Rabu, 17 November 2010

Sholat di atas Pesawat dan Jarak Safar

Pertanyaan :

Bagaimana cara sholat di atas pesawat ? Berapa jarak safar yang dengannya dibolehkan meng-qashar sholat dan meninggalkan puasa ?

Jawab :

Al-Imam Al-Albani rahimahullah menjawab,

“Safar itu dimulai dari keluarnya seseorang dari negeri/daerahnya, terhitung dari batas daerahnya. Tentang sholat di atas pesawat, orang yang biasa naik pesawat di zaman sekarang ini akan menyaksikan bahwa pesawat memiliki kelebihan dari sisi kenyamanan di mana penumpangnya tidak merasa sedang terbang diantara langit dan bumi.

Beda halnya dengan kapal laut, dimana terkadang memberikan goncangan kepada penumpangnya, lebih besar daripada goncangan pesawat. Karena itu orang yang mengendarai pesawat, bila memang pesawatnya besar, luas dan lapang, ia akan mendapati tempat kosong yang disitu ia bisa berdiri dan duduk saat mengerjakan sholat.

Inilah yang wajib berdasarkan kaidah yang telah lewat penyebutannya : “Bertaqwalah kalian kepada Alloh semampu kalian.”

Termasuk kewajiban yang harus diperhatikan oleh orang yang ingin sholat di atas pesawat adalah memerhatikan pada awal sholatnya dimana arah kiblat, bila memang memungkinkan untuk mengetahuinya, kemudian ia sholat menghadap kiblat tsb. Setelah itu tidak menjadi masalah pesawatnya menghadap ke mana saja, mengarah ke kiri atau kanan. Ia tetap melanjutkan sholatnya sesuai dengan arah awal ia menghadap (walaupun ternyata tidak lagi menghadap kiblat karena arah pesawat telah berubah, pent).

Yang penting, ada dua perkara yang harus diperhatikan oleh penumpang pesawat, penumpang kapal atau penunggang hewan.

Pertama : Bila mampu untuk berdiri dan duduk dalam sholat, hendaklah ia melakukannya. Bila memungkinkan baginya untuk turun dari kendaraannya seperti orang yang mengendarai mobil, hendaknya ia turun dan sholat sebagaimana biasanya.

Kedua : Ia memulai sholatnya diatas kendaraan yang ditumpanginya dengan menghadap kiblat, setelah itu tidak menjadi masalah bila mobil, pesawat atau kapal yang ditumpanginya, ataupun hewan (yang ditungganginya) itu bergerak sehingga arah kiblat berpindah. Kecuali bila memungkinkan baginya untuk turun dari kendaraannya, maka ia sholat seperti biasanya.

Tentang safar, tidak ada batasan jarak tertentu dengan ukuran kilometer atau marahil. Karena ketika Alloh menyebutkan safar dalam Al Qur’an berkaitan dengan qashar sholat ataupun kebolehan berbuka (tidak puasa) di bulan Ramadhan, Alloh menyebutkan safar secara mutlak, tanpa menerapkan batasannya. Bisa kita lihat hal ini dalam firman-Nya :

“Apabila kalian melakukan perjalanan di muka bumi (safar) maka tidak ada dosa atas kalian untuk kalian meng-qashar sholat.” QS. An-Nisaa’ ; 101

Lafadz diatas merupakan ungkapan dari safar, dimana Alloh menyebutkannya secara mutlak (tanpa pembahasan ini dan itu…pent)

Demikian pula dalam firman-Nya :

“Siapa diantara kalian yang sakit atau dalam keadaan safar, maka (ia boleh meninggalkan puasa) dengan menggantinya pada hari-hari yang lain.” QS. Al-Baqarah ; 184

Dengan demikian yang benar dari pendapat yang ada dari kalangan ulama tentang pembatasan jarak safar adalah tidak ada batasannya. Setiap itu disebut safar, menurut kebiasaan (‘urf) dan menurut pengertian syar’i, berarti itulah safar, baik jaraknya jauh ataupun dekat. Perjalanan tsb safar menurut kebiasaan yang dikenali di tengah manusia. Dari sisi syar’i memang orang yang menempuhnya bertujuan untuk safar. Karena terkadang kita dapati ada orang yang menempuh jarak jauh bukan untuk safar, seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :

“Terkadang seseorang keluar dari negerinya untuk berburu. Lalu ia tidak mendapatkan buruannya hingga ia terus berjalan mencari-cari sampai akhirnya ia tiba di tempat yang sangat jauh. Ternyata di akhir pencariannya ia telah menempuh jarak yang panjang, ratusan kilometer. Kita menganggap orang ini bukanlah musafir, padahal bila orang yang keluar berniat safar dengan jarak yang kurang daripada yang telah ditempuhnya telah teranggap musafir. Tapi pemburu ini keluar dari negerinya bukan bertujuan safar sehingga ia bukanlah musafir. Berarti yang namanya safar harus menuruti ‘urf (adat masyarakat) dan sesuai pengertian syar’i.” [Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal.227]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com