Jumat, 12 November 2010

BERCERMIN SEPENUH HATI





“BERCERMIN” SEPENUH HATI


Di dalam setiap rumah selalu disediakan sebuah cermin dengan segala ukurannya dalam rangka mematut diri dan mengontrol tampilan fisiknya. Cermin itu dapat berada di kamar tidur, ruang keluarga, toilet, kamar mandi atau bahkan menempel di almari sekalipun. Tanpa keberadaan cermin, usaha untuk berhias dan mempercantik diri akan berjalan dengan penuh kesulitan.

Cermin memang diperlukan untuk berhias karena ”kejujurannya” dalam memantulkan setiap objek yang ditangkapnya. Yang jelek akan digambarkan jelek, dan yang bagus akan ditampakkan bagus pula. Semua tergambarkan kembali apa adanya. Cermin tidak pernah bohong.

Sebagai sebuah alat yang dipergunakan untuk mematut diri, cermin tetaplah memiliki keterbatasannya sendiri karena hanya dapat memantulkan gambar dari satu sisi. Karenanya untuk mendapatkan gambaran diri secara utuh diperlukan beberapa cermin yang diletakkan di beberapa sudut berbeda sehingga memungkinkan seseorang untuk bercermin dari dua arah atau lebih. Hasil bercermin model begini tentunya akan lebih akurat.

Berkenaan dengan usaha memperbaiki diri, Islam memerintahkan kaum muslimin untuk ber-”cermin” dari kaum-kaum terdahulu dan sejarah kehidupan mereka. Melihat sejarah yang baik atau yang buruk memang akan menjadikan kita mengenal ”posisi” kita dari kebaikan maupun keburukan. Dalam al-An’am ayat 11, Allah memerintahkan agar kita berjalan di dunia ini dan memperhatikan akibat yang diderita olah hamba-hamba-Nya yang pendurhaka. Dengan bahasa yang lain Allah mengulangi perintah ini sebanyak 3 kali di tempat yang berbeda, al-Naml 49, al-Rum 42, dan al-Hasyr 2. Dalam hadith al-Tirmidzi dan Abu Dawud, Rasul menyebut seorang muslim sebagai cermin bagi saudara muslim lainnya yang dapat mengembalikan kehilangan barangnya (dhai’atah) dan mengawalnya dari belakang.

Ayat-ayat dan hadith tersebut memberikan pengertian bahwa ”cermin hidup” dari manusia merupakan alat ukur atas nilai diri dan kualitasnya dikaitkan dengan kebaikan atau keburukan. Karenanya cermin ini sangat dapat diandalkan untuk usaha memperbaiki diri dan berbenah. Seorang yang baik tentu akan memantulkan gambar yang baik pula tercermin dari perilaku dan sikap orang-orang lain terhadap dirinya dan demikian pula sebaliknya. Semuanya terpantul apa adanya.

Selanjutnya dan yang terpenting adalah respon tindakan apa yang akan diambil seseorang berdasarkan pantulan gambar di cermin tersebut. Apakah ia mau belajar dan memperbaiki diri dari pantulan cermin tersebut, atau mengacuhkannya, atau bahkan justru memecahkan cermin itu. Semuanya memiliki konsekwensi masing-masing dalam rangka perbaikan diri.

Bercermin dengan ”cermin hidup” manusia memang memiliki tantangannya sendiri. Jika cermin dari kaca bersikap pasif, maka ”cermin hidup” manusia akan memantulkan ”gambar”-nya dengan bahasanya sendiri yang beragam. Bisa saja berupa pujian, senyuman, umpatan, cacian, teguran, kritik, maupun tulisan. Kesemuanya merupakan balikan yang kadang justru lebih besar dari asalnya.

Pantulan ”cermin hidup” perlu disikapi secara positif karena cermin memang tidak akan pernah bohong dengan memantulkan kembali setiap obyek yang ditangkapnya. Pujian tidak perlu membuat lupa diri. Cacian tidak harus dibalas dengan cacian tetapi dengan penjelasan dan kejelasan uraian, karena manusia adalah makhluk nalar yang dapat dipahamkan dengan argumentasi dan dialog yang baik. Teriakan hendaknya dijawab dengan kata-kata penuh kesantunan. Diperlukan keberanian dan hati yang lapang untuk menghadapi kritik pantulan ”cermin hidup” apalagi jika kata yang digunakan sangat keras dan pedas. Tidak perlu membabi buta dengan berusaha memindahkan cermin itu, menyingkirkannya atau bahkan memecahkannya. Wujud sebuah cermin bagaimanapun tetap diperlukan untuk evaluasi dan perbaikan diri.

Setiap makluk hidup yang bernama manusia memang akan tetap memiliki gambarnya kembali lewat pantulan ”cermin” orang lain mau atau tidak mau, suka atau tidak suka. Setiap ucapan dan tindakan yang dilakukan akan selalu ”dinilai” orang lain. Maka, sebaik-baik orang yang bercermin adalah orang mau terus berusaha untuk mematut diri dan membenahi kekurangan ketika melihat pantulan gambarnya. Jika masih buruk, maka hal itu mendorongnya untuk mengadakan perbaikan. Jika sudah baik maka perlu dipikirkan untuk semakin ditingkatkan dan dikembangkan.

Maka, mari kita tata hati kita untuk belajar ber”cermin” dengan sebanyak mungkin cermin dan bersiap menerima segala pantulan gambarnya demi kebaikan dan perbaikan diri kita. Al-mu’min mir’aat akhih al-mu’min.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.

Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.

( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )

Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.

Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar

Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com