Anda mungkin bertanya-tanya, siapa juara piala dunia 2010 ? Apakah Italia akan juara kembali ? Atau anda menjagokan Spanyol ? Atau tim – tim kuda hitam seperti Korsel ? Namun pilihan saya tetaplah Inggris. Mengapa Inggris ? Alasannya yaitu : 1.Pelatih Inggris adalah Fabio Capello. Pelatih yang lebih mementingkan hasil pertandingan dibandingkan cara bermain. Dibawah kepelatihan Fabio Capello Inggris menjadi tim yang superior pada ajang kualifikasi.
2. Sebelumnya kita lihat pemenang Liga Champions (LC) sejak tahun 2005, yaitu:
Tahun Klub Pemenang LC Negara Asal Klub 2005 Liverpool Inggris 2006 Barcelona Spanyol 2007 AC Milan Italia 2008 MU Inggris 2009 Barcelona Spanyol
Jika melihat asal negara klub pemenang maka tercipta pola : setelah klub Inggris pemenangnya klub Spanyol, setelah klub Spanyol pemenangnya klub Italia, setelah klub Italia klub Spanyol, dan seterusnya. Jika pola ini berlanjut maka pemenang Liga Champions 2010 adalah klub Italia dan pemenang tahun 2011 adalah klub Inggris. Pada 2006 Italia Juara Piala Dunia dan setahun kemudian klub asal Italia yaitu AC Milan juara Liga Champions. Pada tahun 2008 Spanyol Juara Piala Eropa dan setahun kemudian klub asal Spanyol yaitu Barcelona menjuarai Liga Champions. Jika pola yang telah disebutkan diatas terus berlangsung akan tercipta rumus :
Negara asal klub juara Liga Champions tahun x = Pemenang piala tahun sebelumnya
Jika mengikuti pola, maka juara Liga Champions 2011 adalah klub Inggris sehingga juara piala dunia 2010 adalah Inggris. Artikel ini asli pemikiran saya tanpa mengandung unsur-unsur yang sifatnya meniru dan kebenaran artikel ini juga patut dipertanyakan. Apa anda setuju dengan pendapat saya ?
Begitu sampai di hotel, para bolamania dibombardir pesan untuk melakukan seks aman.
(inmagine)
VIVAnews - Pecinta sepakbola seluruh dunia akan memenuhi penjuru Afrika Selatan dalam perhelatan Piala Dunia 2010. Begitu sampai di hotel, para pengunjung ini langsung dibombardir pesan untuk melakukan seks yang aman.
Seperti dikutip dari laman www.iol.co.za edisi Kamis Juni 2010, Pemerintah Afrika Selatan telah memproduksi jutaan kondom untuk kemudian disebar.
Di kota besar seperti Cape Town, kondom yang akan beredar mencapai 200 ribu. Dan sebanyak 160 ribu kondom akan didistribusikan di hotel-hotel di kota itu.
Setiap kamar hotel, langsung disediakan dua kondom per malam sepanjang pertandingan Piala Dunia mulai 11 Juni mendatang.
"Kami ingin kesadaran seks aman menjadi bagian dari liburan ini. Kami sarankan pengunjung bersenang-senang dengan seks aman," kata Kepala Eksekutif Pariwisata Cape Town, Marriette du ToitHelmbold.
Perhelatan Piala Dunia di Afrika Selatan 2010 hanya tinggal hitungan jam saja. Tidak kurang dari dua hari lagi. Gaungnya, sudah jauh-jauh hari terasa di negara yang tak punya perwakilannya bernama Indonesia. Media massa terus mengupas, dan di semua sudut jalanan terlihat pamflet, banner, dan spanduk besar.
Mulai besok, setiap malam dipastikan setiap penjuru dunia ini, juga di pelosok-pelosok pengap di Indonesia, akan menjadi ramai dan hangat. Di kafe, lapangan, warung kopi, dan juga di rumah-rumah. Tak terkecuali, di wilayah yang penduduknya mayoritas Muslim.
Selama lima tahun sekali, mungkin inilah juga salah satu periode ironik dalam hidup kita sebagai seorang Muslim. Walaupun mudah-mudahan tidak, tetapi tampaknya, selama Piala Dunia berlangsung, sebagian besar dari kita akan juga mengubah jam tubuh kita; tanpa disadari berazam kuat untuk bangun malam, begadang menonton pertandingan-pertandingan. Jika tidak semuanya, mungkin sebagian besarnya, mungkin setengahnya, atau mungkin beberapa pertandingan di antaranya.
