu ke dalam sebuah orkestra yang menyayat pedih. Mereka berbondong-bondong menuju ke gedung wakil rakyat kelelawar yang bersebelahan dengan istana Ki Gedhe Padharane yang megah. Seperti dikomando oleh bisikan-bisikan gaib, mereka sontak menyerbu gedung wakil rakyat. Ada yang merobek kain gordyn, mencongkel jendela dengan gigi-giginya yang tajam, mengencingi pintu masuk, meludah di sembarang tempat, ada juga yang memekik-mekik dan memaki-maki. Sebagian rombongan meluncur menuju ke atap gedung wakil rakyat dengan tatapan wajah penuh amarah.
Di depan gedung wakil rakyat, ribuan kelelawar bergantian menyampaikan orasi. Berpidato berapi-api hingga mulut mereka berbusa.
“Sudah lebih dari tiga dekade, kita dipimpin oleh seorang tokoh korup kelas wahid. Namun, rupanya wakil-wakil rakyat kita yang terhormat tidak memiliki kepekaan dalam menangkap suara hati nurani rakyat. Mereka telah bersekongkol dan membangun sebuah kebulatan tekad untuk mengangkat dan memilih kembali Ki Gedhe Padharane sebagai pemimpin kita. Bagaimana, kawan-kawan? Haruskah kezaliman demi kezaliman terus kita biarkan hingga mewaris ke anak cucu?” teriak seekor kelelawar dengan mata merah saga melalui sebuah megaphone di sela-sela kerumunan pendemo yang sedang dilanda murka. Mereka tidak menyadari bahwa di berbagai sudut dan sisi gedung wakil rakyat yang (nyaris) tak terlihat oleh massa, telah siaga prajurit berpakaian preman yang cukup terlatih untuk memuntahkan timah panas. Hanya dengan sekali menarik pelatuk, mereka sanggup menghabisi nyawa para pendemo yang dianggap telah melakukan makar terhadap negara. Para pendemo tidak peduli, lebih tepatnya tidak tahu. Mereka terus meneriakkan yel-yel; melakukan perlawanan terhadap rezim Ki Gedhe Padharane yang dianggap telah menyengsarakan jutaan rakyat kelelawar.
“Kita lawan!” sahut seekor kelelawar berwajah pucat.
“Betuul! Rezim yang korup harus kita lawan!” sahut yang lain gegap gempita.
Dengan nada perih, seekor kelelawar melantunkan sebuah elegi yang menghanyutkan sekaligus menyedihkan.
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama ….
(Dikutip dari puisi karya penyair Indonesia, Taufik Ismail: “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”)
Suasana ibukota negeri kelelawar makin tak terkendali. Berjam-jam lamanya ribuan kelelawar mengepung dan menguasai istana wakil rakyat. Gedung megah yang biasa digunakan untuk menyusun rencana kongkalingkong dan persekongkolan itu jadi lumpuh dan tak berdaya. Para penghuninya sudah terbang entah ke mana. Mereka yang masih terjebak di dalam gedung tak memiliki keberanian untuk mengintip kejadian di luar sana, apalagi menampakkan muka.
Gerakan rakyat kelelawar dan para pendemo makin agresif. Dengan kuku dan taring yang tajam, mereka menggerogoti dinding-dinding gedung wakil rakyat. Sambil terus berteriak histeris, ribuan massa kelelawar yang menumpuk di atap gedung menghancurkan atap, lantas turun dengan tergesa-gesa. Dinding-dinding gedung jebol di sana-sini. Lantas, mereka beramai-ramai menyerbu ke dalam gedung sambil merusak benda-benda yang ditemukannya. Sebagian kelelawar mengacak-acak isi laci untuk mencari-cari dokumen kenegaraan.
Sementara itu, tumpukan massa kelelawar di luar gedung makin berjubel seperti baru saja diturunkan dari pintu langit. Mereka segera bergabung, lantas berbaur dengan suara dan teriakan yang sama.
Dalam suasana kacau dan chaos semacam itu, tiba-tiba terdengar letusan senjata api secara beruntun. Tak jelas dari arah mana peluru itu dikendalikan. Hanya dalam hitungan detik, empat kelelawar yang baru saja hendak terbang dari bubungan atap gedung wakil rakyat tersungkur. Jasadnya langsung menggelepar mencium bumi. Teriakan histeris spontan membahana seperti hendak merobak dinding langit. Gemanya mengangkasa hingga kabar tragis itu dengan cepat tersebar ke berbagai belahan dunia melalui koran, televisi, atau internet.
Tertembaknya empat kelelawar bukannya menyurutkan nyali para pendemo. Mereka justru makin terpicu nyalinya untuk secepatnya melakukan perubahan. Semangat mereka makin tumbuh berlipat-lipat ketika seorang tokoh demokrasi yang selama ini dianggap sebagai “klilip” oleh rezim Ki Gedhe Padharane ikut menyatakan keprihatinan dan ikut berbaur di tengah massa.
“Saudara-saudara, empat sahabat kita telah menjadi tumbal. Demi sebuah perubahan, mereka rela mengorbankan nyawanya. Sungguh, saya terharu melihat perjuangan sahabat-sahabat kita itu. Kita doakan, semoga arwah sahabat-sahabat kita yang telah menjadi tumbal itu diberikan kelapangan jalan menuju ke haribaan-Nya,” kata sang tokoh demokrasi dengan mata bekaca-kaca. Tiba-tiba saja suasana mendadak sunyi dan hening. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan yang samar-samar di kejauhan sana. Mereka tampak khusyu’ dan khidmat memanjatkan doa.
Beberapa menit kemudian, suasana kembali onar. Cericit kelelawar kembali membahana dan bersahut-sahutan. Seperti dikomando, mereka menyalakan api, lantas dengan cepat membakar tumpukan kertas di depan pintu masuk gedung wakil rakyat. *** (Bersambung)
Angin Reformasi Berhembus Juga di Negeri Kelelawar (4)
Kisah ini merupakan bagian ke-4 dari serial “Negeri Kelelawar”. Yang belum sempat membaca, silakan nikmati dulu kisah Menagih Janji Politisi di Negeri Kelelawar (1), Ontran-ontran di Negeri Kelelawar (2), dan Situasi Chaos di Negeri Kelelawar Makin Parah (3)!
Tertembaknya empat kelelawar aktivis yang sedang mengepung gedung wakil rakyat, membuat situasi negeri kelelawar semakin kacau dan tak menentu. Pers memblow-up-nya habis-habisan. Headline surat kabar penuh aroma anyir darah. Layar gelas pun belepotan warna merah darah. Bahkan, para bloger kelelawar yang kebetulan juga seorang aktivis berlomba adu cepat untuk memoting peristiwa tragis itu, lengkap dengan beragam gambar yang dicomot dari sana-sini. Para pendekar demokrasi yang selama ini bertapa di lembah, ngarai, dan goa serentak turun gunung. Mereka menyuarakan kepedihan yang sama, sekaligus mengutuk aksi represif yang nyata-nyata dinilai telah mengingkari nilai-nilai kekelelawaran.
“Sungguh biadab! Tidak seharusnya demostran dilawan dengan senjata! Kalau mereka demo, pasti ada yang ndak beres! Mestinya, mereka yang sedang duduk di kursi kekuasaan mawas diri. Jangan gampang memerintahkan aparat untuk menembaki demostran. Itu bukan cara-cara negeri kelelawar yang dikenal santun dan beradab!” tutur seekor kelelawar berperut buncit yang baru saja bangkit dari pertapaannya. Sesekali kedua bola matanya berkeriyap dari balik kaca mata minusnya yang tebal. Pernyataan kelelawar yang selama ini dikenal sebagai penggagas forum demokrasi itu karuan saja menjadi incaran nyamuk-nyamuk pers. Mereka dengan sigap melontarkan pertanyaan-pertanyaan miris.
“Kira-kira siapa yang berdiri di belakang peristiwa itu, Pak?” cecar seorang wartawan. Berkali-kali jidat kelelawar yang klimis itu tampak mengkilat diterpa cahaya lampu blitz para juru foto.
“Sebagai wartawan, Anda mestinya lebih tahu dong? Saya kan baru saja turun gunung! Saya tak mau berpraduga!”
“Tapi Bapak pasti sudah dengar info akurat dari para pengikut Bapak yang tersebar di berbagai pelosok negeri!”
“Sekali lagi, saya tak mau berpraduga! Jangan paksa saya!”
