Jakarta, 07 November 2009, Sore hari menjelang senja, ketika langit mulai memerah dan mentari mulai tenggelam, kami 7 orang (Asep Kambali, Meita Fadilah, Merry Chen, Mhita Novalina Dharma, Novi Kusumawati, Prabowo dan Tita Sholihat) yang tergabung dalam Komunitas Historia Indonesia akan menyusuri jejak2 kolinialisme untuk mengungkap dimana sebenarnya harta karun VOC itu berada. Sebenarnya, rencananya kami berdelapan, tapi kawan kami Bonni tersesat dalam perjalanan menuju pusat pemerintahan Batavia ini. Apakah ada hubungannya dengan Misteri Angka 7 ? tanggal 7, 7 orang dan tepat jam 7 malam kami memulai perjalanan. Allah Sendiri menciptakan 7 hari dalam seminggu. Langit sebagai atap kita terdiri dari 7 tingkat. Tanah yang kita pijak ada 7 lapis. Tubuh kita terbagi menjadi tujuh bagian. Dan berbagai jumlah tujuh yang lain. Apa makna dibalik angka tujuh itu? Disini kita tidak akan membahasnya, biar menjadi misteri.
Sebelumnya kami menentukan UPT Kota Tua Jakarta sebagai titik pertemuan kami, tidak susah menemukannya,. Lokasi UPT berada disisi kanan Museum Sejarah Jakarta (MSJ) jika kita menghadap utara, dekat dengan Museum Seni Rupa dan Keramik. Kami yang saling mengenal lewat dunia maya (Facebook) terlebih dahulu menerima arahan dari Sejarahwan sekaligus Ketua KHI, Asep Kambali (Udjo). Sangat penting melakukan briefing sebelum melakukan penjelajahan, agar perjalanan nanti berjalan lancar, karena tempat2 yang akan kita kunjungi bukan tempat yang biasa dimasuki, tapi tempat yang penuh keajaiban, keindahan dan ketgegangan. Jam 7 malam, ketika bulan mulai menampakan wajahnya kita memulai penjelajahan untuk menguak harta karun VOC yang terpendam.
1. Lonceng Stadius
Siapa yang menyangka ada harta karun yang begitu indah di MSJ, harta karun yang dimaksud bukan “pedang keadilan” yang terletak dilantai dua gedung, bukan juga uang logam zaman VOC, lukisan2 karya Raden Saleh atau potret Gebernur Jenderal VOC. Ayo kawan2 kita coba cari tahu dengan memasuki halaman belakang MSJ.
Di halaman belakang ini kita akan menemukan sebuah meriam peninggalan kolonial yang begitu perkasa, Si Jagur namanya. Jika anda perempuan, jangan sekali2 mencoba menunggangi meriam jagur karena puluhan tahun dia berhasil menghamili ratusan, bahkan mungkin ribuan perempuan di negeri ini. Tentu saja tanpa pernah diminta pertanggung jawabannya. Terbuat dari coran besi, berat sekitar 3.5 ton, panjang larasnya 3085 m dengan diameter sekitar 25 cm. Pada salah satu sisinya, terdapat tulisan dalam bahasa latin yang berbunyi Ex me Ipsa renata sum, yang artinya dari saya sendiri aku dilahirkan kembali. Meriam memang ini diperkirakan berasal dari 16 meriam kecil yang dilebur menjadi satu.
Selain punya pasangan tempur bernama Ki Amuk (Museum Banten), Si jagur juga mempunyai pasangan (tidur) di solo yang dijuluki Nyai Setama. Konon, jika kedua meriam ini disandingkan, ceritanya bakal seru. Meriam kepunyaan portugis yang direbut Belanda di selat malaka 1641 pernah berada di Banten, di dekat jembatan kota intan, Museum Gajah, di halaman muka MSJ dan akhirnya berada di halaman belakang MSJ. Ciri khas dari meriam ini, bagian pangkalnya berbentuk kepalan tangang kanan dengan posisi jempol diapit jari telunjuk dan jari tengah. Bentuk seperti ini oleh banyak orang diidentikan sebagai simbol senggama atau lambang kesuburan.
Dihadapan meriam ini kami menemukan sosok salah satu dewa mitologi Yunani, Sosok itu adalah Patung Dewa Hermes, anak Zeus dan Maia yang merupakan dewa keberuntungan, dewa pelindung bagi kaum pedagang, dan juga dewa pengirim berita. Patung ini merupakan pemberian keluarga Ernst Stolz sebagai tanda terimakasih kepada pemerintah Batavia atas kesempatan yang diperolehnya untuk berdagang di Hindia Belanda. Sebelum di pindahkan ke taman belakang MSJ, patung ini ditempatkan di perempatan Harmoni. Ciri fisiknya adalah tubuh yang mungil yang selalu mengenakan topi bersayap dan juga sandal bersayap. Ia sangat cepat dalam berkata-kata dan juga berlari. Hermes menjabat sebagai pembawa pesan Zeus dan pemandu bagi roh yang menuju neraka. Hermes memiliki tongkat yang disebut Caduceus.
