Oleh: Hanna Fransisca*
Beberapa waktu belakangan ini, saya seringkali dihinggapi penyakit mudah naik darah. Kesabaran saya bisa tiba-tiba terbang oleh emosi yang meledak, –tanpa bisa ditahan. Ada banyak hal kecil yang sesungguhnya tak patut dijadikan alasan untuk marah, akan tetapi entah kenapa, emosi selalu kembali datang secara tiba-tiba.
Malam itu sopir kantor terlambat datang, padahal jadwal rapat sudah ditentukan. Terlalu lama menunggu, maka emosi pun menyelinap tanpa bisa ditahan. Akhirnya saya putuskan untuk meloncatkan diri di atas motor tukang ojek, dengan pertimbangan praktis: untuk menghindari jebakan macet, dibanding dengan memilih taksi.
Tapi hasilnya tentu saja sudah bisa ditebak: debu-debu jalanan membuat saya semakin kesal. Belum lagi tingkah tukang ojek yang ternyata sangat liar, melebihi perhitungan kepraktisan ketika saya memutuskan memilih ojek. Ia bertingkah bak seorang pembalap. Menyalip sana, menyelip sini, memotong jalur, memainkan gas dengan seenak hati, hingga katup jantung saya rasanya ingin meledak. Ingin rasanya saya berteriak, meloncat turun dan memarahinya: “Kamu cari mati ya? Mau membunuhku ya? Dasar bodoh!”
Niat buruk belum terlaksana, hujan tiba-tiba datang. Sungguh hujan yang sangat tidak tepat waktu. Meski pada saat-saat normal saya teramat menyukai hujan, tapi malam itu saya benar-benar tidak membutuhkan hujan. Sungguh-sungguh hujan yang menjengkelkan. Saya tentu tidak ingin basah kuyup di tempat rapat. Alangkah malu dan terhinanya jika sampai hal itu terjadi. Maka saya memutuskan menyuruh tukang ojek untuk segera mencari tempat berteduh. Apa hendak dikata, maksud hati ingin cepat, tapi justru semakin terlambat. Saya harus segera mencari pengganti ojek dengan taksi. Tapi di mana pula saya bisa mendapatkan taksi? Di tengah hujan deras begini…. Dalam hati, saya mulai menyesali keputusan yang dipilih beberapa saat lalu. Andai saya lebih sabar menunggu supir kantor, tentu saat ini saya tengah duduk nyaman di dalam mobil. Sekeras apa pun hujan datang, tentu saya tidak akan mengalami kepanikan yang tidak penting.
Kami segera merapat ke halte bus untuk berteduh. Jelas tak ada taksi menunggu di halte bus. Dan jelas, di tengah hujan deras diperlukan kerja keras untuk menghentikan taksi yang tengah lewat. Sementara waktu semakin merambat. Sementara orang-orang padat berkerumun di halte bus, berdesakan menghindari deras air yang mengguyur.
Orang-orang berlarian sambil melindungi rambut mereka dengan tas di kepala mencari tempat berteduh. Suara-suara knalpot motor, klasok mobil, teriakan kernet bus, membuat kepala saya pening. Untunglah saya bisa memperoleh tempat duduk di bangku besi yang dingin. Saat itulah mata saya terpana oleh seorang lelaki tua yang sedang menyeret-nyeret pantatnya.
Tangan kanan lelaki tua itu dijadikan tumpuan kekuatan. Ia begitu sabar menggeser tubuhnya sedikit demi sedikit. Saya melihat ia meraba-raba trotoar. Bisa dibayangkan betapa pedih telapak tangan itu saat menyentuh pasir-pasir dan kerikil kecil. Bisa dibayangkan betapa nyeri paha, pantat, dan kaki yang diseret di tanah, atau di bekas-bekas retakan beton, atau di pinggir tonjolan batu-batu yang menempel pada aspal. Ia mulai meraba-raba lagi. Saya tidak bisa melihat dengan seksama apa yang ingin ia raba kini, sebab dirinya mulai tertutup timbunan manusia lain yang sibuk mencari tempat berteduh.
Sejenak lupa dengan ojek dan taksi, tiba-tiba timbul rasa iba di hati. Tapi entah bagaimana setan bekerja, rasa iba yang telah muncul dengan keras kemudian ditepis. Saya kembali tidak peduli. Secara refleks mata kemudian berpaling, dan tidak memperhatikan lelaki itu lagi.