Andaikata, energi Piala Dunia ini juga dilakukan untuk hal lain di jam yang sama, di waktu yang lain, yaitu melakukan muwajahah dengan Allah swt di malam-malam yang hening dan sunyi. Di mana kita berdiri, bangun dari tidur di sepertiga malam, mengambil wudhu, melakukan qiyyamulail, dan tilawah. Maka, setiap malam di rumah setiap Muslim akan terasa hangat, untuk seluruh keluarga. Kondisi yang sama juga yang dirasakan oleh seluruh keluarga ketika siaran Piala Dunia ditayangkan, hangat dan bahkan panas, namun dengan tujuan dan pencapaian yang sama sekali jauh berbeda.
Coba bayangkan, jika hal ini kita terapkan di malam-malam yang lain (atau juga malam-malam ini?); membangunkan tidur seluruh keluarga di malam hari untuk sama-sama qiyyamulail dan tilawah Quran, dan rumah kita pun menjadi hangat.
Mungkin ada apologi itu: Piala Dunia hanya empat tahun sekali. Tetapi, coba tanyakan kepada diri sendiri; bagaimana dengan waktu-waktu malam-malam lain yang selama ini terlewatkan?
"Bangunlah (untuk salat ) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu. dan Bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan." (Al-Muzammil: 2 - 8). (sa)
JOHANNESBURG (Berita SuaraMedia) – Polisi berparade di jalan-jalan distrik Sandton, Johannesburg, dengan konvoi puluhan kendaraan. Pasukan Keamanan melakukan operasi simulasi, termasuk sebuah helikopter yang menjatuhkan komando ke sebuah mobil yang dibajak, dan menuruni sisi gedung media.
Petugas mengatakan bahwa demonstrasi itu adalah untuk meyakinkan jutaan penggemar sepakbola bahwa Afrika Selatan lebih dari siap untuk mengamankan Piala Dunia secara efektif.
Parade itu terlihat lebih seperti karnaval daripada demonstrasi keamanan dengan lagu dan tarian-tarian hingga musik yang berdentum dan ratusan pekerja kantoran mengibar-ngibarkan bendera Afrika Selatan serta anak-anak sekolah yang mendorong bola sepak raksasa.
Kepala polisi nasional Bheki Cele mengatakan minggu lalu bahwa dia tidak mengetahui adanya ancaman keamanan terhadap kejuaraan sepakbola yang akan dimulai tanggal 11 Juni mendatang itu.
Juru bicara keamanan Irak mengatakan pada hari Senin bahwa Abdullah Azzam Saleh Misfar al-Qahtani, pria Saudi berusia 30 tahun yang ditangkap dua minggu lalu, ikut serta dalam merencanakan aksi teroris di Afrika Selatan selama Piala Dunia.
Laporan itu datang ketika polisi dan militer Afrika Selatan mensimulasikan pembajakan di distrik Sandton untuk mendemonstrasikan kesiapan mereka menjaga pertandingan.
"Rencana komprehensif kami mencakup tindak kejahatan terkecil hingga bentuk paling besar seperti terorisme," ujar Cele.
"Tidak satu negara pun yang kebal terhadap aksi teroris. Yang menjadi penting adalah jika peristiwa itu terjadi, bagaimana kami akan merespon," ujarnya.
"Apa yang membuat kami lebih waspada di dalam rencana keamanan kami adalah bahwa Afrika Selatan akan menjadi tuan rumah bagi seluruh dunia. Karena itu kami tidak akan lengah, mengetahui karakter teroris yang terobsesi untuk bertindak dalam even-even internasional."
Dengan rata-rata 50 pembunuhan per hari, kejahatan selain terorisme justru yang menjadi pusat perhatian menjelang Piala Dunia.
Afrika Selatan akan menerjunkan 41,000 personel polisi selama turnamen yang berlangsung satu bulan itu.
Keamanan dan kejahatan telah menjadi persoalan terbesar menjelang Piala Dunia karena reputasi negara itu yang terkenal akan tindak kekerasannya, 50 pembunuhan per hari, hampir sama dengan AS dengan jumlah penduduk yang enam kali lebih banyak.
