A. Pendahuluan
Dalam Syi’ah, kitab hadis pertama adalah kitab Ali Ibn Abi Thalib yang didalamnya memuat-hadis-hadis yang di-imla’-kan langsung dari Rasulullah SAW tentang halal, haram dan sebagainya. Kemudian dibukukan oleh Abu Rafi’ al-Qubthi al-Syi’i dalam kitab al-Sunan, al-Ahkam dan al-Qadaya. Ulama sesudahnya akhirnya membukukannya ke berbagai macam kitab,[1] salah satunya adalah al-Kafi fi ‘Ilmi al-Din yang dikalangan Syi’ah merupakan pegangan utama diantara kitab-kitab yang lain.[2]
Pembahasan tentang kitab al-Kafi karya al-Kulaini secara keseluruhan telah banyak dilakukan. Baik melalui komparasi dengan kitab pokok aliran Sunni, tentang kriteria kesahihan hadis,[3] maupun secara khusus kajian tentang al-Ushul al-Kafi. Namun sejauh telaah yang penulis lakukan kajian tentang al-Furu’ al-Kafi, hampir belum ada. Karena itu kajian secara kritis atas kitab tersebut menjadi sangat urgen untuk dilakukan. Selanjutnya, penulis akan berupaya memaparkan sekaligus menganalisa terhadap informasi yang ada. Khususnya pada setting pribadi al-Kulaini dan umumnya pada al-Furu’ al-Kafi (sistematika, metode dan isi).
B. Setting Biografi al-Kulaini
Pengarang dari kitab al-Kafi adalah Siqat al-Islam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ya’qub Ibn Ishaq al-Kulaini al-Raziy.[4] Beliau dilahirkan sekitar tahun 254 H dan atau 260 H di kampung yang bernama al-Kulain atau al-Kulin di Ray Iran. Tidak banyak diketahui mengenai kapan tepatnya al-Kulaini lahir. Informasi lain hanya mengenai tempat tinggal al-Kulaini selain di Iran yaitu pernah mendiami Baghdad dan Kufah. Ia pindah ke Baghdad karena menjadi ketua ulama atau pengikut Syi’ah Imam dua belas disana, selama pemerintahan al-Muqtadir. Beliau hidup di zaman sufara’ al-arba’ah (empat wakil Imam al Mahdi). Selain itu tahun wafatnya adalah 328 H / 329 H (939/940). Beliau dikebumikan di pintu masuk Kufah.[5]
Ayah al-Kulaini bernama Ya’qub Ibn Ishaq atau al-Salsali, seorang tokoh Syi’ah terkemuka di Iran. Di kota inilah ia mulai mengenyam pendidikan. Al-Kulaini punya pribadi yang unggul dan banyak dipuji ulama, bahkan ulama mazhab Sunni dan Syi’ah sepakat akan kebesaran dan kemuliaan al-Kulaini.[6]
Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa sosok al-Kulaini merupakan sosok fenomenal dimana dia adalah seorang faqih sekaligus muhaddis yang cemerlang di zamannya. Seorang yang paling serius, aktif, dan ikhlas dalam menda’wahkan Islam dan menyebarkan berbagai dimensi kebudayaan dan dijuluki siqat al-Islam.[7]
Al-Kulaini menyusun kitab al-Kafi selama dua puluh tahun dengan melakukan perjalanan ilmiah untuk mendapatkan hadis-hadis dari berbagai daerah, seperti Irak, Damaskus, Ba’albak, dan Talfis. Namun bukan hanya hadis yang ia cari tetapi juga berbagai sumber dan kodifikasi hadis dari para ulama sebelumnya. Dari sini nampak adanya usaha yang serius dan besar-besaran.[8]
Imam al-Kulaini –merupakan seseorang yang ahli hadis mempunyai banyak guru dari kalangan ahl al-bait dalam proses transmisi hadis, diantara nama gurunya adalah Abdullah Ibnu Umayyah, Ishaq Ibnu Ya’qub dan lain-lain. Ada beberapa kitab yang telah ditulis oleh al-Kulaini disamping al-Kufi diantaranya adalah: Kitab tafsir al-Ru’ya, kitab al-Rijal, kitab al-Rad ala al-Qaramitah, kitab Rasa’il dan lain-lain.