Para wartawan kecewa. Mereka gagal mengorek berita penting dari seorang tokoh demokrasi yang selama ini dipuja banyak kekelawar karena pandangan-pandangannya yang moderat dan toleran. Kelelawar bertubuh tambun itu juga dikenal sebagai sosok yang gencar melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas.
Belum tuntas mereka mengorek keterangan dari tokoh demokrasi itu, mendadak terdengar suara jerit tangis yang memilukan. Merasa kurang nyaman, kelelawar bertubuh tambun itu bergegas terbang, entah ke mana, diikuti ratusan anak buahnya. Para wartawan serentak membelalakkan bola mata. Suara jeritan tangis yang memilukan itu kian menjadi-jadi. Karena penasaran, para wartawan dan para kelelawar yang lain terbang melintasi kawasan perkotaan yang diselimuti kabut asap. Rupanya, selama ini telah terjadi berbagai peristiwa di luar dugaan. Di sana-sini terlihat ban-ban bekas yang dibakar sepanjang jalan. Tak hanya itu. Gedung, kios, atau toko juga banyak yang hangus terbakar. Agaknya, ruang-ruang bisnis itu telah menjadi sasaran amuk massa. Tak jelas, apa motifnya.
Yang lebih menyedihkan, kelelawar-kelelawar perempuan dari kelompok etnis tertentu jadi korban nafsu yang lebih kejam dan biadab. Mereka dikejar-kejar, lantas diperkosa beramai-ramai secara bergiliran. Sungguh, benar-benar peristiwa memalukan dari sebuah negeri yang selama ini dikenal sangat santun dan beradab.
Melihat situasi yang makin tak terkendali dan desakan dari berbagai lapisan dan komponen masyarakat, wajah Ki Gedhe Padharane yang tampak kuyu dan tua muncul di layar TV. Diikuti para pajabat yang masih setia, Ki Gedhe Padharane dengan suaranya yang berat menyatakan kesediaannya untuk mundur dan lengser keprabon. Senyum khas yang selama ini bertaburan di depan publik seperti lenyap entah ke mana. Untuk melanjutkan kekosongan kekuasaan, Ki Gedhe Padharane menyerahkan tahta dengan segenap kemegahan istana yang selama ini dinikmati bersama keluarga dan kroni-kroninya, kepada wakilnya, Ki Jantur Branjangan.
Serentak, jutaan rakyat negeri kelelawar bersorak. Mereka seperti memasuki dunia baru. Sebuah perubahan besar membayang di setiap kepala. Rezim tirani yang selama ini dikenal kuat dan berpengaruh itu akhirnya tumbang juga. Semua kekelawar dari berbagai lapisan dan sudut-sudut kampung berterik: “Hidup reformasi!”
Ya, ya, ya! Akhirnya, angin reformasi berhembus juga di negeri kelelawar. Namun, sejumlah persoalan yang rumit dan kompleks sudah menghadang di depan mata. Jumlah utang luar negeri yang bejibun, jutaaan rakyat yang terluntas-lunta dalam kubangan lumpur kemiskinan, angka pengangguran yang membengkak, harga-harga kebutuhan pokok yang belum juga terkendali, bahkan krisis moneter yang belum juga berakhir, merupakan tugas dan PR berat buat pemegang amanah reformasi. Belum lagi persoalan hukum, pendidikan, sosial-budaya, atau politik yang masih silang sengkarut.
Akankah negeri kelelawar akan berubah menjadi sebuah negeri yang adil dan makmur setelah kekuasaan beralih ke tangan Ki Jantur Branjangan? Atau justru memicu lahirnya petualang-petualang politik yang ingin memanfaatkan situasi? Aha, agaknya, sang waktu yang akan menjawabnya. (Bersambung) ***
Menyiasati Kecamuk Separatisme di Negeri Kelelawar (5)
Kisah ini merupakan bagian ke-5 dari serial “Negeri Kelelawar”. Yang belum sempat membaca, silakan nikmati dulu kisah Menagih Janji Politisi di Negeri Kelelawar (1), Ontran-ontran di Negeri Kelelawar (2), Situasi Chaos di Negeri Kelelawar Makin Parah (3), dan Angin Reformasi Berhembus Juga di Negeri Kelelawar (4)!
Pasca runtuhnya kekuasaan Ki Gedhe Padharane, situasi negeri kelelawar bukannya semakin membaik. Gelombang demo tak hanya terjadi di ibukota, tetapi juga telah meluas dan merambah ke berbagai pelosok negeri. Kebebasan rakyat kelelawar yang selama ini tersekap dalam tungku kekuasaan rezim Ki Gedhe Padharane telah menjelma menjadi kekuatan massa yang tak sanggup dibendung. Mereka dengan mudah melakukan aksi-aksi unjuk rasa sebagai ekspresi euforia reformasi yang sudah lama mereka rindukan. Mereka bebas mencericit, berteriak, bahkan kencing di sembarang tempat, termasuk di atas bubungan atap istana, tanpa merasa takut ditangkap aparat.
Ya, ya, ya, roda reformasi memang telah kencang menggelinding di seantero negeri kelelawar. Kelelawar yang selama ini hanya bersembunyi dan bertapa di balik bukit dan goa pun tergoda juga untuk menikmati atmosfer reformasi yang menjanjikan kemerdekaan berpendapat. Dengan segenap kekuatan argumentasi yang dimiliki, para pertapa kelelawar itu dengan suara lantang dan berbusa-busa menuntut kebebasan wilayahnya dari cengkeraman kelelawar ibukota yang selama ini mereka nilai tak lebih dari penjajah.
“Selama ini kita hanya setor upeti ke ibukota. Tapi nasib kita tak pernah mereka perhatikan. Kue kekuasaan hanya dinikmati oleh beberapa gelintir elite yang ada di pusat. Apa yang selama ini kita dapatkan Saudara-saudara! Ya, hanya penderitaan yang tak pernah berakhir!” teriak pertapa tua dari atas mimbar di depan istana Ki Jantur Branjangan dengan suara lantang, lantas disambut yel-yel ribuan kekelawar bersambung-sambungan.
“Betul! Kami menuntut kebebasan negeri kami dari cengkeraman orang-orang pusat. Berikan kebebasan kepada kami untuk membangun wilayah kami yang selama ini dipinggirkan!” sambung pendemo dengan wajah memerah tertimpa terik matahari.
“Setujuuu!” sambung kelelawar yang lain serempak. Suara mereka membahana hingga menggetarkan dinding langit.
Para pejabat, termasuk Ki Jantur Brajangan, tak sanggup menampakkan diri.
“Sudahlah! Biarkan saja! Kalau lelah, mereka akan bubar dengan sendirinya. Dalam situasi seperti ini, kita mesti pandai-pandai menulikan telinga dan membutakan mata! Well, ada yang punya pendapat lain?” kata Ki Jantur Branjangan di tengah rapat darurat yang digelar bersama jajaran kabinet reformasi.
“Menurut saya, aspirasi mereka perlu kita akomodasi juga, Pak. Mereka sudah lama tertindas akibat tindakan arogansi rezim masa lalu. Kalau saja mereka kita berikan kebebasan untuk lepas dari kesatuan republik kelelawar, kita akan mampu memberikan kesan positif kepada dunia bahwa kita benar-benar menjunjung tinggi hak asasi! Bukankah ini momen yang tepat untuk membangun citra?” sahut Menteri Kehakiman yang selama ini dikenal kritis.
“Ok, masuk akal juga! Ada pendapat lain?” jawab Ki Jantur Branjangan dengan bola mata membeliak seperti kelereng.
“Saya setuju saja, Pak, mereka kita berikan kesempatan untuk memerdekakan diri. Tapi perlu prosedur yang bisa dipertanggungjawabkan. Referendum, misalnya. Kita berikan kebebasan kepada rakyat wilayah yang bersangkutan untuk memilih. Tetap berada di wilayah kesatuan republik kelelawar atau terpisah sebagai negara yang berdiri sendiri. Bagaimana?” jawab Menteri Dalam Negeri.
“Oh, begitu? Bagaimana dengan yang lain?”
“Apa pun motifnya, saya atas nama jajaran tentara kelelawar sebenarnya kurang setuju, Pak. Pemberian referendum, otonomi, atau apa pun istilahnya, jelas-jelas mencederai keutuhan republik ini. Kita harus ingat, sudah berapa nyawa anggota tentara kita yang sudah menjadi korban gerakan separatisme yang sudah bertahun-tahun lamanya berlangsung di wilayah itu? Tetapi, semuanya saya serahkan kepada kebijakan pimpinan. Tugas kami adalah mengawal semua agenda dan kebijakan pimpinan!” sahut Panglima Tentara Kelelawar.