Di belakang Patung Hermes, kami menemukan penjara bawah tanah yang begitu gelap dan mencekam. Dengan cahaya yang dipancarkan dari telepon genggam, kami coba membaca sudut demi sudut dibalik jeruji. Pikiran kami melayang ke abad 18, masa dimana terjadi eksekusi Pieter Eberferld, seorang kaya raya dan sangat berpengaruh di Batavia, beserta para pengikutnya dituduh melakukan makar terhadap pemerintah pada malam 1 Januari 1972 saat pesta menyambut tahun baru. Pieter dan Raden Kartadirja beserta 17 orang pengikutnya diputuskan untuk diesksekusi dengan cara disalib. Lalu untuk mengenang peristiwa ini dibuat prasasti yang kini terdapat disisi kanan halaman belakang MSJ. Penjara bawa tanah ini memang menyimpan kenangan pahit, dipenjara ini Pangeran Diponogoro, Tjut Nyak Dien, Untung Suropati merasakan pengapnya ruangan yang begitu sempit,tanpa ventilasi, panas dan lembab. Tingginya hanya satu setengah meter sehingga mengharuskan orang membungkuk bila memasukinya. Di dalamnya terdapat ratusan besi sebesar bola, berikut rantai-rantai untuk dipasangkan di kaki para napi..
Tak mau berlama-lama kami segera keluar dari tempat ini mencari sisa2 oksigen di tengah2 halaman belakang MSJ. Mata kami terbelalak ketika menatap Atap gedung bekas pengadilan Batavia ini. Sebuah benda dengan cahaya keemasan menyilaukan mata mempesona kami. Lonceng Stadius, yah itulah sosok Harta Karun VOC yang kami cari-cari, akhirnya kami menemukannya. Dengan taburan bintang di langit, lonceng itu begitu indah dan menawan. Hanya dari halaman belakang, keelokannya memancar, di muka halaman MSJ kita tidak akan bisa menyaksikannya. Maaf saya tidak bisa berscerita banyak tentang keberadaan lonceng ini.
Waktu menyadarkan kami untuk meneruskan perjalanan. Kami keluar dari bekas bangunan balaikota (Stadius) Batavia ini. Dari Taman Fatahilah, di alun-alun yang dulunya terpancang tiang gantungan, kami kembali menatap Lonceng Stadius. Sesekali pikirian kami merasa sedang berada dikelilingan masyarakat yang menyaksikan terjadinya ekseskusi para terhukum dengan pisau guiletine, atau dipancung dengan pedang. Terlihat raut wajah sedih Sarah Specx, putri tak sah Jacques Specx, anggota Dewan Hindia yang menatap wajah kekasihnya dihukum pancung oleh JP Coen. Sungguh kisah cinta yang tragis.
2. Gedung Cipta Niaga
Langkah2 kecil kami kemudian membawa badan kami kearah timur laut, melewati museum Wayang (Gereja lama Belanda) dan Batavia Café. Tiap sudut bangunan tua yang kami lewati begitu eksotik, yang harus kami tangkap sketsanya melalui lensa kamera. Akhirnya kami tiba di sebuah pintu masuk bangunan tua, didepan bangunan ini tanaman merambati dinding merah yang beberapa bagian terkelupas, hingga nampak batangan batu bata yang memerah. Akhirnya kami memasuki bangunan yang dari luar terlihat kokoh. Kebetulan pintunya tidak terkunci, jadi dengan mudah kami bisa masuk kedalam. Mata kami menerawang tiap sudut bangunan yang mulai dimakan usia. Gubrak !! Pintu masuk tiba2 tertutup rapat, mengagetkan jantung kami yang sudah berdetak kencang begitu memasuki gedung ini. Angin, kami mencoba menghibur hati kami disuasana yang begitu mencekam.
Bermodalkan Cahaya dari telepon genggam kami, kami mencoba mengelilingi bangunan tua ini, menyorot kepingan-kepingan sejarah yang masih tersisa. Gedung Cipta Niaga, inilah nama bangunan yang terletak di Jalan Pintu Besar Utara. Bangunan ini terlihat tidak terpelihra, menurut Kang Asep beberapa bangunan itu memang mau tidak mau dibiarkan seperti itu karena apabila diperbaiki maka bentuk bangunan aslinya akan berubah, hal ini dikarenakan bahan bangunan yang tidak sama antara bangunan zaman dahulu dan sekarang tapi kalau masih ada yang bisa diperbaiki tetap diperbaiki.