Banyak ulama yang mengungkap kebesaran dari al-Kulaini ini diantaranya adalah, Ayatullah Ja’far Subhani melukiskan dengan matahari dan lainnya sebagai bintang-bintang yang menghiasi langit. Kaum Syi’ah bersepakat bahwasanya kitab ini merupakan kitab utama dan diperbolehkan berhujjah dengan dalil-dalil yang ada didalamnya.[9]
C. Sistematika, Metode dan Isi Kitab al-Furu’ al-Kafi al-Kulaini
Al-Kafi merupakan kitab hadis yang menyuguhkan berbagai persoalan pokok agama (ushul), cabang-cabang (furu’) dan taman (rawdhah). Al-Kurki dalam ijazah-nya al-Qadhi Shafi al-Din ‘Isa, mengatakan, al-Kulaini telah menghimpun hadis-hadis syar’iyyah dan berbagai rahasia rabbani yang tidak akan didapati di luar kitab al-Kafi. Kitab ini menjadi pegangan utama dalam mazhab Syi’ah dalam mencari hujjah keagamaan. Bahkan di antara mereka ada yang mencukupkan atas kitab tersebut dengan tanpa melakukan ijtihad sebagaimana terjadi dikalangan ahbariyyun.[10]
Kitab ini disusun dalam jangka waktu yang cukup panjang, selama 20 tahun yang tidak ada bandingannya.[11] Al-Kulaini meriwayatkan hadis yang sangat banyak jumlahnya dari berbagai ulama ahl al-bait. Hadis-hadis yang termuat dalam al-Kafi berjumlah 16.199 buah hadis, yang mencapai tingkat sahih, berjumlah 5.702 buah hadis, tingkat hasan 144 buah hadis, tingkat muwassaq 1.128 buah hadis, tingkat qawiy[12] 302 buah hadis, dan tingkat dha’if 9.485 buah hadis.[13]
Al-Kafi terdiri atas 8 jilid yang terbagi menjadi tiga puluh lima (35) kitab dan 2355 bab, 2 jilid pertama berisi tentang al-Ushul (pokok) jilid pertama memuat 1.437 hadis dan jilid kedua memuat 2.346 hadis, yang berkaitan dengan masalah akidah. 5 jilid selanjutnya berbicara tentang al-Furu’ (fikih) dan 1 jilid terakhir memuat 597 hadis yang disebut al-Rawdhah (taman) adalah kumpulan hadis yang menguraikan berbagai segi dan minat keagamaan serta termasuk beberapa surat dan khutbah para imam.[14] Juz ini berisi tentang pernyataan tentang ahl al-bait, ajaran para imam, adab orang-orang saleh, mutiara hukum dan ilmu, yang tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Dinamakan al-rawdhah (taman) karena berisi hal-hal yang bernilai dan berharga, yang identik dengan taman yang menjadi tempat tumbuh bermacam-macam buah dan bungah.[15]
Adapun tema-tema dalam al-Furu’ al-Kafi yang dimulai dalam jilid III terdiri dari 5 kitab yaitu;[16]
Kitab al-Taharah, yang terdiri dari 46 bab dan 340 hadis.
Kitab al-Haid, yang terdiri dari 24 bab dan 93 hadis.
Kitab al-Jana’iz, berisi tentang pemakaman dan hal-hal lain yang terkait dengan upacara penguburan. Terdiri dari 95 bab dan 545 hadis.
Kitab al-Salah, terdiri dari 103 bab dan 924 buah hadis.
Kitab al-Zakah, terdiri dari 47 bab dan 277 hadis.
Jilid IV terdiri dari 2 kitab yaitu;
Kitab al-Siyam, memuat bab-bab shadaqah yang terdiri dari 43 bab dan 252 buah hadis. Sedangkan tentang puasa terdiri dari 83 bab dan 452 hadis.
Kitab al-Hajj dan bab-bab ziarah, terdiri dari 236 bab dan 1486 buah hadis.
Jilid V terdiri dari 3 kitab yaitu;
Kitab al-Jihad, terdiri dari 32 bab dan 149 buah hadis.
Kitab al-Ma’isyah (cara-cara memperoleh kehidupan), terdiri dari 159 bab dan 1061 hadis.
Kitab al-Nikah, terdiri dari 192 bab dan 990 buah hadis.
Jilid VI terdiri dari 9 kitab yaitu;
Kitab al-’aqiqah, terdiri dari 38 bab dan 223 hadis.
Kitab al-Talaq, terdiri dari 82 bab dan 499 buah hadis.
kitab al-’Itq wa al-Tadbir wa al-Kitabah (jenis-jenis budak dan cara memerdekakannya), terdiri dari 19 bab dan 114 hadis.
Kitab al-Sayd (perburuan), terdiri dari 17 bab dan 119 hadis.
Kitab al-Zaba’ih (penyembelihan), terdiri dari 15 bab dan 74 hadis.
Kitab al-At’imah (makanan), terdiri dari 134 bab dan 709 buah hadis.
Kitab al-Asyribah (minuman), terdiri dari 37 bab dan 268 hadis.
Kitab al-Zayy wa al-Tajammul wa al-Muru’ah (pakaian, perhiasan dan kesopanan), terdiri dari 69 bab dan 553 hadis.
Kitab al-Dawajin (hewan piaraan), terdiri dari 13 bab dan 106 hadis.
Jilid VII terdiri dari 7 kitab, yaitu;
Kitab al-Wasaya (wasiat), terdiri dari 39 bab dan 240 hadis.
