Abu Nawas. Siapa pun pasti pernah mendengar nama ini. Di negara kita, ia dikenal sebagai seorang tokoh cerdik yang sarat dengan cerita-cerita lucu. Perseteruannya dengan Raja Harun al-Rasyid selalu menjadi cerita utama anak-anak kecil. Hebatnya, kisah lucu Abu Nawas seakan tak pernah habis. Selalu ada cerita lucu yang baru hingga akhirnya ia dikenal dengan seorang humoris yang sangat pintar. Raja Harun al-Rasyid, yang disebut sebagai Raja Dinasti Abbasiyah paling pintar, tak pernah berhasil mengalahkannya. Berbagai macam cara atau tipudaya dilakukan oleh raja Harun dan Abu Nawasdengan kecerdikannya selalu selamat dari ancaman penjara atau hukuman dari Raja Harun.
Syair “Ilahi lastu lil firdausi ahlan. Wa la aqwa ala nari al-jahimi…†yang sering kita dengar sebagai karya Abu Nawas, menggambarkan betapa jenakanya tokoh dari Baghdad itu. Konon, di dalam kubur Abu Nawas membaca doa di atas sehingga ia selamat dari amukan Munkar-Nakir. Kalau diartikan secara harfiah, doa itu memang agak lucu: masuk surga tak pantas, masuk neraka tidak kuat. Mungkin, dari sikap-sikapnya yang nyeleneh, akhirnya banyak yang mempercayai bahwa Abu Nawas adalah wali Allah atau minimal seorang tokoh sufi.
Gus Dur pun mengatakan bahwa syair itu adalah karya Abu Nawas, Syair ini dikarang oleh seorang ulama sufi besar di kota Baghdad pada pertengahan abad ke delapan yang silam. Ia Bernama Abu Nawas atau Abu Nuwas.
Tidak jelas dari mana sumbernya cerita dan kesufian Abu Nawas itu. Sebab dalam literatur sejarah Islam, Abu Nawas justru lebih dikenal sebagai tokoh sastra daripada seorang pelawak. Dan sekedar diketahui, ternyata petualangan Abu Nawas bukan dengan Harun al-Rasyid melainkan dengan khalifah setelahnya, Al-Amin, putra Harun. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Abu Nawas tidak pernah bertatap muka dengan Harun al-Rasyid. Para sejarawan hanya mengenalnya sebagai tokoh sastra. Banyak ulama yang menempatkan Abu Nawas sebagai sastrawan Islam nomor wahid di dunia Islam mengalahkan Furazdaq, bahkan Jalaluddin al-Rumi (?).
Ibnu Arabi mengatakan, aku telah bandingkan syair Abu Nawas dengan yang lain, ternyata tidak aku temukan syair seindah miliknya. Tokoh hadits, sejarah dan sastra terkenal di Bashrah bernama Ubaidullah bin Muhammad mengatakan, barang siapa yang belajar sastra tetapi tidak meriwayatkan syair Abu Nawas, maka dia tidak akan sempurna sastranya. Kultsum al-Uttabi juga mengatakan, andaikan Abu Nawas hidup sejak masa Jahiliyah, niscaya tidak seorang pun yang bisa mengalahkannya. Imam al-Utbi mengatakan, al-Jahiz berkomentar, tidak aku temukan orang yang alim dalam ilmu bahasa dan lebih fasih lahjahnya dari mengalahkan Abu Nawas. Dan masih banyak komentar ulama yang senada dengan di atas.
Sayang, keahliannya dalam bersastra terkontaminasi oleh kebiasaannya yang mujun. Hampir semua kitab sejarah menyebutkan hal yang sama: Abu Nawas adalah sastrawan cabul: gemar minuman keras, berbicara kotor dan puisi-puisinya banyak mengkritik hadits dan ayat al-Qur’an yang melarang minum Khomer. Ia sering keluar masuk penjara karena puisi-puisinya itu.
Puisi dan cerita mujun-nya bisa dilihat dalam kitab-kitab sejarah seperti, Tarikh al-Islam (juz 10/161) karya sejarawan handal Adz-Dzahabi, Tarikh Baghdad (juz 7/ 436) karya Khatib al-Baghdadi, Tahdzib ibn Asakir juz 4 (biografi Abu Nawas), Wafayat al-A’yan karya Ibnu Khalkan, Masalik al-Abshar (jilid 9), Syudzurat al-Dzahab (juz 1/345) atau kitab Mulhaq al-Aghani juz 25 karya Abu al-Faraj al-Ashbihani yang khusus menerangkan biografi Abu Nawas.