Untuk menghibur diri, karena toh pada akhirnya memang harus pasrah menerima keadaan, maka saya mengeluarkan ponsel. Mengakses jaringan internet dan menulis status FB, “SEDANG BERTEDUH DI HALTE BUS”. Rasa kesal, dan juga sekaligus kegeraman pada keterlambatan yang mungkin tak akan termaafkan, telah memunculkan penyakit eksistensi yang berbau narsis. Entah gejala apa, sejak popularitas dunia maya diwakili oleh dinding facebook, hampir setiap orang selalu membayangkan dirinya penting untuk diketahui. Hampir setiap orang selalu membayangkan, bahwa setiap kejadian yang menimpa diri sendiri (bahkan hingga pada taraf yang sangat pribadi), juga penting diketahui oleh orang lain. Barangkali sejenis penyakit “ingin terkenal”, atau “ingin disanjung”, yang tak terlampiaskan dalam pergaulan sehari-hari, dan kemudian terwakili oleh dinding facebook yang sanggup mengabarkannya pada dunia yang lebih luas.
Pada kenyataannya, facebook memang bisa menjadi wakil dalam menumpahkan kejengkelan pribadi, terutama pada saat-saat semacam ini. Tentu, dengan harapan mendapat respon saat menulis status berita semacam ini (yang sesungguhnya tidak terlalu penting untuk orang lain), saya menunggu respon. Banyak yang memberi jempol, sedikit yang memberi tanggapan serius. Tak peduli apakah jempol itu doa berkah atau sebaliknya mensyukuri diri saya yang sedang kehujanan, saya tetap merasa bangga bak seorang seleb. Mata seolah tidak ingin lepas dari layar facebook. Saya pun mulai menghitung berapa jempol yang diberikan teman-teman, dan siapa saja yang menghadirkan jempolnya.
Beberapa saat saya merasa sekeliling saya semakin sesak. Tersadar berada di tempat umum dan tidak aman berponsel ria, akhirnya saya memasukkan kembali benda kecil itu ke dalam tas. Memperhatikan tumpahan hujan yang kian menderas, melihat kembali kiri-kanan siapa tahu ada keberuntungan datang sebuah taksi. Dan entah kenapa, tiba-tiba muncul kembali rasa penasaran pada lelaki tua tadi. Mata saya jelalatan mencari sosok tubuhnya.
Astaga! Ia masih terlunta-lunta untuk bisa berteduh. Rambutnya yang kriting awut-awutan terlihat basah kuyup. Celana panjangnya, bajunya, seluruhnya kuyup. Saat itulah saya bisa melihat lebih jelas, ternyata: kakinya kecil sebelah. Ia mengibas-ngibaskan kedua telapak tangannya untuk membersihkan pasir-pasir yang menempel. Ia meraba-raba tongkat kayunya. Sentuhan tangan itu seolah menyentuh batang hatiku. Ia duduk diam. Tongkat kayu kini di taruh di atas pahanya. Beberapa orang melempar uang logam padanya. Ia bergeming. Seorang wanita gemuk berbaju batik ketat seperti karung yang membungkus nangka, menarik dua bungkus kerupuk di kayu penyangka jualan. Wanita itu membayar pada lelaki tua. Saya terkejut saat lelaki itu memperlihatkan bola matanya yang putih keluar sebelah. Sebelah lagi terpejam. Tuhan! Di samping cacat kaki, dia juga buta.
Tak tahan menahan rasa iba, saya pun berdiri, menyibak kerumunan, dan memberikan selembar uang kertas di telapak tangannya. Di luar dugaan, ia membuat harga diri saya luruh terjatuh.
“Saya bukan peminta-minta,” katanya. Ia mengulurkan kembali uang kertas itu, dan meminta maaf. Ada kemarahan dalam suaranya yang bergetar, “Kalau mau membeli kerupuk saya, silahkan.”
Sekali lagi, belakangan ini saya sedang diserang penyakit mudah marah. Dan perlu diketahui, bahwa marah adalah penyakit menular tercepat di dunia. Dengan serta merta saya mengambil kembali uang kertas dari tangannya. Bisa dibayangkan betapa wajah saya memerah saat itu, lebih-lebih saat diketahui beberapa pasang mata memandang lurus tepat ke arah saya. Baru saja bibir saya terbuka ingin menyahut dengan rasa tersinggung, ibu berpakaian batik tadi mendekat.