Kitab al-Mawaris berisi 69 bab dan 309 hadis.
Kitab al-Hudud berisi 63 bab dan 448 hadis.
Kitab al-Diyat (hukum qisas dan rincian cara penebusan jika seseorang melukai secara fisik), terdiri dari 56 bab dan 366 hadis.
Kitab al-Syahadah (kesaksian dalam kasus hukum), terdiri dari 23 bab dan 123 hadis.
Kitab al-Qada wa al-Ahkam (peraturan tentang tingkah laku para hakim dan syarat-syaratnya), terdiri dari 19 bab dan 78 hadis.
Kitab al-Aiman wa al-Nuzur wa al-Kafarat (tentang sumpah, janji dan cara penebusan kesalahan ketika pihak kedua batal), terdiri dari 18 bab dan 144 hadis.
Jadi isi keseluruhan al-Furu’ al-Kafi berjumlah 10.474 hadis, dengan perincian jilid III berisi 2049 hadis, jilid IV berisi 2424 hadis, jilid V berisi 2200 hadis, jilid VI berisi 2727 hadis, dan jilid VII berisi 1074 hadis. Sistematika pembagian kitab dan bab yang dipakai al-Kulaini sangat sistematis sehingga memudahkan bagi kaum muslimin khususnya kaum Syi’ah untuk menggunakannya sebagai referensi yang utama dalam kehidupan mereka.
D. Al-Kafi Cukup ! Walaupun banyak yang tidak shahih
Kitab al-Kafi menjawab kebutuhan para ahli hadis, fiqih, teologi, juru dakwah, tukang debat (mujadil) dan para pelajar.[18] Oleh karena itu, maka kitab ini mencakup pokok-pokok agama ushul, furu’, akhlak, nasehat, etika dan ajaran Islam yang lain.
Al-Kafi adalah suatu kitab koleksi hadis yang berasal dari Nabi dan para Imam yang diteruskan kepada masyarakat muslim oleh murid-murid dari para Imam. Nama Al-Kafi mempunyai arti “cukup”, ini adalah sebuah kitab yang mencakup hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para Imam Syi’i. Al-Kulaini dalam muqaddimah kitabnya menjelaskan:
“… Kamu ingin mempunyai suatu buku yang akan memenuhi kebutuhan religius-mu (kafin), yang meliputi bermacam-macam pengetahuan tentang agama, yang berguna untuk memberikan arahan bagi siswa maupun guru. Yang dapat digunakan bagi siapa saja yang ingin mendapatkan pengetahuan agama dan amaliyyah dan hukum-hukum menurut nampak hadis (asar) dari orang yang dapat dipercaya (Imam)…”[19]
Dengan melihat sejarah penyusunan kitab ini yang mencapai 20 tahun dan didukung oleh kondisi sosial politik saat itu yang merupakan masa yang kondusif bagi Syi’ah. Menurut penulis adalah sangat wajar jika penyusunan al-Kafi mencapai 16.199 hadis, di tambah lagi dengan fenomena bahwa para imam berhak meriwayatkan hadis setelah Nabi wafat.
E. Analisa atas Metode Penulisan al-Furu’ al-Kafi
Ada beberapa hal yang menjadi karakteristik dalam kitab ini, di antaranya: adalah sebagai berikut;
Adanya peringkasan sanad. Istilah sanad menurut para ahli hadis Syi’ah adalah para rawi yang menukil hadis secara berangkai dari awal sumber, baik dari Nabi Saw., para imam, para sahabat maupun dari yang lainnya yang diperlihatkan kepada Imam, sampai kepada rawi yang terakhir.[20] Sanad-sanad yang ada dalam kitab ini kadang ditulis secara lengkap, tetapi terkadang al-Kulaini membuang sebagian sanad dengan menggunakan kata ashhabuna, fulan, ‘iddah, jama’ah dan seterusnya. Hal ini dimaksudkan bagi periwayat-periwayat yang sudah terkenal.[21]
Jika al-Kulaini menyebutkan sahabat kami dari Ahmad Ibn Muhammad Ibn al-Barqi, maka yang dimaksud adalah Ali Ibn Ibrahim, Ali Ibn Muhammad Abdullah Ahmad Ibn Abdullah dari ayahnya dan Ali Ibn al-Husain al-Sa’dabadi. Sedangkan sebutan dari Sahl Ibn Ziyad adalah Muhammad Ibn Hasan dan Muhammad Ibn ‘Aqil, dan lain-lain. Mereka adalah para periwayat yang dianggap baik oleh al-Kulaini dan telah ditulis lengkap pada hadis sebelumnya.