“Hemmm … agak rumit juga! Sekarang kita ambil vote terbuka saja. Siapa yang setuju dengan pemberian referendum, silakan angkat tangan!” jawab Ki Jantur Branjangan di tengah sayup suara pendemo yang masih berlangsung di luar sana.
Dalam sekejap, terhitung sudah ada 25 anggota kabinet yang angkat tangan dari 37 yang hadir. Ini artinya, para menteri lebih setuju jika tuntutan para pendemo itu dipenuhi dengan cara memberikan referendum.
Maka, dalam tempo singkat, referendum pun digelar. Hasilnya sudah pasti dapat ditebak. Rakyat kelelawar yang tinggal di bukit dan goa di wilayah paling timur itu memilih untuk terpisah dari kesatuan republik kelelawar. Teriak kebebasan pun kembali membahana. Mereka yang pro-referendum segera mengusir para kelelawar yang selama ini dikenal gigih dalam memperjuangkan sikap pro-integrasi. Tragedi pun tak bisa dihindarkan. Daerah perbatasan menjadi rawan konflik. Beberapa heri lamanya, wilayah yang sekarang terlepas dari kesatuan wilayah republik kelelawar itu tersekap dalam selimut intrik dan pertikaian.
Kekhawatiran bahwa pelaksanaan referendum akan menjadi preseden terhadap kesatuan wilayah negeri kelelawar agaknya mulai terbukti. Banyak wilayah yang menuntut kemerdekaan wilayahnya dari campur tangan pusat. Maklum, selama ini mereka tak mendapatkan keuntungan apa-apa ketika pusat dianggap sebagai “parasit” yang telah menyedot aset dan kekayaan mereka. Pengelolaan aset daerah yang salah urus dinilai telah mengebiri kemandirian kelelawar daerah.
Gerakan separatisme pun terus mengalir dari berbagai penjuru. Namun, secara suprastuktural, tuntutan mereka bisa diredam dengan keluarnya Undang-undang Otonomi Wilayah. Melalui UU tersebut, para pemimpin daerah bisa mengoptimalkan pengembangan aset dan kekayaan daerah sesuai dengan konteks wilayahnya masing-masing.
Sementara itu, kedudukan Ki Jantur Branjangan pun mulai terancam. Konon, dia kurang memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat karena dianggap masih menjadi bagian dari rezim lama. Masa-masa kekuasaannya akan segera berakhir.
Maka, peraturan baru tentang pemilu pun segera dibuat. Setiap kelompok, sesuai dengan peraturan yang berlaku, boleh mendirikan partai politik. Terbukanya akses masyarakat terhadap parpol membuat naluri politik rakyat negeri kelelawar makin peka.
Akankah munculnya banyak parpol bisa membuat masa depan negeri kelelawar menjadi lebih baik? Bagaimana juga halnya dengan pelaksanaan otonomi daerah yang baru pertama kalinya diterapkan di negeri kelelawar itu? Sungguh, nasib perjalanan dan dinamika kehidupan negeri kelelawar agaknya mesti tunduk pada catatan sang waktu yang tak pernah lelah mengabadikan berbagai peristiwa yang berlangsung dari zaman ke zaman. *** (bersambung)
Kekuasaan Negeri Kelelawar dalam Kepungan Ambisi Petualang Politik
Kisah ini merupakan bagian ke-6 dari serial “Negeri Kelelawar”. Yang belum sempat membaca, silakan nikmati dulu kisah Menagih Janji Politisi di Negeri Kelelawar (1), Ontran-ontran di Negeri Kelelawar (2), Situasi Chaos di Negeri Kelelawar Makin Parah (3), Angin Reformasi Berhembus Juga di Negeri Kelelawar (4), dan Menyiasati Kecamuk Separatisme di Negeri Kelelawar (5)!
Kecaman terhadap kepemimpinan Ki Jantur Branjangan mulai datang bertubi-tubi. Selain dianggap sebagai bagian dari rezim lama yang korup dan tirani, kelelawar berjidat licin dengan bola mata yang selalu membeliak seperti kelereng itu dianggap suka menggunakan pasukan kelelawar sipil dalam mempertahankan kekuasaannya yang baru seumur jagung. Kerusuhan demi kerusuhan pun tak dapat dihindarkan. Rakyat dan mahasiswa kelelawar yang tengah berunjuk rasa seringkali dilawan dengan pasukan sipil berseragam. Tak ayal, kerusuhan dan kekerasan makin meluas.
Situasi negeri kelelawar semakin tak menentu ketika terdengar isu santer telah terjadi pembantaian sejumlah tokoh spiritual yang dianggap menggunakan ilmu teluh. Konon, tokoh-tokoh spiritual itu dibantai oleh segerombolan kelelawar misterius berjubah yang bisa bergerak supercepat dan sulit terdeteksi. Suasana benar-benar mencekam. Berbulan-bulan lamanya, negeri kelelawar tenggelam dalam kepungan kecemasan dan kekerasan dari berbagai sudut. Meski demikian, tak satu pun intel kelelawar yang sanggup melacak jejak gerombolan kelelawar misterius berjubah itu hingga akhirnya kabar itu tenggelam oleh berbagai isu yang muncul belakangan.
Seiring dengan berjalannya sang waktu, kekuasaan Ki Jantur Beranjangan pun mendekati masa-masa antiklimaks. Para wakil rakyat yang sudah mulai merasakan denyut nurani rakyat menuntut digelarnya sidang istimewa. Itu artinya, dia harus siap-siap menderita post power syndrom. Dia belum bisa membayangkan seandainya kekuasaan yang selama ini berada dalam genggaman tangannya harus benar-benar terlepas. Sebelum semua itu terjadi, Ki Jantur Branjangan berupaya melobi para wakil rakyat kelelawar untuk mau diajak kompromi, setidak-tidaknya separuh lebih anggota sidang yang hadir menerima laporan pertanggungjawabannya. Namun, upayanya sia-sia. Laporan pertanggungjawabannya mutlak ditolak oleh forum sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Kelelawar (MPRK). Merasa sudah tak berguna bagi negerinya, Ki Jantur Branjangan terbang menuju sebuah goa pertapaan hingga beberapa bulan lamanya untuk mengusir kekecewaan dan sakit hati yang bersemayam dalam rongga dadanya.
Kekuasaan negeri kelelawar yang vakum, membuat para wakil rakyat sibuk melakukan proses suksesi kepemimpinan nasional melalui Pemilu. Kran kebebasan berserikat dan berpartai politik dibuka lebar-lebar. Sejumlah dana digelontorkan untuk memberikan subsidi kepada partai politik yang dinyatakan lolos verifikasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam waktu singkat, sudah puluhan partai yang dianggap layak mengikuti pesta demokrasi. Rakyat negeri kelelawar untuk pertama kalinya –setelah era kekuasaan Ki Gedhe Padharane yang fasis itu– menikmati pesta demokrasi yang konon benar-benar demokratis. Rakyat bebas menentukan pilihan sesuai dengan nuraninya.
Namun, nilai-nilai demokrasi pada era multipartai tak sepenuhnya berjalan mulus. Tidak adanya partai politik yang memenangkan Pemilu secara mutlak membuat bargaining politik menjadi sangat alot. Para wakil rakyat dari berbagai parpol harus saling berbagi kue kekuasaan. “Siapa menguntungkan siapa” menjadi idiom politik yang demikian dominan di pusat kekuasaan negeri kelelawar. Maka, setelah melalui proses kompromi, lobi, dan negosiasi yang alot, akhirnya Ki Gusra-gusru yang selama ini dikenal sebagai tokoh demokrasi, dipilih sebagai presiden negeri Kelelawar. Terpilihnya Ki Gusra-gusru tak lepas dari peran poros kebangsaan kelelawar yang merupakan kumpulan beberapa pentolan parpol yang selama ini justru sering berseberangan paham dengan sang presiden terpilih. Meski demikian, Ki Gusra-gusru yang memang sudah terbiasa bergelut dalam wacana politik kebangsaan tetap tampil percaya diri. Dengan dukungan penuh tokoh-tokoh demokrasi yang berada di belakangnya, Ki Gusra-gusru bermaksud membuat desain negeri kelelawar yang benar-benar terhormat dan bermartabat. Untuk itu, dia dengan para pembisiknya, berani mengeluarkan kebijakan yang kurang populer dalam upaya melakukan perubahan. Istana negeri kelelawar yang selama ini dianggap “angker” dan tak bisa sembarang orang menjamahnya dibuka lebar-lebar buat siapa saja yang hendak mengadu. Mitos dan aturan-aturan protokoler kepresidenan pun tak lagi dipatuhinya. Sang presiden lebih suka mengatur negara dengan caranya sendiri.