Sementara itu, stasiun radio setempat mengatakan berhasil menyelundupkan senjata ke sejumlah penerbangan domestik.
Radio 702 mengatakan reporternya selama tiga bulan berhasil meloloskan pisau, bilah cukur, obeng, dan jarum suntik dari pemeriksaan keamanan di Johannesburg dan bandara-bandara lain yang menjadi tuan rumah turnamen,
ACSA, perusahaan bandara yang bertanggung jawab atas pemeriksaan keamanan, mengatakan sedang memeriksa klaim itu dan akan memperketat prosedurnya. Mereka yakin para penggemar akan aman. (rin/aby) www.suaramedia.com
Barack Obama ingatkan ancaman teror yang mungkin terjadi saat Piala Dunia 2010.
Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan peringatan perjalanan bagi para warganya bahwa Afrika Selatan menghadapi risiko terorisme yang semakin besar selama turnamen Piala Dunia 2010. Amerika mengatakan acara publik besar-besaran merupakan sasaran yang menarik bagi para teroris.
"Ada risiko yang semakin bear bahwa kelompok-kelompok ekstremis akan melakukan tindakan terorisme di Afrika Selatan dalam waktu dekat," demikian pernyataan yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, seperti dilansir BBC, Sabtu (29/5).
Peringatan itu dikeluarkan saat Presiden Amerika Barack Obama menjamu para anggota tim nasional sepakbola Amerika sebelum mereka berangkat ke Afrika Selatan. "Saya hanya ingin menyampaikan betapa bangganya kami terhadap timnas kami," kata Obama, dalam acara yang juga dihadiri oleh mantan Presiden Bill Clinton di Gedung Putih.
Semua warga, kata Obama, akan mendukung timnas Amerika. "Dan walaupun terkadang kita tidak menyadarinya di sini, di Amerika, acara itu adalah acara terbesar di dunia."
Dalam pernyataannya, Kementerian Luar Negeri Amerika mengatakan pihaknya tidak memiliki bukti ancaman khusus dan kredibel terhadap turnamen itu. Namun, mereka mengatakan risiko yang sama sudah dilaporkan berbagai media massa.
Afrika Selatan telah mengerahkan ribuan anggota polisi yang dilatih khusus untuk menangani keselamatan para penggemar sepakbola. Sekitar 350 ribu orang diperkirakan akan mengunjungi Afrika Selatan selama Piala Dunia. Turnamen ini untuk pertama kalinya diadakan di benua Afrika dan akan dimulai 11 Juni.
Tersangka diketahui pernah berdinas di Angkatan Darat Arab Saudi sebagai perwira
Renne R.A Kawilarang
Polisi khusus Afrika Selatan melakukan latihan anti terorisme jelang Piala Dunia (AP Photo/Themba Hadebe)
Pasukan keamanan Irak menangkap seorang militan al-Qaeda yang berencana melancarkan serangan teroris di Piala Dunia Afrika Selatan. Demikian diungkapkan seorang pejabat keamanan Irak, Senin ,17 Mei 2010.
Juru bicara pasukan keamanan di Baghdad, Mayor Jenderal Qassim al-Moussawi, mengungkapkan tersangka bernama Abdullah Azam Saleh al-Qahtani. Dia dulu merupakan seorang perwira Angkatan Darat di Arab Saudi.
Menurut al-Moussawi, Abdullah dicurigai merencanakan aksi teror di Afrika Selatan, selama Piala Dunia berlangsung dimulai 11 Juni mendatang.
Abdullah masuk ke Irak pada 2004. Dia dicurigai turut melancarkan sejumlah serangan di Baghdad dan kota-kota lain di Irak. Pihak keamanan Irak tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai profil Abdullah dan rencana teror yang dia siapkan.
Di Afrika Selatan, polisi setempat mengaku bahwa Irak belum memberi tahu mereka perihal penangkapan itu. "Kami belum menerima laporan resmi dari mereka," kata Vish Naidoo, juru bicara kepolisian Afsel.
Pihak berwenang di Afrika Selatan, Senin lalu telah memperagakan kesiapan pasukan anti teror, pemadam kebakaran, dan unsur-unsur keamanan lain yang akan terlibat dalam pengamanan Piala Dunia.