Misalnya dalam kitab al-Furu’ jilid keenam bab kesembilan mengenai memerdekakan budak, al-Kulaini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “iddatun min ashabina” ialah ‘Ali Ibn Ibrahim, Muhammad Ibn Ja’far, Muhammad Ibn Yahya, ‘Ali Ibn Muhammad Ibn ‘Abdullah al-Qummi, Ahmad Ibn Abdillah, ‘Ali Ibn Husain, yang semuanya dari Ahmad Ibn Muhammad Ibn Khalid dari Usman Ibn Isa.
Peringkasan sanad ini dilandasi atas keinginan al-Kulaini untuk tidak memperpanjang tulisan, dan dilakukan hanya pada para periwayat yang dianggap baik dan dipercaya oleh beliau. Oleh karena itu, jika sanad telah ditulis lengkap pada hadis sebelumnya, maka selanjutnya al-Kulaini tidak menulisnya secara lengkap.
Adanya para rawi yang bermacam-macam sampai Imam mereka dan periwayat lain. Jika dibandingkan dengan hadis-hadis lain diluar Syi’ah berbeda derajat penilaiannya. Dengan demikian, mereka masih mengakui periwayat hadis dari kalangan lain dan menganggapnya masih dalam tataran kuat.
F. Kriteria Kesahihan Hadis al-Kulaini
Al-Kulaini dalam menentukan kriteria kesahihan hadis yang terdapat dalam al-Kafi, menggunakan kriteria kesahihan hadis yang lazim dipakai oleh para ulama mutaqaddimin, hal ini dikarenakan masa hidup al-Kulaini termasuk dalam generasi ulama mutaqaddimin. Sedangkan yang masyhur, ada dua pembagian hadis, pada masa ulama mutaqaddimin, pada masa kedua tokoh periwayat, Sayyid Ahmad Ibn Thawus dan Ibn Dawud al-Hulliy. Pembagian hadis ini berkisar pada hadis mu’tabar dan ghairu mu’tabar. Pembagian ini dipandang dari segi kualitas eksternal (keakuratan periwayat), seperti kemuktabaran hadis yang dihubungkan dengan Zurarah, Muhammad Ibn Muslim serta Fudhail Ibn Yasar. Maka hadis yang berkualitas demikian itu dapat dijadikan hujjah[23].
Sedangkan menurut jumhur Ja’fariyah hadis terbagi menjadi mutawatir dan ahad. Pengaruh akidah mereka tampak dalam maksud hadis mutawatir. Karena hadis mutawatir menurut mereka adalah harus dengan syarat hati orang yang mendengar tidak dicemari syubhat atau taklid yang mewajibkan menafikan hadis dan maksudnya.[24]
Pengaruh imamah di sini dapat diketahui ketika mereka menolak hujjah orang-orang yang berbeda dengan mereka yaitu mazhab yang menafikan ketetapan amir al-mukminin Ali sebagai imam. Mereka juga berpendapat tentang mutawatir-nya hadis al-saqalain dan hadis al-ghadir. [25]
Sedangkan hadis Ahad menurut mereka terbagi dalam empat tingkatan atau empat kategori, yang bertumpu pada telaah atas sanad (eksternal) dan matan (internal), dan keempat tingkatan tersebut merupakan pokok bagian yang menjadi rujukan setiap bagian yang lain. Empat tingkatan itu adalah; sahih, hasan, muwassaq, dan dha’if. Pembagian inilah yang kemudian berlaku sampai saat ini.[26] Namun ada sebagian ulama Syi’ah yang mengakui adanya kualitas qawiy dalam pembagian hadis tersebut, jadi tingkatan kualitas hadis menjadi lima (5), yaitu:
Hadis Sahih
Hadis sahih menurut mereka adalah, hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum serta adil dalam semua tingkatan dan jumlahnya berbilang. Dengan kata lain, hadis sahih menurut mereka adalah hadis yang memiliki standar periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan mereka yang ma’shum.[27]
Pengaruh Imamiyah di sini tampak pada pembatasan imam yang ma’shum dengan persyaratan periwayat harus dari kalangan Syi’ah Imamiyah. Jadi hadis tidak sampai pada tingkatan sahih jika para periwayatnya bukan dari Ja’fariyah Isna ‘Asyariyah dalam semua tingkatan.[28]
Kalangan Syi’ah Imamiyah menjelaskan sebab adanya persyaratan ini adalah tidak diterima riwayat orang fasiq, meskipun dari sisi agamanya dia dikatakan sebagai orang yang selalu menghindari kebohongan. Dengan tetap wajib meneliti riwayat dari orang fasik dan orang yang berbeda dari kaum Muslimin (maksudnya; selain Imamiyah). Jika dia dikafirkan maka dia tertolak riwayatnya meskipun diketahui dia orang adil dan mengharamkan kebohongan.
Menurut al-Mamqani, keadilan pasti sejalan dengan akidah dan iman, dan menjadi syarat bagi setiap periwayat. Sejalan dengan firman Allah, “jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.(Q.S al-Hujurat; 6).