Meski demikian, Ki Gusra-gusru juga tak bisa mengabaikan hasil kompromi poros kebangsaan yang telah memosisikan dirinya sebagai orang nomor satu di negeri kelelawar. Dengan terpaksa, dia harus menerima lamaran menteri dari beberapa partai yang telah mendukungnya. Apa boleh buat! Meski tak cocok dengan beberapa menterinya, bahkan juga dengan wakilnya sendiri, dia tetap harus menjalankan roda pemerintahan yang telah dipercayakan kepadanya.
Maka, berjalanlah roda pemerintahan Ki Gusra-gusru dalam situasi yang terus memanas. Selalu saja muncul rasa tidak puas dari kelompok tertentu yang merasa tidak diuntungkan. Kebijakan-kebijakan yang dia ambil seringkali tidak selaras dengan kehendak sebagian besar wakil rakyat yang selama ini memang tidak menyukainya. Setiap kali ada dengar pendapat selalu terjadi banjir interupsi. Lantaran tak kuasa menahan emosi, Ki Gusra-gusru seringkali melontarkan kata-kata yang bisa memerahkan telinga para pengkritiknya. Tak ayal lagi, konflik dan intrik yang selama ini terselubung berubah menjadi “kekerasan politik” yang vulgar dan terbuka. Saling serang dan saling bantai menjadi pemandangan yang rutin.
Komunikasi politik antara wakil rakyat dan presiden negeri kelelawar yang kurang harmonis berimbas pada meluasnya konflik dan kekerasan di kalangan akar rumput. Kelompok pendukung dan penentang sang presiden sama-sama turun ke gelanggang. Perang urat syaraf terus dihembuskan. Situasi politik pun makin memanas, sehingga memicu rentetan konflik horisontal yang kian memanjang.
Dalam situasi seperti itu, pentolan partai dari poros tengah yang dulu mendudukkan Ki Gusra-gusru di kursi kepresidenan terpaksa kembali melakukan kompromi politik. Mereka menilai, langkah-langkah sang presiden sudah di luar perhitungan dan skenario yang mereka rencanakan. Jadilah pemerintahan Ki Gusra-gusru sebagai “tumbal politik” untuk menuntaskan ambisi sekolompok politisi negeri kelelawar yang sesungguhnya sudah amat lama haus akan kekuasaan. Meski demikian, apakah ambisi politik mereka akan sukses menggulung kekuasaan Ki Gusra-gusru sekaligus mampu menjalankan skenario yang telah mereka rancang dengan rapi? Agaknya, sang waktu juga yang akan memberikan kesaksian-kesaksian. *** (bersambung)
Isu Dekrit Presiden di Negeri Kelelawar
Di tengah ruang kerjanya yang sejuk ber-AC, Ki Gusra-gusru merasa gerah. Suara para pembisik yang terdengar di gendang telinganya seperti godam yang menghantam telak ulu hatinya. Pedih dan perih. Menurut para pembisik itu, poros kebangsaan yang dulu membujuknya untuk menjadi presiden dianggap telah ”berkhianat”. Mereka beramai-ramai mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinannya.
”Begitulah, Pak Gus. Poros kebangsaan agaknya tidak main-main. Mereka telah bersekongkol untuk memaksa Bapak turun dari kursi kepemimpinan,” tutur salah satu pembisik disambung suara-suara gaduh dari para pembisiknya yang lain. Mereka saling pandang.
”Biarkan saja mereka berbuat semaunya. Nanti akan ketahuan siapa yang berkhianat dan siapa yang benar-benar ingin membangun negeri kelelawar. Begitu saja kok repot!” jawab Ki Gusra-gusru dengan santai, meski hatinya benar-benar gerah dan panas. Para pembisik yang mengerumuninya hanya bisa menahan napas. Maklum, kalau Ki Gusra-gusru benar-benar terjengkang dari kursi kekuasaannya, alamat bakal celaka. Mereka dipastikan tak akan mendapat tempat lagi jika terjadi suksesi dadakan.
”Maaf, Pak Gus. Saya kira ancaman poros kebangsaan perlu disikapi secara serius. Mereka telah menggalang kekuatan di gedung parlemen. Kita perlu mengambil sikap. Jika perlu, keluarkan dekrit presiden, karena negara dalam situasi yang gawat dan darurat. Rakyat perlu tahu, sesungguhnya siapa sih kelompok yang telah berkhianat dan yang benar-benar berjuang untuk kejayaan negeri kelelawar!” sambung pembisik yang lain. Ki Gusra-gusru tersentak. Demikian juga sebagian pembisik yang lain.
”Apa harus sejauh itu? Dekrit presiden itu setahu saya tidak bisa begitu saja dikeluarkan tanpa alasan yang jelas. Kalau argumen yang kita gunakan tidak jelas, bisa-bisa jadi bumerang buat kita!” timpal pembisik yang lain dengan bola mata membelalak.
”Hmmm … masuk akal juga usulan tentang dekrit presiden itu. Saya malah tertarik. Sesekali, saya malah kepingin punya pengalaman mengeluarkan dekrit presiden. Sudah, saya terima usulannya. Toh seandainya dekrit presiden itu ditolak, resikonya paling-paling saya diberhentikan jadi presiden. Lha wong cita-cita saya sejak dulu ndak pernah pingin jadi presiden. Kalau toh saya jadi presiden, poros kebangsaan juga kan yang mengawali. Biarkan mereka juga yang akan mengakhiri jabatan saya sebagai presiden. Tapi, paling tidak, nama saya akan tercatat dalam sejarah sebagai presiden yang pernah mengeluarkan dekrit presiden. Isi dekrit itu nantinya adalah pembubaran lembaga wakil rakyat karena mereka sudah berkongkalingkong untuk menggulingkan presiden yang sah!” sahut Ki Gusra-gusru masih dengan nada yang santai.
Agaknya, para pembisik sudah paham betul dengan tabiat pemimpinnya itu. Sekali mengambil keputusan, pantang untuk didebat.
Isu tentang rencana dikeluarkannya dekrit presiden dengan cepat tercium oleh pers. Keesokan harinya, berita itu menjadi headline di berbagai surat kabar. Stasiun TV tak kalah ramai. Para pimpinan redaksi berupaya memberikan sajian politik terbaik buat penontonnya. Mereka sengaja mendatangkan pengamat dan pakar politik papan atas untuk dimintai pendapatnya tentang dekrit presiden itu. Di kalangan pengamat sendiri, muncul sikap pro dan kontra. Namun, seperti sudah dapat ditebak, mereka pun seringkali sudah tidak murni menggunakan pendekatan intelektual dalam membedah persoalan-persoalan politik. Ada bau ”pelacuran intelektual” untuk membela kepentingan politik tertentu sesuai dengan paham yang mereka anut. Pengamat politik yang dikenal dekat dengan Ki Gusra-gusru jelas akan menyatakan bahwa presiden mempunyai hak sepenuhnya untuk mengeluarkan dekrit presiden ketika negara dinilai sedang berada dalam keadaan darurat. Sebaliknya, pengamat politik yang selama ini selalu berselisih paham dengan Ki Gusra-gusru, jelas akan menyatakan bahwa dekrit presiden yang akan dikeluarkan termasuk tindakan ilegal yang dapat membahayakan negara.
Namun, perdebatan antarpengamat politik yang seru dan memanas itu tak ada gunanya ketika tanpa diduga isu dekrit presiden itu benar-benar terbukti. Melalui juru bicaranya, Ki Gusra-gusru benar-benar mengeluarkan dekrit presiden tentang pembubaran lembaga wakil rakyat negeri kelelawar. Gedung parlemen pun bergoyang. Para wakil rakyat merasa terlecehkan. Ki Gusra-gusru dianggap telah mengeluarkan kebijakan yang bisa membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Maka, dalam tempo singkat, mereka segera menggeklar sidang paripurna. Seluruh wakil rakyat diminta untuk hadir, tanpa alasan. Mereka yang memboikot sidang dianggap pro Ki Gusra-gusru dan dinilai telah berkhianat kepada negara.