“Dia setiap hari berjualan kerupuk di situ, Neng” bibirnya meruncing ke arah trotoar di samping kali besar yang airnya hitam, “Dia tidak mau menerima uang cuma-cuma.” Dalam hati saya ingin menyahut, “ah! dasar sombong!”
“Di jaman sekarang mana ada manusia seperti itu, Neng. Seribu satu,” si ibu berpakaian batik kembali berkata.
Tiba-tiba saya merasa malu sebagai manusia yang dibekali akal sehat dan tubuh tanpa cacat. Sebenarnya ingin saya membeli kerupuk dari lelaki tua itu, sebagai empati saya yang datang tiba-tiba. Tapi niat saya urungkan mengingat kesombongan diri saya sesaat lalu. Hujan mereda. Saya pun meninggalkan tempat itu begitu saja. Bergegas ke tepi jalan, diikuti tukang ojek yang terus bertanya: “Ayo naik lagi, Bu.”
“Saya mau cari taksi!”
***
Tiba di rumah, seusai rapat yang gagal, saya membersihkan tubuh. Menyantap makan malam, dan dihantui pikiran macam-macam. Wajah lelaki tua itu, ucapan ibu yang berpakaian batik, berkelebatan dalam ingatan saya. Lalu hal yang paling aneh, Si Mbok yang membantu saya di rumah, malam itu menyajikan kerupuk. Kerupuk yang sama seperti yang dijual oleh lelaki tua buta yang tidak sengaja kutemui beberapa saat lalu. Selera makan saya tiba-tiba sirna. Kerupuk itu berbayang di mata. Saya teringat bagaimana lelaki tua itu berusaha keras mencari tempat berteduh. Ia yang menyeret-nyeret pantat dan pahanya, tanpa peduli nyerinya kulit yang tergelupas demi perjuangan hidup. Ia yang saban hari tersiram debu, kadang kehujanan. Ia yang mungkin juga dimaki-maki orang, “dasar buta!” Astaga. Saya merasa, sayalah yang sesungguhnya buta. Sepanjang malam, saya dirundung gelisah.
Esok harinya, saya sengaja melewati jalan itu agar bisa bertemu dengan lelaki buta bersama kerupuk dagangannya. Saya ingin memborong seluruh kerupuknya, sebagai tanda sesal dan permintaan maaf. Tapi lelaki tua itu tak ada di sana. Lusanya pun begitu. Bahkan lusanya lagi dan lagi. Lelaki tua itu seperti lenyap ditelan bumi. Jejaknya tidak pernah saya temukan lagi. Ia seolah sirna bersama satu peluang yang telah Tuhan berikan kepada saya. Kesempatan ternyata tidak datang dua kali, bahkan untuk melakukan hal baik sekali pun. Barangkali Tuhan sengaja mengirimkan sebuah pelajaran paling berharga pada malam itu, dan pelajaran itu hanya datang pada satu malam saja. Dan saya dengan tega telah melewatkannya.
Setiap teringat itu, saya selalu merenung. Dan setiap kali saya membuka dinding facebook, serta menemukan jempol-jempol yang bermunculan di sana, saya selalu bertanya: untuk apakah sesungguhnya makna jempol-jempol itu. Bukankah sesungguhnya, lelaki tua buta itulah yang paling berhak mendapatkan jempol atas kualitas dirinya. Tapi bagaimanakah saya harus memberikan jempol itu padanya, sedangkan ia tak pernah lagi saya temukan.[hf]
Jakarta, September 2010.
*Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia), lahir 30 Mei 1979, di Singkawang, Kalimantan Barat. Jatuh cinta dengan bacaan sastra dan aktif menulis di dunia maya. Tulisan-tulisan motivasinya bisa dijumpai di andaluarbiasa.com. Menulis puisi dan prosa. Puisi dan cerpennya dimuat di Kompas, Koran Tempo, Suara Merdeka, Malang Pos, dan sejumlah majalah sosial. Kumpulan puisinya terbit pada April 2010 dengan judul Konde Penyair Han (Penerbit KATAKITA). Cerpen-cerpennya diterbitkan dalam antologi Kolecer & Hari Raya Hantu (Juni 2010). Selain aktif di organisasi sosial dan profesi Lions Club Jakarta Kalbar Prima, ia adalah seorang pengusaha yang mengelola bisnis di bidang otomotif. Hingga kini, ia menetap di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com