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan, bahwa iman adalah syarat bagi periwayat dan riwayat orang fasik wajib diteliti, sedangkan selain pengikut Ja’fariyah adalah kafir atau fasik, maka riwayatnya tidak mungkin sahih sama sekali. Dari sini tidak hanya tampak pengaruh imamah, tapi juga tampak sikap ekstrim dan zindiq.
Hadis Hasan
Hadis hasan menurut Syi’ah adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dari periwayat adil, sifat keadilannya sesuai dalam semua atau sebagian tingkatan para rawi dalam sanadnya.[29]
Dari definisi tersebut tampak bahwa mereka mensyaratkan hadis hasan sebagai berikut;
Bertemu sanadnya kepada imam yang ma’shum tanpa terputus.
Semua periwayatnya dari kelompok Imamiyah.
Semua periwayatnya terpuji dengan pujian yang diterima dan diakui tanpa mengarah pada kecaman. Dapat dipastikan bahwa bila periwayatnya dikecam, maka dia tidak diterima dan tidak diakui riwayatnya.
Tidak ada keterangan tentang adilnya semua periwayat. Sebab jika semua periwayat adil maka hadisnya menjadi sahih sebagaimana syarat yang ditetapkan di atas.
Semua itu harus sesuai dalam semua atau sebagian rawi dalam sanadnya.
Hadis Muwassaq[30]
Hadis muwassaq yaitu hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dengan orang yang dinyatakan siqah oleh para pengikut Syi’ah imamiyah, namun dia rusak akidahnya, seperti dia termasuk salah satu firqah yang berbeda dengan imamiyah meskipun dia masih seorang Syi’ah dalam semua atau sebagian periwayat, sedangkan lainnya termasuk periwayat yang sahih.
Definisi ini memberikan pengertian tentang persyaratan sebagai berikut:
Bersambungnya sanad kepada imam yang ma’shum.
Para periwayatnya bukan dari kelompok Imamiyah, tapi mereka dinyatakan siqah oleh ja’fariyah secara khusus.
Sebagian periwayatnya sahih, dan tidak harus dari imamiyah.
Pengaruh akidah mereka tampak dalam hal-hal sebagai berikut:
Posisi hadis muwassaq diletakkan setelah hadis sahih dan hadis hasan karena adanya periwayat dari selain Ja’fariyah.
Pernyataan siqah harus dari kelompok Ja’fariyah sendiri. Karena bagi mereka pernyataan siqah dari selain Ja’fariyah tidak cukup, bahkan orang yang dinyatakan siqah oleh mereka (selain Ja’fariyah) adalah dha’if menurut mereka.
Al-Mamqani menjelaskan bahwa pengukuhan siqah harus dari para pengikutnya dengan mengatakan, menerima penilaian siqah selain imamiyah, jika dia dipilih imam untuk menerima atau menyampaikan persaksian dalam wasiat, wakaf talak, atau imam mendoakan rahmat dan ridha kepadanya, atau diberi kekuasaan untuk mengurusi wakaf atas suatu negeri, atau dijadikan wakil, pembantu tetap atau penulis, atau diizinkan berfatwa dan memutuskan hukum, atau termasuk syaikh ijazah[31], atau mendapat kemuliaan dengan melihat imam kedua belas.
Hadis Dha’if
Menurut pandangan Syi’ah, hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria di atas. Misalnya di dalam sanadnya terdapat orang yang cacat sebab fasik, atau orang yang tidak diketahui kondisinya, atau orang yang lebih rendah dari itu, seperti orang yang memalsukan hadis.[32]
Dalam hadis sahih terlihat bahwa mereka menilai selain Ja’fariyah sebagai orang kafir atau fasik, sehingga riwayatnya dinyatakan dha’if yang tidak boleh diterima, dan juga tidak diterima dari selain Ja’fariyah kecuali orang yang dinyatakan siqah oleh mereka.
Atas dasar itu mereka menolak hadis-hadis sahih dari tiga khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, dan Usman) dan sahabat yang lain, tabiin, serta para imam ahli hadis dan fuqaha, pasalnya mereka tidak percaya dengan akidah imamiyah isna ‘asyariyah. Sebab riwayat-riwayat sahih yang di dalam sanadnya terdapat para sahabat senior dan para imam yang amanah, tetapi tidak percaya dengan akidah dua belas imam, maka riwayat-riwayat tersebut dinyatakan dha’if oleh kaum Ja’fariyah.
Hukum Mengamalkan Hadis Dha’if
Adapun hadis-hadis yang dha’if bukan berarti tidak dapat diamalkan. Keberadaan hadis tersebut dapat disejajarkan dengan hadis sahih manakala hadis tersebut populer dan sesuai dengan ajaran mereka. Dengan demikian nampak bahwa terdapat pengaruh yang kuat atas tradisi-tradisi yang berkembang di kalangan pengarang kitab. Oleh karena itu, tidak heran banyak tradisi Syi’ah yang muncul dalam kitab hadis tersebut. Sebagai contoh adalah masalah Haji, di dalamnya tidak hanya dibahas masalah manasik haji ke Baitullah saja, melainkan memasukkan hal-hal lain seperti ziarah ke makam Nabi Muhammad dan para imam mereka.