Untuk memperkuat posisi lembaga wakil rakyat, mereka meminta Ketua Mahkamah Agung Negeri Kelelawar (MANK) untuk mengeluarkan pernyataan hukum tentang kedudukan dekrit preriden yang baru saja dikeluarkan Ki Gusra-gusru. Maka, gegap-gempitalah seluruh wakil rakyat ketika mendengarkan pernyataan Ketua MANK bahwa dekrit presiden yang dikeluarkan Ki Gusra-gusru tidak sah dan bertentangan dengan konstitusi. Mereka bertepuk tangan dan memberikan aplaus kepada Ketua MANK.
Karena dianggap telah melanggar konstitusi, para wakil rakyat sepakat untuk memberhentikan Ki Gusra-gusru sebagai presiden negeri Kelelawar. Untuk melanjutkan kepemimpinannya, para wakil rakyat telah menunjuk wakil presiden, Nyi Menik Sukagincu, untuk memimpin negeri Kelelawar sampai Pemilu berikutnya digelar. Atas nama negara, pimpinan lembaga wakil rakyat memerintahkan aparat keamanan untuk berjaga-jaga di sekitar istana dan meminta dengan paksa agar Ki Gusra-gusru segera meninggalkan istana.
Namun, diberhentikannya Ki Gusra-gusru sebagai presiden, tidak bisa begitu saja diterima oleh para pendukungnya. Mereka telah menggalang jutaan pendukungnya ke ibukota untuk memberikan dorongan moral kepada pemimpin yang dikaguminya itu agar tidak mengindahkan seruan wakil rakyat. Maka, terjadilah ontran-ontran sosial di sekitar istana. Suasana benar-benar mencekam. Namun, mereka tak sanggup berkutik ketika moncong-moncong meriam dan senjata berat telah diarahkan ke istana. Apalagi, Ki Gusra-gusru sendiri tampak legawa menerima penghentian itu. Tanpa pakaian kebesaran, Ki Gusra-gusru langsung meninggalkan istana dengan kawalan ketat dari arapat keamanan.
Nah, apakah sepeninggal Ki Gusra-gusru, suasana negeri Kelelawar menjadi lebih baik? Bagaimana pula kepemimpinan Nyi Menik Sukagincu dalam mengelola negeri yang berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa itu? (bersambung) ***
Setelah dihajar preman dari berbagai lapis dan lini, rakyat negeri Kelelawar belum juga terbebas dari ancaman rasa takut. Bukan hanya preman-preman liar yang harus mereka hadapi, melainkan juga preman-preman berdasi yang nongkrong di berbagai birokrasi. Dalam menjalankan aksinya, para preman jelas sudah sangat mahir memasang strategi. Konon, keahlian mereka setingkat lebih tinggi ketimbang aparat keamanan, sehingga jejaknya sulit terendus. Mereka dikenal piawai memasang jerat dan perangkap, sehingga selalu lolos dari incaran hukum.
Dunia pendidikan di negeri kelelawar pun tak luput dari tingkah usil preman-preman liar. Ada yang menduga, para bromocorah yang menyusup ke dalam dunia pendidikan itu sengaja digerakkan oleh sebuah kekuatan besar yang ingin menghancurkan masa depan anak-anak negeri kelelawar. Anak-anak yang sedang gencar memburu ilmu di bangku pendidikan, sengaja dicuci otaknya dan dimandulkan kreativitasnya agar kelak menjadi generasi penurut dan kehilangan sikap kritis terhadap penguasa. Melalui grand-design semacam itu, para penguasa akan bisa leluasa mengatur dan mengelola negeri kelelawar sesuai dengan kepentingan dirinya dan kroni-kroninya.
Kata sahibul hikayat, penguasa negeri kelelawar hanya pintar membuat undang-undang. Visi para pendiri negeri yang jelas-jelas tercantum dalam “kitab suci” negara pun telah berubah menjadi jargon dan retorika belaka. Tujuan hidup berbangsa dan bernegara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi segenap tumpah darah negeri kelelawar hanya menjadi hafalan penguasa ketika sedang berpidato. Mereka memang dikenal pintar berorasi, tapi nihil implementasi. Tidak menyatunya kata dan tindakan sudah menjadi budaya yang mengakar dan berlapis-lapis. Mereka yang pintar berpidato dan lincah bersilat lidahlah yang bakal mampu menyihir dan menghipnotis rakyat negeri kelelawar untuk sendika dhawuh terhadap apa yang dikatakan.
“Negeri kita sedang mengalami degradasi dalam soal martabat dan kehormatan. Kita gampang dipermainkan negeri seberang karena penguasa negeri ini gagal mengelola negara,” teriak pengamat sosial. “Batasan-batasan teritorial dibiarkan terpuruk, padahal sudah lama dijadikan sebagai ajang permainan negeri lain. Yang lebih menyedihkan, kelelawar yang mengadu nasib di negeri seberang diperlakukan seperti budak belian yang benar-benar telah kehilangan harga diri dan kehormatan. Ironisnya, penguasa terus-terusan bersikap diam, tanpa ada upaya serius untuk menyelematkan mereka dari ladang pembantaian,” lanjutnya berapi-api.
“Pendidikan yang seharusnya menjadi panglima, telah berubah menjadi tungku kekuasaan, tempat membunuh anak-anak kelelawar bertalenta hebat. Betapa tidak! Ujian nasional yang seharusnya menjadi parameter untuk mengukur kompetensi murid yang sesungguhnya, tak lebih hanya sebuah label dan citraan yang menakutkan,” teriak pengamat pendidikan.
“Contohnya, Pak?” pancing wartawan.
“Sampeyan semua pasti masih ingat kecurangan ujian dari tahun ke tahun yang terus terjadi. Mengapa kejadian memalukan itu terus terjadi?” jawab sang pengamat balik bertanya. Para wartawan saling berpandangan.
“Ini sebuah potret kekonyolan bagi bangsa kelelawar. Semua tahu kalau negeri kelelawar itu majemuk. Setiap daerah berbeda kondisi dan latar belakang kemampuannya. Sarana, prasarana, dan fasilitas sekolah juga beda-beda. Tapi konyolnya, kemampuan anak-anak sekolah dituntut seragam. Ini yang membikin ujian nasional tak lebih hanya sebuah formalitas belaka. Karena dituntut punya kemampuan dengan standar nasional yang sama, akhirnya setiap penguasa daerah berupaya meningkatkan jumlah kelulusan dengan menghalalkan segala cara agar citra dan marwah daerah mereka tetap bagus di mata penguasa pusat,” lanjut sang pengamat berbusa-busa.
Syahdan, terbuktilah pernyataan sang pengamat pendidikan itu. Negeri kelelawar spontan gempar ketika terbetik kabar kalau ada sekitar 33 sekolah setingkat SMA dan 16 sekolah setingkat SMP di negeri kelelawar yang kelulusan siswanya 0%. Yang lebih menghebohkan, mereka diharuskan untuk mengikuti ujian ulang yang jelas-jelas bertentangan dengan Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian yang telah ditetapkan.
“Apa salah kami sehingga harus mengikuti ujian ulang? Saya belajar keras dengan harapan dapat lulus dengan prestasi yang bagus? Tapi, kenapa kami diisukan diberi bocoran kunci jawaban? Ini benar-benar tidak adil!” teriak beberapa ekor kelelawar dengan nada getir dan pilu. Mereka hanya bisa terbang ke sana kemari dengan deraan nasib tak menentu. Tangis yang mengucur dari pelupuk mata tampak membasahi daun-daun pisang yang kering dan meranggas. Mereka tak tahu lagi, kepada siapa harus mengadu?
Itu hanya sekelumit kisah pilu yang dirasakan beberapa ekor kelelawar yang mengalami nasib tragis akibat sistem ujian nasional yang dinilai salah urus.
“Standar nasional kelulusan memang diperlukan di negeri kelelawar ini. Namun, seharusnya jangan jadi penentu kelulusan. Berikan kemerdekaan dan otonomi penuh kepada sekolah masing-masing untuk menentukan standar kelulusannya. Yang kelulusannya masih berada di bawah standar nasional, justru harus diperhatikan dan dipermudah aksesnya dalam mendapatkan subsidi untuk melengkapi sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan,” tulis pengamat pendidikan di sebuah koran nasional. “Selama ini kan tidak! Justru sekolah-sekolah yang nilai ujian nasionalnya tinggi yang mendapatkan kemudahan-kemudahan dan dimanjakan oleh pemerintah. Akibatnya, sekolah yang maju makin maju, sedangkan sekolah yang bermutu rendah makin terpuruk!” lanjutnya dalam sebuah artikel.