Kami kemudian menaiki tangga yang berada tepat di depan pintu masuk. Gelapnya ruangang membuat kami harus berhati-hati menaiki satu demi satu susunan tangga. Suasana lantai dua begitu kosong dan mencekam, Pintu-pintu jendela bergerak menutup diterpa angin malam. Tapi hembusan angina tidak sampai kepori-pori kulit kami yang mulai basah oleh keringat akibat pengapnya ruangan bangunan ini. Ciri-ciri bangunan Belanda (eropa) nampak pada setiap sudut ruangan, pilar-pilar penyangga yang tinggi dan kokoh, jendela-jendela besar disebagai ventilasi dan atap bangunan yang begitu megah. Konsentrasi kami terganggu oleh derit kemerisik daun pintu dibagian lain ruangan, entah mengapa bulu kuduk kami merinding, menipisnya oksigen membuat nafas kami sesak. Tiba-tiba sekelebat bayangan hitam keluar dari sebuah pintu ruangan. Panca Indera kami berusaha menyadarkan pikiran kami bahwa itu hanyalah sebuah halusinasi dari alam bawah sadar kami. Percaya atau tidak percaya, pengalaman empiris adalah fakta yang tidak terbantahkan bahwa kami telah melihat sosok bayangan hitam laki-laki, dan ternyata sosok itu adalah Pak Asmat, penjaga bangunan ini. Akhirnya kami bisa Sedikit bisa menarik nafas.
Kearah belakang bangunan kami menemukan sebuah anak tangga yang agak rapuh dan kotor. Beberapa kawan tidak ingin melanjutkan perjalanan menaiki anak tangga. Tapi rasa penasaran memberanikan kami menapaki anak tangga menuju lantai atas bangunan ini. Amazing !! kami mendapatkan lantai dengan langit sebagai atapnya. Pada lantai tiga ini, separuh atapnya sudah rubuh dan berserakan..Kita bisa melihat hamparan langit bertabur bintang dengan bulan sebagai pusatnya, dari tepi lantai kita bisa melihat taman fatahila yang disorot lampu taman dan beberapa bangunan tua. Yah inilah harta karun kedua yang kami temukan, Surganya para Photografer begitulah kami menyebutnya, dan terbukti tempat ini sering dijadikan lokasi syuting dan tempat pemotretan. Karena tidak ingin tertimpa atatp bangunan yang masih tersisa kami menuruni tangga dan keluar dari gedung cipta niaga. Namun oleh Pak Asmat kami diajak ke bagian depan bangunan dekat jalan yang dikelilingi teralis. Disinilah kami mengabdikan wajah kami lewat kilatan cahaya kamera.
Kemudian perjalanan kami lanjutkan menyuri kali besar timur, lalu menyebrangi Groote Kanal (Kali Besar) menuju Batavia Minang. Tenyata perut kami yang mulai kelaparan membawa kami ke restoran yang berada di Jalan Kopi ini. Logika tanpa logistic memang tidak akan jalan. Di Restoran inilah Kang Asep menceritakan sejarah berdirinya KHI (Komunitas Historia Indonesia) dan sepak terjangnya di bidang sejarah serta budaya.. (BERSAMBUNG)
NB : Mohon maaf jika ada penulisan kata dan rekam jejak sejarah yang salah
DIarsipkan di bawah: Kota Gue
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
1 SHARE DARI ANDA SANGAT BERHARGA BUAT BANYAK ORANG, SAMPAIKANLAH WALAU 1 AYAT, SEMOGA BERMANFAAT.
Jika anda merasa artikel diatas berguna dan bermanfaat bagi banyak orang, silahkan share / bagikan artikel diatas ke banyak orang lewat facebook / twitter anda.
Semoga anda mendapatkan pahala setelah membagikan artikel diatas, semoga setelah anda bagikan banyak bermanfaat buat semua orang, amin.
( Sampaikanlah walau satu ayat, untuk kebaikan kita semua )
Salah satu cara mencari pahala lewat internet adalah dengan menyebarluaskan artikel, situs/blog dan segala kebaikan yang diperoleh darinya kepada orang lain. Misalnya adalah kepada keluarga, sahabat, rekan kerja dan sebagainya.
Apa Pendapat Anda Tentang Artikel Diatas
Silahkan gunakan profile ( Anonymous ) jika anda tidak mempunyai Account untuk komentar
Jika anda ingin berpartisipasi ikut menulis dalam blog ini atau ingin mengirim hasil karya tulisan anda, membagikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang lewat tulisan anda silahkan kirim tulisan anda ke email saya bagindaery@gmail.com
Tulisan anda akan dilihat dan dibaca oleh ribuan orang tiap harinya setelah anda mengirimkannya ke bagindaery@gmail.com