Hadis Qawiy[33]
Menurut muhaqqiq dan muhaddis al-Nuri, yang dimaksud dengan tingkat kuat adalah karena sebagian atau semua tokoh sanadnya adalah orang-orang yang dipuji oleh kalangan Muslim non-Imami, dan tidak ada seorang pun yang melemahkan hadisnya. Hadis muwassaq (yang melahirkan kepercaraan), kadang disebut juga dengan qawiy (kuat) karena kuatnya zhan (dugaan akan kebenarannya), di samping karena kepercayaan kepadanya.[34]
Tingkatan hadis qawiy ini tidak banyak dikenal baik oleh kalangan Syi’ah selain Imamiyah maupun kalangan Sunni. Hal ini dikarenakan jumhur ulama telah sepakat akan pembagian tingkatan hadis Syi’ah menjadi empat macam. Di samping itu sebagian rawi dari tingkatan qawiy ini berasal dari non-Imami, sedangkan mereka membatasi untuk menerima hadis dari selain Imamiyah. Karena syarat utama diterimanya hadis adalah harus dari kalangan Imamiyah.
G. Kualitas Hadis dalam al-Furu’ al-Kafi
Sebagaimana diketahui bahwa kitab al-Furu’ al-Kafi mencakup riwayat-riwayat yang berkaitan dengan hukum fikih. Maka kitab ini sama dengan kitab Faqih Man La Yahdhuruh al-Faqih karya al-Shadiq dan dua kitab karya al-Thusi yaitu al-Tahzib dan al-Istibsar. Pengaruh imamah dalam al-Furu’ ini juga sangat kental, misalnya pada bab haji, al-Kulaini meriwayatkan dari Wahab, ia berkata, ada sebuah hadis yang menyatakan bahwa orang yang tidak bermazhab Ja’fariyah kemudian setelah haji dia mengikuti mazhab Ja’fariyah maka orang tersebut disunahkan mengulang hajinya. Bagi orang Ja’fariyah, tidak boleh menggantikan haji selain dari Ja’fariyah kecuali terhadap bapaknya. Sedang dalam berziarah maka disunahkan dengan sunnah muakkad untuk berziarah ke makam para imam.
Contoh-contoh lain dalam al-Furu’ terdapat pada bab wudhu dan mawaris[35]
· ان العبد اذا توضأ فغسل وجهه تناثرت ذنوب وجهه واذا غسل يديه الى المرفقين تناثرت عنه ذنوب يديه واذا مسح رجليه او غسلهما للتقية تناثرت عنه ذنوب رجليه وان قال في اول وضوئه بسم الله الحمن الرحيم طهرت اعضاؤه كلها من الذنوب وان قال في اخر وضوئه او غسله من الجناية سبحانك اللهم وبحمدك اشهد ا لا اله الاانت استغفرك واتوب اليك واشهد ان محمدا عبدك ورسولك واشهد ان عليا وليك وخليفتك بعد نبيك وان اوليائه خلفائه واوصيائه…..
· عدة من اصحابنا, عن أحمد بن محمد عن ابن محبوب قال: أخبرني ابن بكير عن زرارة قال: سمعت أبا عبد الله عليه السلام يقول: ولكل جعلنا موالي ممّا ترك الوالدين والاقربون, قال : إنّما عنّي بذلك أولى الأرحام في الموارث ولم يعن أولياء النعمة, فأولاهم بالميّت أقربهم إليه من الرحم التي تجرّه إليها
· علي بن ابراهيم عن ابيه ومحمد بن اسماعيل عن الفضل بن شاذان جميعا عن ابن ابي عمير عن عمر بن اذنيه عن محمد بن مسلم والفضيل بن يسار وبريد العجلي وزرارة ابن اعين عن ابي جعفر عليه السلام قال: السلام لا تعول ولاتكون اكثر من ستة.
· وعنه عن محمد بن عيسى بن عبيد عن يونس بن عبد الرحمن عن عمر بن اذنيه مثل ذلك
Dalam riwayat tentang wudhu di atas, tampak sekali adanya pemalsuan, yaitu dalam redaksi “atau membasuh kedua kaki karena taqiyah“, dan dalam redaksi “bahwa orang-orang yang dicintainya (Ali) adalah para khalifahnya dan orang-orang yang diwasiatkannya”. Maka hubungan pendapat mereka dalam masalah fiqih dengan mazhab adalah yang menjadikan mereka memalsukan hadis untuk menolong dua orang (al-Thusi dan al-’Amili).