Silang-sengkarutnya ujian nasional di negeri kelelawar seharusnya mendapatkan perhatian serius dari para elite negeri, lebih-lebih bagi mereka yang sedang berjuang untuk menduduki singgasana kekuasaan. Mereka bisa menunjukkan komitmennya untuk melakukan perubahan sistem ujian nasional. Namun, sungguh tragis, pendidikan yang dinilai menjadi “kawah candradimuka” peradaban sekaligus sebagai agen kebudayaan justru didesain untuk menjadi alat guna melanggengkan kekuasaan.
Karena tak tahu ke mana harus mengadu, para kelelawar yang merasa menjadi korban sistem ujian nasional mengalami stress berat. Mereka kencing dan berak di mana-mana. Bahkan, ketika melintas di atas bubungan atap istana negeri kelelawar yang megah, mereka berhenti, lantas beramai-ramai kencing dan berak tanpa dikomando. Seketika, terciumlah bau pesing dan busuk yang memenuhi sudut-sudut istana berlapis emas 24 karat itu. Kejadian itu membuat penguasa negeri kelelawar merasa dihina dan dipermalukan. Dengan cepat, aparat keamanan diperintahkan untuk mengusir para kelelawar yang datang bagaikan banjir bandang itu.
“Tangkap mereka dan beri pelajaran! Jika bandel, habisi saja!” teriak sang komandan geram.
Seperti digerakkan oleh tangan-tangan gaib, aparat keamanan bersenjata lengkap serentak menembaki kerumunan kelelawar yang tengah mengepung atap istana itu. Terdengar bunyi ledakan senapan bertubi-tubi. Puluhan, bahkan ratusan kelelawar pun berjatuhan meregang nyawa. Namun, persitiwa penembakan itu bukannya membuat nyali para kelelawar surut. Jumlah mereka justru makin berlipat-lipat. Para kelelewar dari berbagai penjuru negeri terus berdatangan secara bergelombang. Aksi mereka pun tak hanya sekadar kencing dan berak, tetapi juga menggerogoti atap istana. Gigi-gigi mereka yang tajam meluluhlantakkan atap dan bubungan istana.
Aparat keamanan dengan jumlah yang terbatas tak sanggup lagi menghadapi kerumunan massa kelelawar yang terus menggerogoti istana. Tak ayal lagi, atap istana yang megah itu pun roboh. Dalam sekejap, jutaan kelelawar menerobos ke lorong-lorong istana, lantas menggerogoti benda-benda apa saja yang mereka temukan. Mungkin, amarah mereka baru reda kalau istana negeri kelelawar itu benar-benar telah rata dengan tanah. ***
Belakangan ini, persoalan yang dihada pi negeri Kelelawar makin ruwet dan kompleks. Negeri seribu pulau itu tak hanya digoyang sejumlah persoalan dalam negeri, seperti kemelut politik, kerusakan lingkungan, terpuruknya perekonomian, kemiskinan, atau pengangguran, tetapi juga persoalan hubungan diplomasi dengan negeri tetangganya. Sudah berkali-kali hubungan dua bangsa yang konon serumpun itu terusik akibat ulah negeri tetangganya yang suka bikin sensasi. Dengan pongah dan arogan, mereka demikian gampang mengklaim berbagai produk budaya negeri Kelelawar sebagai miliknya. Bahkan, sudah berkali-kali melakukan provokasi di daerah perbatasan dengan melakukan manuver-manuver tak populer sebagai bentuk pelecehan martabat sebuah bangsa yang berdaulat.
“Mereka itu bangsa yang tak kreatif. Masak lagu kebangsaan sebagai simbol negara saja mesti menyontek!” kata seorang wakil rakyat negeri Kelelawar yang diwawancarai reporter TV. “Maklum, mereka itu tak pernah paham makna sebuah perjuangan. Mereka bisa hidup makmur bukan buah perjuangan, tapi sebuah hadiah dan belas kasihan negara lain yang dulu menjajahnya. Mereka juga tak pernah belajar masalah-masalah kebudayaan. Bisanya hanya menyontek dan main klaim seenaknya,” lanjut sang wakil rakyat geram.
Ya, ya, ya, kegeraman sang wakil rakyat itu memang tidak berlebihan. Berbagai fakta sudah menunjukkan kalau negeri bekas jajahan Inggris itu terlalu besar kepala. Kemakmuran yang didapat secara instan agaknya telah membuat negeri yang pernah mencaplok dua pulau milik negeri Kelelawar itu makin tamak dan tak tahu diri. Setiap kepala warga negeri jiran itu dipenuhi dendam dan kebencian kepada bangsa Kelelawar.
“Sudah banyak fakta kalau negeri jiran itu sudah tak lagi menghargai martabat dan kedaulatan bangsa Kelelawar. Tapi, mengapa bangsa yang besar ini justru tak berkutik, bahkan tak berdaya menghadapinya. Jangan salahkan rakyat Kelelawar kalau suatu ketika amarah mereka meledak dan tak lagi bisa dikontrol,” lanjut sang wakil rakyat itu di tengah puncak kegeramannya.
Sang wakil rakyat itu kembali mengungkap fakta sejarah yang kelam tentang konfrontasi yang pernah melibatkan dua bangsa serumpun itu. Berikut petikannya:
Konfrontasi berawal dari keinginan negeri jiran untuk menggabungkan pulau-pulau di sekitarnya menjadi sebuah persekutuan pada tahun 1961. Keinginan itu ditentang oleh presiden negeri Kelelawar yang menganggap negeri jiran sebagai “boneka” sebuah negeri yang dulu menjajahnya. Sang Presiden berpendapat bahwa negeri jiran hanya sebuah negara boneka. Konsolidasi dengan negeri jiran hanya akan menambah kontrol negara kolonial di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan negeri Kelelawar.
Negeri Kelelawar dan salah satu negara tetangganya yang lain setuju menerima pembentukan persekutuan apabila mayoritas daerah yang diributkan memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh badan dunia. Namun, sebelum hasil referendum dilaporkan, negeri jiran melihat pembentukan persekutuan ini sebagai masalah dalam negeri, sehingga tak pantas dicampuri negeri lain. Meski demikian, pemimpin negeri Kelawar tetap melihat hal ini sebagai perjanjian yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme baru.
Amarah presiden negeri Kelelawar makin memuncak ketika terjadi demonstrasi anti-negeri Kelelawar di ibukota negeri jiran. Para demonstran menyerbu gedung kedutaan negeri kelelawar, merobek-robek foto sang presiden, membawa lambang negara Kelelawar ke hadapan penguasa negeri jiran, lantas menginjak-injaknya. Sang presiden murka dan mengutuk tindakan penguasa negeri jiran yang telah menginjak-injak simbol negara dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Negeri jiran.
Lantas, sang wakil rakyat yang masih dihinggapi sikap sentimen dan emosional itu juga menunjukkan fakta mutakhir tentang pelecehan lagu kebangsaan negeri Kelelawar yang syairnya telah diubah menjadi demikian nyinyir dan menyakitkan.
Kelelawar tanah cairku
Tanah tumpah muntahku
Di sanalah aku merangkak hina jadi kubur
Kelelawar negara miskinkuBangsa Busuk dan Tanah Miskinku
Marilah kita semua tidur
Kelelawar negara miskinkuMatilah tanahku
Modarlah negriku
Bangsaku rakyatku semuanya
Miskinlah jiwanyaTidurlah badannya
Untuk Kelelawar miskin
Kelelawar Miskin
Mampus modarDatang kerja negeri jiran
Tapi TKK Jadi perampok
Rompak negeri jiran bawa wang ke Kelelawar
Kelelawar Pendatang HaramMiskinlah miskinlah
Datang Haram ke negeri jiran
Tiada pasporBila kena tangkap dan hantar balik
Katanya Negeri jiran jahat
Kelelawar negara perampok
Kelelawar menghantar perampok malingPekerja TKK Kelelawar
Hantaq pi negeri jiran
Kelelawar MalingMerampok lagu negeri jiran
Mengatakan itu lagu mereka
Kelelawar Tanah yang hinaTanah gersang yang miskin
Di sanalah aku miskin untuk selama-lamanya
Kelelawar Tanah puaka
Puaka Hantu Kita semuanyaNegara luas hasil bumi banyak tapi miskin
Datang minta sedekah di negeri jiran
Marilah kita mendoa Kelelawar brengsetGersanglah tanahnya mundurlah jiwanya
Bangsanya rakyatnya semuanya
Tidurlah hatinya mimpilah budinya
Untuk Kelelawar miskinKelelawar tanah yang kotor tanah kita yang malang
Di sanalah aku tidur selamanya bermimpi sampai mati
Kelelawar! Tanah malang tanah yang aku sendiri benciMarilah kita berjanji Kelelawar miskin
Matilah rakyatnya modarlah putranya
Negara miskin tentera coma pakai basikal
Miskinlah negrinya mundurlah negaranya
Untuk Kelelawar kurap
Terlepas dari sikap iseng atau main-main, mereka yang usil melecehkan lagu kebangsaan negeri Kelelawar itu jelas sangat tidak memahami kultur dan semangat kebangsaan yang terkandung di balik lirik-lirik heroik itu. Demikian sang wakil rakyat itu menyimpulkan.