Di samping peminum minuman keras, Abu Nawas ternyata juga seorang homosex, hal yang terasa asing ditelinga kita. Seorang tokoh Timur Tengah menulis sebuah disertasi mengenai hal ini. Dalam disertasinya yang berjudul al-Syudzudz al-Jinsiyah (kelainan seksual), beliau mengupas habis kepribadian Abu Nawas terutama tentang kelainan seksualnya. Karena itulah, selama hidupnya ia tidak pernah menyukai orang perempuan.
Dalam Mulhaq al-Aqhani juz 25 disebutkan bahwa Abu Nawas pernah dikawinkan secara paksa oleh orang tuanya dengan salah satu wanita yang masih familinya, tapi keesokan harinya perempuan itu ditalaknya karena Abu Nawas tidak mencintainya. Ia pernah mencintai seorang perempuan bernama Jinan. Sayang, cintanya tak sampai.
Kecabulannnya inilah yang membuat Abu Nawas nyaris tidak mendapatkan simpati dari tokoh-tokoh Islam. Salah satu bukti, dalam kitab-kitab balaghah sangat jarang dijumpai pengarangnya menggunakan contoh dari syair-syairnya. Kehebatan sastranya tenggelam di telan kefasikannya. Orang sebesar Imam Syafi pun mengakui kehebatan sastranya. Beliau mengatakan, seandainya Abu Nawas tidak mujun, niscaya aku akan belajar sastra kepadanya Para pengamat sastra menyimpulkan, ada tiga generasi dalam sastra Arab. Di masa Jahiliyah, hanya ada seorang penyair yang tak tertandingi yaitu Imru’ul Qois, dan pada masa awal perkembangan Islam ada nama Jarir dan Furazdaq, musuh al-Hajjaj. Sedang di abad terakhir hanya nama Abu Nawas yang terhebat.
Dus, belum ditemukan keterangan bahwa Syair “Ilahi lastu…†itu adalah karya Abu Nawas. Dalam sebuah kitab justru disebutkan bahwa syair itu adalah karya Syekh al-Sya’roni, bukan milik Abu Nawas. Begitu pula dengan cerita-cerita lucunya, tidak ditemukan dalam literatur sejarah.
Apakah ia seorang wali? Kita tidak bisa menjawabnya. Walaupun ada sebagian ulama berpendapat bahwa Abu Nawas termasuk zindiq, atau minimal fasiq. Namu pada detik-detik akhir kehidupannya, Abu Nawas berubah total. Khamer yang menjadi trade mark nya sejak ia menginjak dewasa dibuang jauh-jauh. Ia tidak lagi menggubah puisi-puisi mujun. Lembaran-lembaran syairnya dibakar habis. “Aku takut setalah aku mati nanti masih tersisa satu dari syairku. Karena itu aku membakarnya,†kata Abu Nawas ketika ditanya oleh salah seorang temannya. Kehidupan zuhudnya di masa injury time itu terangkum dalam beberapa syairnya yang kemudian dikenal dengan isltilah zuhdiyat.
Dari salah satu syair zuhdiyatnya ini, ada empat bait syair yang mirip dengan syair yang biasa kita dengar itu (Ilahi lastu…).
Konon, setalah meninggal, salah seorang temannya mimpi bertemu dengan Abu Nawas dengan wajah yang sangat tampan dan pakaian yang serba bagus.
“Apa yang kamu terima dari Allah?,†tanya si teman.
“Allah mengampuni segala dosaku,†jawab Abu Nawas.
“Mengapa?â€
“Karena puisi-puisiku yang aku gubah sebelum aku mati.â€
Alhasil, dari manakah sumber cerita yang sering kita dengar itu? Jawabnya, mungkin Abu Nawas ada dua: yang satu ada di kota Baghdad, Iraq. Sedang satunya ada di Indonesia. Dan yang kita dengar cerita itu adalah Abu Nawas yang hidup di Indonesia. (Zubaydi Ilyas R/Sidogiri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com