Al-Thusi dan al-’Amili adalah dua orang yang mengatakan bahwa membasuh dua kaki diterapkan pada taqiyyah. Jadi fanatik Syi’ah kepada pendapat sesuai mazhabnya dan kerancauan dalam pemikiran dan ta’wil telah memunculkan dampak yang sangat buruk, yaitu pemalsuan hadis.
Sedangkan pada riwayat tentang mawaris tampak adanya peringkasan sanad. Adapun mengenai kualitas hadis tentang mawaris ini, secara eksplisit, tidak diketahui karena informasi yang di dapat dalam al-Furu’ sangat terbatas, tanpa keterangan kualitas hadisnya. Dan telah diketahui bahwa dalam kitab al-Kafi ini tidaklah semuanya sahih.
Namun setelah penulis menemukan adanya pembahasan tentang al-Jarh wa al-Ta’dil dan Ushul al-Hadis fi ‘Ilmi al-Dirayah dalam tradisi Syi’ah, adanya peringkasan sanad tidaklah mempengaruhi kualitas hadis. Jadi hadis-hadis tentang mawaris tersebut masih bisa dipakai dan dapat dijadikan hujah.
Fenomena ini bisa dijadikan bukti, bahwa hadis-hadis dalam al-Kafi al-Kulaini, khususnya al-Furu’ memang memuat beragam kualitas, dari sahih, hasan, muwassaq, qawiy, bahkan dha’if.
H. Kesimpulan
Setelah melakukan penelusuran terhadap kitab-kitab Syi’ah, penulis menemukan kitab ilmu hadis baik sanad maupun matan dari kalangan Syi’ah yang disusun oleh Ja’far Subhani, keduanya adalah Ushul al-Hadis wa Ahkamuhu fi ‘ilmi al-Dirayah, dan Kulliyat fi ‘ilmi al-Rijal. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kajian sanad dan matan telah dikaji secara mendalam. Jika dibandingkan dengan tradisi Sunni, kajian ulum al-hadis Syi’ah juga bisa dianggap telah matang. Meskipun pengaruh Imamiyah masih sangat kental. Hal ini terbukti dengan syarat diterimanya hadis adalah harus dari kalangan Imamiyah. Itulah yang menjadi syarat utama dalam ilmu al-jarh wa al-Ta’dil.
Demikian juga terhadap kajian matan, adanya anggapan teologis tentang tidak terhentinya wahyu sepeninggal Rasulullah, maka imam-imam pada mazhab Syi’ah dapat mengeluarkan hadis. Jadi, tidak heran jika surat-surat, khutbah para imam dan hal-hal lain yang disangkutpautkan dengan ajaran agama diposisikan setara dengan hadis. Ini menjadikan kajian hadis Syi’ah berbeda dengan kalangan Sunni. Menurut hemat penulis, dua syarat itulah yang menjadikan penyebab jumlah hadis Syi’ah jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hadis Sunni.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Gifari, ‘Abd al-Hasan. al-Kulaini wa al-Kafi (t.tp. Muassasah ‘an Nasyr al-Islami, t.th.
Al- Hasani, Hasan Ma’ruf. “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”, Jurnal al-Hikmah, no. 6., Juli-Oktober 1992.
Al-Kulaini Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub. Muqaddimah Usul al-kafi al-Kulaini, ditahqiq oleh Ali Akbar al-Giffari, juz I (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1388.
Al-Kulaini, Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub. Furu’ al-Kafi. Jilid III-VII (t. tp. t. th.).
Al-Salus, Ali Ahmad. Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997.
Dr. I. K. A. Howard, “al-Kutub al-Arba’ah: Empat Kitab Hadis Utama Mazhab ahl al-Bait”, Jurnal al-Huda, vol II, no. 4, 2001.
Esposito, John. L. Ensiklopedi Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001.
Kurniawan,Yudha. “Kriteria Kesahihan Hadis: Studi Komparatif antara Kitab al-Jami’ al-Sahih dan al-Kafi al-Kulaini”, Skripsi, Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2003.
Subhani, Ayatullah Ja’far. “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi” dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001.
_______ Ushul al-Hadis wa Ahkamuhu fi ‘ilmi al-Dirayah. Qumm, Maktabah al-Tauhid, t.th.
Suryadilaga, M. Alfatih. Kitab al-Kafi al-Kulaini, (Yogyakarta: TERAS, 2003.
[1] M. Alfatih Suryadilaga Kitab al-Kafi al-Kulaini, (Yogyakarta: TERAS, 2003), hlm. 307, lihat juga al-Kulaini Muqaddimah Usul al-kafi al-Kulaini, ditahqiq oleh Ali Akbar al-Giffari, juz I (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1388), hlm. 4-5.
[2] Ketiga kitab lainnya adalah Man La Yahduruh al-Faqih, Tahzib al-Hakam, dan al-Ikhtisar fi Ma Ukhtulifa min Akhbar.