“Mereka ini tidak paham masalah kebudayaan dan kebangsaan. Bisanya hanya melecehkan dan merendahkan martabat bangsa lain. Maklum, mereka memang tak pernah mengenal arti perjuangan seperti yang pernah dialami negeri Kelelawar yang berabad-abad lamanya harus bertarung melawan kekuatan kolonial. Tak perlu heran kalau menciptakan lagu kebangsaan saja mesti menjiplak lagu yang telah populer jauh sebelum negeri Kelelawar merdeka,” tegas sang wakil rakyat.
Suasana wawancara yang berlangsung di ruang sejuk ber-AC itu mendadak dikejutkan oleh suara cericit ditingkah kepak sayap kelelawar di atas bubungan atap stasiun TV. Jutaan kelelawar tampak perkasa mengepakkan sayapnya sambil tak henti-hentinya meneriakkan slogan lama, “Ganyang Negeri Jiran”. Tak tahu pasti, hendak ke mana kerumunan kelelawar yang dibalut semangat heroik itu hendak terbang.
“Kekhawatiran saya benar-benar terjadi. Akibat kelambanan kolektif penguasa, rakyat negeri Kelelawar yang marah karena telah lama merasa direndahkan dan dilecehkan martabatnya, akhirnya mengambil langkah dan sikap nekad. Dan kalau sudah begini, langkah mereka akan sulit dihentikan,” lanjut sang wakil rakyat sambil mengakhiri wawancaranya. ***
Gerakan Apolitis Kaum Muda Negeri Kelelawar
(Kisah ini merupakan bagian ke-11 dari serial “Negeri Kelelawar”. Yang belum sempat membaca, silakan nikmati dulu kisah Menagih Janji Politisi di Negeri Kelelawar (1), Ontran-ontran di Negeri Kelelawar (2), Situasi Chaos di Negeri Kelelawar Makin Parah (3), Angin Reformasi Berhembus Juga di Negeri Kelelawar (4), Menyiasati Kecamuk Separatisme di Negeri Kelelawar (5), Kekuasaan Negeri Kelelawar dalam Kepungan Ambisi Petualang Politik (6), Isu Dekrit Presiden di Negeri Kelelawar (7), Premanisme Merajalela di Negeri Kelelawar (8), Geger Ujian Nasional di Negeri Kelelawar (9), dan Terang Bulan Tak Ada Lagi di Negeri Kelelawar (10)). ***
Suasana heroik menyelimuti negeri Kelelawar. Lagu-lagu wajib yang menggema di seantero negeri seperti hendak menggetarkan pintu langit. Ingatan kolektif mereka jatuh pada momen puluhan tahun yang silam ketika beberapa kaum muda dengan amat visioner menggelorakan ikrar “ke-kelelawar-an” tentang tanah air, bangsa, dan bahasa. Ruh dan semangat itu terus bertiup tiap tahun. Namun, kini terasa, geloranya makin meredup pamornya.
Gerusan nilai-nilai global, disadari atau tidak, telah membuat anak-anak bangsa kelelawar terbelah kepribadiannya. Kaki kanan sudah bergeser menuju peradaban modern dan mondial, sementara kaki yang satunya lagi belum juga beranjak dari kubangan nilai-nilai tradisi. Situasi seperti itu tak jarang menimbulkan sikap gamang dan ragu kaum muda negeri Kelelawar dalam menentukan sikap. Hal itu diperparah dengan munculnya gejala krisis keteladanan dari para elite dan pemimpin mereka.
Dunia pendidikan di negeri Kelelawar juga makin sempoyongan memanggul beban. Nilai-nilai luhur baku yang diajarkan di bangku pendidikan seringkali bertentangan dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ketika guru bilang bahwa korupsi itu tindakan hina dan tak beradab, justru para murid melihat kenyataan betapa banyaknya kaum elite di negeri kelelawar yang menjadikan aksi korupsi sebagai budaya. Entah, sudah berapa gelintir pejabat yang jadi buron aparat akibat tersandung masalah korupsi. Ketika guru ngomong bahwa aksi kekerasan itu termasuk tindakan pelanggaran Hak Asasi Kelelawar, justru para murid melihat kenyataan betapa banyaknya masalah-masalah sepele di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang diselesaikan melalui kekerasan. Entah, sudah berapa kelelawar yang harus jadi korban aksi kekerasan akibat sentimen dan fanatisme kesukuan, agama, ras, atau golongan.
Yang menyedihkan, perjalanan demokrasi di negeri Kelelawar dinilai juga sarat dengan tindakan anomali yang menihilkan kearifan dan fatsoen politik. Kaum elite politik negeri Kelelawar dinilai sudah kehilangan sikap elegan dan kstaria dalam berpolitik. Bahkan, konon mereka sangat gemar menempuh terobosan lewat jalan kelinci dengan menggunakan jurus ilmu permalingan yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Sikut kanan sikut kiri, sembah ke atas, injak ke bawah, menjadi budaya baru yang dipraktikkan di atas panggung politik. Motif utama bermain di atas panggung politik bukan untuk mencapai kemaslahatan dan kesejahteraan publik, melainkan sekadar memanjakan naluri purba demi memenuhi ambisi pribadi, kelompok, dan golongan. Mereka yang berduwit, meski dengan cara hutang sana hutang sini, rela menghambur-hamburkan isi koceknya demi membangun ambisi politik, mempermalukan, jika perlu “membunuh” rival politik. Menjelang Pemilu legislatif, taruhan dan judi politik gencar digelar di berbagai sudut kota dan desa. Famlet dan spanduk warna-warni dengan balutan foto politisi yang narsis dan jumawa terpampang di tepi-tepi jalan raya.
Ketika kampanye, para calon wakil rakyat negeri Kelelawar saling berlomba pidato dengan mulut berbusa-busa sambil tak henti-hentinya mengumbar janji-janji perubahan di atas mimbar. Mereka sangat gemar disanjung dan dipuji, hingga akhirnya kehilangan kontrol diri dan gampang sekali terninabobokan teriakan dan yel-yel memanjakan dari para pengikutnya. Namun, nasib mereka tak jauh berbeda dengan gedebog pisang yang nglumpruk dan tak berdaya ketika gagal terpilih sebagai wakil rakyat. Bahkan, tak jarang politisi gagal yang stress dan kena depresi akibat memikirkan hutang yang menumpuk.
Situasi dan atmosfer politik yang sarat anomali, membuat kaum muda negeri Kelelawar mulai menunjukkan kecenderungan sikap apolitik. Banyaknya kaum muda yang memilih golput ketika Pemilu legislatif berlangsung dinilai sebagai salah satu bukti kecenderungan itu. Hal itu diperkuat dengan hasil poling sebuah media cetak yang sebagian besar responden menyatakan alergi politik.
Gejala alergi politik makin menghinggapi kaum muda negeri Kelelawar tatkala daftar wakil rakyat yang tersandung persoalan hukum makin panjang. Tak sedikit wakil rakyat yang gagal membendung nafsu kemaruk terhadap harta dan perempuan, hingga akhirnya mereka harus berurusan dengan pengadilan. Kemudahan membangun lobi dan persekongkolan agaknya telah membuat sebagian wakil rakyat tenggelam dalam arus hedonisme dan budaya glamor. Ibarat lakon “Petruk Dadi Ratu”, mereka silau terhadap gebyar duniawi, sehingga gampang ditelikung oleh nafsu dan ambisinya sendiri.