Afrika Selatan merupakan negara pertama di Afrika yang mendapat kesempatan menjadi tuan rumah turnamen olahraga paling bergengsi di muka bumi ini. (Associated Press | kd)
Kasus Twitter mario teguh - Mario Teguh Klarifikasi Penutupan Twitter, Motivator papan atas Mario Teguh memberikan penjelasan atas penutupan akun di jejaring mikroblog Twitter. Klarifikasi diberikan setelah muncul pro dan ontra atas penutupan akun twitter.com/marioteguhMTGW. Belakangan muncul dukungan ke motivator yang setiap pekan muncul di televisi ini untuk membuka kembali.
Mario Teguh menutup akun Twitter Minggu, 21 Februari 2010, setelah menulis status kontroversial “Wanita yang pas untuk teman, pesta, clubbing, bergadang sampai pagi, chitchat yang snob, merokok n kadang mabuk – tidak mungkin direncanakan jadi istri”. Kontan, tulisan tersebut mendapatkan protes dari pengguna Twitter lain dan berujung penutupan.
Berikut klarifikasi Mario Teguh yang disampaikan melalui akun Face Book:
Berkenaan dengan perkembangan berita mengenai penarikan pelayanan MTSuperClub (MTSC) dari Twitter, bersama ini saya menyampaikan konfirmasi yang mudah-mudahan tidak Anda butuhkan untuk betul-betul mengerti letak konsep dari posting kami di Twitter yang telah menjadi bahan berita di beberapa media.
1. Apa pun prosedur pemilihan, penyusunan, dan penerbitan posting di Twitter dan semua media pelayanan publik MTSC via internet yang hampir mencapai jumlah 900,000 anggota di seluruh dunia, adalah sepenuhnya tanggung-jawab pribadi saya dan hanya saya.
2. Para Moderator MTSC tidak dihukum atau menerima penalti apa pun atas ketidak-setujuan sebagian anggota publik atas posting di media-media kami, karena saya yang menugaskan mereka, dan mereka terjamin dan terlindungi oleh tanggung-jawab saya sebagai pemberi tugas, selama yang mereka lakukan adalah kesalahan; karena kesalahan adalah hal wajar bagi siapa pun yang sedang belajar untuk menjadi lebih mampu. Mereka akan sangat terhukum jika kesalahan itu disebabkan oleh ketidak-jujuran.
3. Tujuan dari postings di media pelayanan MTSC adalah untuk memajukan pemikiran, penyikapan, dan perilaku yang mengutamakan kedamaian, kesejahteraan, dan kecemerlangan peran pribadi mereka yang kami layani dalam kehidupan pribadi dan profesi mereka.
4. Atas anjuran MT Management, saya dan beberapa MTSC Moderator memulai proses belajar menemukan cara-cara untuk menggunakan kekuatan dari jejaring Twitter untuk melengkapi sistem pelayanan publik kami yang sudah ada. Kami mulai aktif menggunakan Twitter dengan nama account MarioTeguhMTGW pada 1 Februari 2010, yang dalam 20 hari telah menerima lebih dari 23,000 followers.
5. #MTOF (MT Open Forum) adalah trending topic yang kami rancang sebagai koleksi mata diskusi akhir minggu (Sabtu dan Minggu, 20-21 Februari 2010).
6. #MTOF 6. adalah mata diskusi yang menasehatkan anak putri kita untuk tidak mempersulit masa depan kehidupan pribadi dan pernikahan mereka sendiri.
7. Mohon ditaruh konteks no. 6 sebagai semangat dan niat dari tweet #MTOF 6, sebagai berikut: “Wanita yang pas untuk teman, pesta, clubbing, bergadang sampai pagi, chitchat yang snob, merokok n kadang mabuk – tidak mungkin direncanakan jadi istri”.
8. Nasehat itu adalah masukan bagi anak-anak putri kita untuk lebih berhati-hati, karena rekan pria mereka bisa tidak melihat kesesuaian bagi anak-anak putri kita untuk menjadi pendamping dan ibunda bagi anak-anak dari pria yang mereka cintai.
9. Sebagai mata diskusi, #MTOF 6 adalah judul dari diskusi, dan lebih ditujukan sebagai pemulai proses diskusi, dan bukan suatu judgment terhadap wanita tertentu.
