Beberapa hari yang lalu, saya dikirimi artikel oleh teman, yang isinya
tentang jalannya persidangan kasus seorang nenek yang dituduh mencuri
singkong. Artikel ini pertama kali diunggah oleh Polres Sidoarjo dalam
akun Facebook, kemudian menyebar ke situs-situs lain seperti kaskus dan
blog-blog pribadi masyarakat. Demikian artikelnya:
Kasus
tahun 2011 lalu di Kab. Prabumulih, Lampung (kisah nyata),…… diruang
sidang pengadilan, hakim Marzuki duduk tercenung menyimak tuntutan jaksa
PU thdp seorg nenek yg dituduh mencuri singkong, nenek itu berdalih
bahwa hidupnya miskin, anak lelakinya sakit, cucunya lapar,…. namun
manajer PT Andalas kertas (Bakrie grup) tetap pada tuntutannya, agar
menjd contoh bg warga lainnya.
Hakim
Marzuki menghela nafas., dia memutus diluar tuntutan jaksa PU, ‘maafkan
saya’, ktnya sambil memandang nenek itu,. ’saya tak dpt membuat
pengecualian hukum, hukum tetap hukum, jd anda hrs dihukum. saya
mendenda anda 1jt rupiah dan jika anda tdk mampu bayar maka anda hrs msk
penjara 2,5 tahun, spt tuntutan jaksa PU’.
Nenek
itu tertunduk lesu, hatinya remuk redam, smtr hakim Marzuki mencopot
topi toganya, membuka dompetnya kemudian mengambil & memasukkan uang
1jt rupiah ke topi toganya serta berkata kpd hadirin.
‘Saya
atas nama pengadilan, jg menjatuhkan denda kpd tiap org yg hadir
diruang sidang ini sebesar 50rb rupiah, sebab menetap dikota ini, yg
membiarkan seseorg kelaparan sampai hrs mencuri utk memberi mkn cucunya,
sdr panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini lalu
berikan semua hasilnya kpd terdakwa.”
Sampai
palu diketuk dan hakim marzuki meninggaikan ruang sidang, nenek itupun
pergi dgn mengantongi uang 3,5jt rupiah, termsk uang 50rb yg dibayarkan
oleh manajer PT Andalas kertas yg tersipu malu krn telah menuntutnya.
Sungguh sayang kisahnya luput dari pers. Kisah ini sungguh menarik
sekiranya ada teman yg bisa mendapatkan dokumentasi kisah ini bisa di
share di media tuk jadi contoh hakim berhati mulia.
Dalam tautan link yang dikirim lewat FB, sudah banyak komentar mengenai
kasus tersebut. Namun, sebagian besar komentator bukan orang hukum,
sehingga tidak menganalisisnya dari sudut pandang hukum positif. Namun,
saya sebagai mahasiswa hukum, tidak gampang percaya dengan kasus
tersebut. Hal-hal yang membuat saya heran adalah:
1. 1. Bahasa
yang digunakan dalam artikel tersebut bukan bahasa hukum. “saya atas
nama pengadilan”. Majelis hakim itu terdiri dari 3 orang, jadi tidak
boleh memutus menggunakan kata “saya”.
2. 2. Proses
beracaranya ngawur, tidak berdasar pada hukum acara pidana. Dalam
sidang pada hari yang sama, setelah penuntut umum membacakan requisitor,
hakim langsung memutus. Padahal, untuk memutuskan suatu perkara,
majelis hakim membutuhkan waktu paling tidak 7 hari untuk bermusyawarah,
sehingga banyak pertimbangan-pertimbangan yang harus diperhatikan hakim
supaya putusannya adil.
3. 3. Apakah
nenek tersebut selaku terdakwa, tidak didampingi penasihat hukum?
Biasanya, terdakwa yang kurang mampu didampingi oleh penasihat hukum,
meskipun tidak ada kewajiban. Yang berkewajiban untuk didampingi
penasihat hukum adalah terdakwa yang melakukan tindak pidana yang
ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun. Jika terdakwa tidak mampu
membayar advokat, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum, yang
memberikan bantuan hukumnya secara cuma-cuma. Hal ini penting dalam hal
pembelaan. Sebab, terdakwa yang sama sekali tidak mengerti hukum rentan
terlanggar hak-haknya.
4. 4. Putusan akhir kasus tersebut tidak berdasarkan KUHP dan KUHAP. Sesuai Pasal 197 KUHAP, surat putusan pemidanaan harus memuat:
a. a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, bukan “saya atas nama pengadilan”
b. b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan
keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di
sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat surat tuntutan.
f. Pasal
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan
terdakwa.
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.
h. Pernyataan
kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam
rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau
tindakan yang dijatuhkan.
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti
j. Keterangan
bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letak
kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu.
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.
Jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, akibatnya putusan BATAL DEMI HUKUM, artinya, putusan dianggap tidak pernah ada.
5.
5. Yang aneh lagi, si hakim memutus "
saya mendenda anda 1jt rupiah dan jika anda tdk mampu bayar maka anda hrs masuk penjara 2,5 tahun, spt tuntutan jaksa PU".