[3] Yudha Kurniawan, “Kriteria Kesahihan Hadis: Studi Komparatif antara Kitab al-Jami’ al-Sahih dan al-Kafi al-Kulaini”, Skripsi, Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2003.
[4] ‘Abd al-Hasan al-Gifari, al-Kulaini wa al-Kafi (t.tp. Muassasah ‘an Nasyr al-Islami, t.th), hlm. 124
[5] Dr. I. K. A. Howard, “al-Kutub al-Arba’ah: Empat Kitab Hadis Utama Mazhab ahl al-Bait”, Jurnal al-Huda, vol II, no. 4, 2001, hlm. 11.
[6] Hasan Ma’ruf al-Hasani, “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”, Jurnal al-Hikmah, no. 6., Juli-Oktober 1992, hlm. 25
[7] Ibid
[8] M. Alfatih Suryadilaga Ibid, hlm. 310.
[9] Ayatullah Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah: Studi atas Kitab al-Kafi”, Al-Huda Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, vol. II, no. 5, 2001. hlm. 35.
[10] Di dalam Syi’ah sekarang terdapat dua aliran besar dalam menanggapi masalah-masalah yang berkembang di Dunia modern dikaitkan dengan ijtihad. Kelompok pertama mengatakan tidak ada ijtihad. Permasalahan sudah cukup dibahas para imam-imam mereka. Aliran ini dikenal dengan ahbariyyun atau muhaddisun. Kedua, kelompok ushuliyyun. Mereka beranggapan bahwa tradisi ijtihad masih terbuka lebar di kalangan Syi’ah tidak terbatas pada kematangan imam-imam mereka. Lihat Hasan Ma’ruf al-Hasani, “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah Al-Kafi” dalam Jurnal al-Hikmah, no, 6, Juli-Oktober 1992, hlm. 29.
[11] Ayatullah Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi” dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hlm. 36.
[12] Ibid.,
[13] Ibid., hlm. 37
[14] Al-Fatih Suryadilaga, “al-Kafi al-Kulaini” dalam Studi Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2003), hlm. 313.
[15] Lihat dalam Mukaddimah al-Rawdhah, hlm 9. Dikutip dalam Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis & Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 140.
[16] Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub al-Kulaini, Furu’ al-Kafi. Jilid III-VII (t. tp. t. th.)
[17] John L. Esposito, Ensiklopedi Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 302
[18] Hasan Ma’ruf al-Hasani, “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”, jurnal al-Hikmah, no. 6, Juli-Oktober, 1992, hlm. 25
[19] Dr. I. K. A. Howard “al-Kutub al-Arba’ah: Empat Kitab Hadis Utama Mazhab ahl al-Bait”, Jurnal al-Huda, vol II, no. 4, 2001, hlm. 14.
[20] ‘Abd al-Hasan al-Gifari, al-Kulaini wa al-Kafi (t.tp. Muassasah ‘an Nasyr al-Islami, t.th), hlm. 469-470.
[21] Hasan Ma’ruf al-Hasani, “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”, jurnal al-Hikmah, no. 6, Juli-Oktober, 1992, hlm. 39.
[22] Ibid
[23] Ayatullah Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi” dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hlm. 38-39.
[24] Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 125
[25] Yang disebut dengan hadis ghadir adalah wasiat Nabi Muhammad bahwa Ali ditunjuk sebagai pengganti beliau. Ibid, hlm.126.
[26] Ja’far Subhani, Ushul al-Hadis wa Ahkamuhu fi ‘ilmi al-Dirayah (Qumm, Maktabah al-Tauhid, t.th), hlm. 48.
[27] Ibid
[28]Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 127.
[29] Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 129.
[30] Muwassaq (yang melahirkan kepercaraan), kadang disebut juga dengan qawiy (kuat) karena kuatnya zhan (dugaan akan kebenarannya), di samping karena kepercayaan kepadanya.
[31] Telah berlaku dalam ungkapan ulama hadis penyebutan sebagian ulama dengan “syaikh ijazah“, dan yang lain dengan “syaikh riwayah”. Yang dimaksud dengan yang pertama adalah orang yang tidak mempunyai kitab yang diriwayatkan dan tidak mempunyai riwayat yang dinukil, tetapi dia memperbolehkan periwayatan kitab dari selainnya dan dia disebutkan dalam sanad karena dia bertemu gurunya. Dan jika dia dha’if maka tidak madharat kedha’ifannya. Sedangkan yang kedua adalah orang yang diambil riwayatnya dan dikenal sebagai penulis kitab, dia termasuk orang yang menjadi sandaran riwayat. Orang ini madharat bila tidak mengetahui riwayat. Untuk diterima riwayatnya, disyaratkan harus adil.
[32] Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis & Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 130.
[33] Ayatullah Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi” dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hlm. 37
[34] Ibid.
[35] Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub al-Kulaini, Furu’ al-Kafi. Jilid III-VII (t. tp. t. th.), hlm. 76, 80 dan 81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com