Tindakan konyol yang dilakukan oleh para politisi negeri Kelelawar, disadari atau tidak, telah ikut memberikan andil yang cukup besar terhadap redupnya pamor kecintaan kaum muda terhadap tanah air, bangsa, dan bahasanya sendiri. Ikrar “Sumpah Kaum Muda” yang dulu menjadi sumber kekuatan dan semangat dalam membangun masa depan dinilai telah kehilangan maknanya. Ikon-ikon kebangsaan yang mengikat nilai-nilai kebhinekaan dinilai juga sudah mulai longgar. Yang muncul kemudian adalah semangat primordialisme sempit yang terekspresikan melalui aksi-aksi vandalisme berbasis kesukuan, agama, ras, dan antargolongan. Kalau situasinya sudah telanjur chaos seperti ini, siapakah yang mesti bertanggung jawab? ***
Negeri Kelelawar Menjadi Sarang Koruptor
(Kisah ini merupakan bagian ke-12 dari serial “Negeri Kelelawar”. Yang belum sempat membaca, silakan nikmati dulu kisah Menagih Janji Politisi di Negeri Kelelawar (1), Ontran-ontran di Negeri Kelelawar (2), Situasi Chaos di Negeri Kelelawar Makin Parah (3), Angin Reformasi Berhembus Juga di Negeri Kelelawar (4), Menyiasati Kecamuk Separatisme di Negeri Kelelawar (5), Kekuasaan Negeri Kelelawar dalam Kepungan Ambisi Petualang Politik (6), Isu Dekrit Presiden di Negeri Kelelawar (7), Premanisme Merajalela di Negeri Kelelawar (8), Geger Ujian Nasional di Negeri Kelelawar (9), Terang Bulan Tak Ada Lagi di Negeri Kelelawar (10), dan Gerakan Apolitis Kaum Muda Negeri Kelelawar (11)).
Suasana dingin berkabut. Gunung, lembah, dan ngarai tak henti-hentinya menggelontorkan gumpalan kabut yang membadai di seantero lembah Negeri Kelelawar. Meski demikian, negeri tropis itu tak sanggup membendung suasana gerah dan panas. Di berbagai sudut dan lorong lembah, muncul kerumunan rakyat kelelawar dengan tatapan mata beringas dan kalap. Seperti dikomando, secara bergelombang, mereka berkerumun, lantas membangun iring-iringan seperti gerombolan masyarakat purba yang hendak melakukan ritus pengorbanan di atas altar para dewa. Mulut mereka tak henti-hentinya meneriakkan yel-yel yang gegap-gempita.
“Gantung koruptor! Gantung koruptor!” teriak mereka berulang-ulang. Garang dan bersemangat. Suara yel-yel yang gegap-gempita itu seperti menggetarkan pintu langit sehingga menggeliatkan para kelelawar yang bergelantungan di pinggang dan punggung goa. Karuan saja, para kelelawar yang terkantuk-kantuk dan terlelap dalam mimpi panjang serentak membuka kelopak mata, lantas terbang melintasi bubungan atap rumah-rumah penduduk. Tergesa-gesa. Dalam sorotan lampu merkuri yang temaram, sesekali moncong kelelawar terantuk bangunan beton yang angkuh dan tinggi menjulang. Tergeragap, mengendap-endap, lantas kembali menggeliat; terbang melintasi temaram lampu merkuri.
Ya, ya, ya, sebulan belakangan ini, rakyat negeri kelelawar memang tengah membangun sebuah gerakan penyadaran secara kolektif untuk mewaspadai korupsi sebagai bahaya laten yang mesti diberantas. Korupsi, menurut para aktivis gerakan antikorupsi, dianggap sebagai biang kerok yang telah membikin negeri seribu lembah itu tersungkur dalam kubangan kemiskinan yang berlarut-larut. Sudah lebih enam dasawarsa hidup di alam merdeka, tetapi mulut rakyat baru sanggup berteriak setengah merdeka dari penjajahan neo-kolonialisme yang dalam praktiknya mewujud dalam gerakan materialisme, konsumtivisme, hedonisme, atau liberalisme. Praktik ekonomi yang korup dan penuh limbah manipulasi, membuat anggaran negeri Kelelawar terpasung dalam kebijakan-kebijakan semu yang hanya menguntungkan beberapa gelintir orang yang masuk dalam jaringan dan lingkaran kekuasaan. Selebihnya, rakyat mesti menjadi tumbal kebijakan yang tak pernah berpihak kepada rakyat yang bertahun-tahun lamanya terlilit hutang dan kemiskinan yang mencekik leher. Ironisnya, kaum elite negeri kelelawar justru makin tenggelam dalam kepongahan dan kian rakus dalam menguasai aset-aset ekonomi yang seharusnya dikelola dan dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat.
Kaum kelas menengah negeri Kelelawar seperti baru saja bangkit dari alam sonya ruri. Mereka baru sadar kalau selama ini kekayaan negeri mereka telah dijarah habis-habisan oleh para koruptor yang rakus dan serakah, tetapi berpenampilan santun dan rendah hati. Para koruptor, agaknya menguasai betul taktik psikologi massa, sehingga demikian gampang mengambil hati dan bermain simulasi di tengah panggung kehidupan yang nyata-nyata dialami oleh para kawula negeri yang miskin. Yang lebih merepotkan, para koruptor memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam setiap lini dan jaringan birokrasi, sehingga (nyaris) tak ada program dan kebijakan yang luput dari aroma korupsi. Dalam kondisi seperti itu, rakyat yang sudah jatuh dalam lubang kemiskinan terus ditimbuni dengan beban hutang luar negeri yang pada kenyataannya hanya digunakan untuk memperkaya pundi-pundi para penguasa dan jaringannya. Kondisi semacam itulah yang memicu gerakan rakyat negeri kelelawar untuk melakukan aksi perlawanan terhadap korupsi secara masif dalam setiap ruang dan waktu.
Meski demikian, untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap perilaku korupsi ternyata bukan perkara gampang. Rakyat juga mesti berhadapan dengan aparat penegak hukum yang nyata-nyata menunjukkan keberpihakan kepada para pengemplang harta negara itu. Hampir tak ada vonis mematikan bagi para koruptor sehingga gagal memberikan efek jera. Berbagai media demikian gencar mewartakan tentang aksi para koruptor dengan berbagai modus operandi-nya, tetapi para pendosa itu tak pernah bisa diadili di pengadilan. Dengan berbagai dalih dan argumen, mereka selalu bisa lolos dari jerat hukum. Kondisi itu diperparah dengan maraknya mafia hukum dan peradilan yang demikian gampang mempermainkan aparat penegak hukum dalam mengawal dan menegakkan supremasi hukum.
***
Di tengah maraknya aksi demo yang masif melakukan perlawanan terhadap para koruptor, para pejabat dan elite negara justru tidak menunjukkan empati terhadap nasib rakyat yang makin miskin dan hidup terlunta-lunta. Entah anggaran negara dari mana, beberapa pejabat teras justru pamer kekayaan dengan memasang gigi berlapis berlian. Konon, pemasangan gigi berlian itu konon dilakukan untuk menunjang tugas-tugas kenegaraan di negeri kelelawar yang harus banyak berurusan dengan pelayanan publik. Padahal, untuk memasang satu gigi berlian saja mesti mengeluarkan duwit hampir setengah milyar.
“Sungguh tidak etis kalau melakukan pelayanan publik, tapi kita tampil loyo dan tak berdaya dengan tampilan gigi yang kurang meyakinkan,” kata sekretaris negara seperti tanpa beban. “Dengan tampilan gigi yang oke, para pejabat publik bisa tampil percaya diri setiap saat meski tanpa harus sikat gigi terlebih dahulu, hahaha …” lanjutnya di tengah kerumunan wartawan sambil tersenyum menyeringai memperlihatkan beberapa deretan gigi berliannya yang bercahaya. Meski banyak menuai kritik, pemasangan gigi berlian itu berlanjut terus. Bahkan, para pejabat elite di berbagai daerah melakukan tindakan yang sama dengan memasang gigi berlapis emas.
Perilaku korupsi di negeri kelelawar memang benar-benar sudah berada di titik nazir peradaban. Berbagai upaya terus dilakukan oleh para aktivis untuk membuat negeri itu sehat dan bersih dari limbah korupsi. Namun, meski belum bisa dikatakan sia-sia, aksi mereka agaknya masih butuh waktu dan proses yang amat panjang. Entah, sampai kapan? *** (Bersambung)
sumber: Catatan Sawali Tuhusetya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com