Ini sangat melenceng dari KUHP. Bahasa yang digunakan pun bukan bahasa
hukum yang biasa digunakan oleh hakim. Di Pasal 30 KUHP, jika denda
tidak dibayar,
diganti
dengan kurungan. Lamanya kurungan pengganti paling sedikit adalah satu
hari dan paling lama enam bulan. Jika ada pemberatan, paling lama
delapan bulan. Dalam kasus tersebut, jelas tidak ada pemberatan, maka
paling lama hanya akan mendapat pidana kurungan pengganti denda selama
enam bulan. Dalam penjatuhan pidana pada perkara pidana umum, terdakwa
hanya dapat dijatuhi satu pidana pokok. Ini pun harus ditegaskan,
dijatuhi dengan pidana pokok yang mana (pidana mati, penjara, kurungan,
denda), tidak ada alternatif atau memilih hukuman. Perkara
yang dijatuhi dua jenis pidana pokok sekaligus hanya dapat diterapkan
dalam perkara pidana khusus, misalnya korupsi, pencucian uang, atau
narkotika.
6. 6. Setelah
putusan dibacakan oleh hakim, hakim pasti bertanya kepada terdakwa dan
penuntut umum apakah terhadap putusan tersebut akan diajukan banding.
Sebab, jika dalam 7 hari tidak ada upaya hukum, putusan langsung
berkekuatan hukum tetap (in kracht) sehingga langsung bisa dieksekusi. Namun, dalam artikel tersebut, pidana denda langsung dieksekusi padahal putusan belum in kracht.
Bahkan, hakim langsung menawarkan alternatif jika denda 1 juta rupiah
tidak dibayarkan, harus masuk penjara. Eksekusi atas pidana denda tidak
serta-merta langsung bisa diganti dengan pidana kurungan (bedakan pidana
kurungan dan penjara). Yang benar menurut Pasal 273 KUHAP, kepada
terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda
tersebut. Jika terdapat alasan kuat denda belum dibayar juga, jangka
waktu dapat diperpanjang lagi paling lama satu bulan. Setelah itu, jika
tidak mampu membayar denda juga, pidana kurungan pengganti denda dapat
dijatuhkan.
7. 7. Si
hakim juga mendenda setiap orang yang hadir dalam persidangan itu
sebesar 50 ribu rupiah. Memang hadirin sidang salah apa? Sebagai orang
hukum, kita harus berpegang pada asas “Geen Straft Zonder Schuld”,
tiada pidana tanpa kesalahan. Adanya kesalahan pun harus dibuktikan
dalam persidangan, baru pidana denda atau pidana pokok lain dapat
dijatuhkan. Hakim mendenda hadirin sidang tanpa aturan hukum yang jelas.
Ini sama saja seperti pungutan liar. Dalam UU Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang. Inilah yang disebut pajak. Jika tidak tertulis dalam
Undang-Undang, namanya iuran dan pungutan liar. Bedanya, iuran
dibayarkan secara sukarela tanpa ada unsur pemaksa dari pihak manapun,
sedangkan pungutan liar bersifat memaksa dan tidak diatur dalam
undang-undang. Jadi, jika si hakim mendenda hadirin sidang sebesar 50
ribu rupiah, berarti pungutan liar, karena sifatnya memaksa dan tidak
ada undang-undang yang mengatur bahwa jika seseorang menetap di kota
tersebut dan membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk
memberi makan cucunya, merupakan perbuatan pidana. Ingat asas legalitas
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah
ada, sebelum perbuatan dilakukan.”
8. 8. Hakim
tidak memakai topi toga. Hakim hanya memakai jubah merah hitam. Saya
rasa, penulis artikel ini tidak pernah menonton sidang.
9. 9. Penanganan
kasus yang digambarkan dalam artikel tersebut bukan merupakan terobosan
hukum. Sebab, terobosan hukum hanya bisa dilakukan jika kebutuhan akan
keadilan sudah sangat mendesak tetapi belum ada aturan yang mengatur
mekanismenya. Misalnya, terobosan hukum dalam Citizen Law Suit
untuk kasus Nunukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Cara-cara yang
dilakukan oleh hakim Marzuki bukan berarti mengambil asas diskresi,
yaitu bertindak di luar aturan hukum tertulis demi tercapainya keadilan,
tetapi pelanggaran atas aturan hukum tertulis itu sendiri. Tentu,
dampaknya akan kontraproduktif dengan tujuan kepastian hukum yang adil.
Aturan tentang proses beracara di pengadilan sudah ditentukan dalam
KUHAP. Ingat, Indonesia menganut sistem hukum civil law, yaitu sumber hukum utamanya adalah peraturan perundang-undangan / peraturan tertulis.
1010. Untuk
hal-hal mengganjal di luar bidang hukum, saya juga menemukannya.
Prabumulih itu letaknya di Sumatera Selatan, bukan Lampung. Selain itu,
tidak ada media yang meliputnya.
Kesimpulan: saya menyatakan bahwa artikel ini HOAX dan penulis artikel bukan orang hukum.
Demikian analisis saya mengenai artikel yang menghebohkan itu. Semoga
mencerahkan. Terlepas dari benar atau tidaknya artikel tersebut, kita
bisa mengambil hikmahnya. Ini adalah tamparan bagi para penegak hukum,
yang hanya mengedepankan kepastian hukum tanpa memperhatikan keadilan
dan kemanfaatan. Semoga kondisi hukum lebih baik. Bangunlah, mahasiswa
hukum yang sedang merintis ilmu hukum! Hukum harus segera disembuhkan!
cipukoya.blogspot.com/2012/03/10-poin-analisis-tentang-kisah-nenek.html