10. Tetapi, kami bisa memahami bahwa kesalah-penafsiran bisa dikenakan kepada topik itu, terutama karena posting tersebut dibatasi sebanyak maksimal 140 huruf, yang kemudian dapat di-edit dan di post ulang (retweet) dengan bebas, tanpa harus setia kepada keseluruhan maksud dari posting awalnya.
11. Kami berupaya memperbaiki pengertian yang jauh dari yang kami maksudkan dalam mata diskusi tersebut, tetapi tidak mampu meluruskan pengertian dari sekian banyak penerima retweet yang berada dalam network accounts dari yang me-retweet.
12. Kami menerima kritikan dan perbedaan pendapat dengan penghormatan yang seutuhnya, tetapi kami tidak merasa damai dengan bahasa yang kurang santun dalam menyampaikan kritikan, sehingga para Moderator MTSC mem-block account yang tulisannya dapat mengganggu kedamaian followers yang lain.
13. Tetapi kemudian kami harus menerima kenyataan, bahwa orang yang cenderung berbahasa kurang santun, akan menjadi sangat tidak santun jika kita block dari komunitas kecil yang sedang kami bangun keakrabannya ini.
14. Penjelasan dan postings berikutnya tidak membantu meluruskan pengertian dan mengindahkan nada kritikan dari retweet yang sudah diedit dan di-‘sederhanakan’ agar memaksimalkan pengertian agresif dari mata diskusi tersebut.
15. Saya mengambil inisiatif untuk menyampaikan klarifikasi dan permohonan maaf dari pribadi saya kepada sahabat-sahabat saya yang menjadi gundah dan terluka oleh posting yang ada di account tweeter MarioTeguhMTGW, pada tanggal 20 Februari 2010, malam hari.
16. Sebagian dari sahabat saya yang tadinya murka, menerima permohonan maaf saya, dan menasehati saya untuk lebih berhati-hati dalam pelayanan saya berikutnya (my deepest respects to you). Tetapi, masih saja ada postings yang berbahasa yang tidak nyaman diutarakan bahkan oleh hati yang menulis, apalagi bagi kami yang membacanya.
17. Awalnya saya mengajukan diri untuk sepenuhnya mengelola account MarioTeguhMTGW tanpa bantuan para Moderators, yang kemudian saya sadari tidak akan mungkin saya lakukan, karena intensitas moderasi untuk konten dan kepatutan bahasa Indonesia yang kami standarkan bagi semua media pelayanan publik kami.
18. Setelah rapat Moderator MTSC pada hari Minggu pagi, 21 Februari 2010, kami memutuskan untuk mengakhiri pelayanan MTSC via Twitter, dan mengalihkan perhatian kami kembali ke media-media pelayanan kami yang sudah ada dan lebih mapan sekarang.
Sekali lagi, bersama ini saya mengambil tanggung-jawab penuh atas ketidak-nyamanan yang dirasakan oleh sebagian anggota publik, baik yang tidak menyukai posting langsung dari kami atau yang dimarahkan oleh editing lepas dari judul diskusi tersebut di media yang sama atau yang lain.
Dan untuk itu saya dengan sangat tulus memohon maaf, dan merasa sedih menyaksikan mereka yang menjadi tujuan dari pelayanan kami – menjadi tidak damai oleh cara-cara kami.
Metrotvnews.com, Jakarta: Mulutmu Harimaumu. Pepatah tua ini mengingatkan perlunya berhati-hati dalam berbicara. Jika salah, bisa-bisa kita sendiri yang terkena getahnya. Tampaknya, getah itulah yang kini dituai motivator dan pembicara kondang Mario Teguh.
"Perempuan perokok dan suka dugem (dunia gemerlap) tidak layak dinikahi". Itulah salah satu pernyataan (posting) motivator Sis Maryono Teguh alias Mario Teguh di akun jejaring sosial Twitter-nya. Postingan-nya inilah yang kemudian menuai kontroversi.
Posting Mario Teguh itu di-launch pada Sabtu (20/2) malam. Posting lainnya di akun Mario Teguh berbunyi "wanita yang pas untuk teman pesta, clubbing, begadang sampai pagi, chit chat yang snob, merokok, dan kadang mabuk, tidak mungkin direncanakan jadi istri". Pernyataan itu sontak membikin followers Twitternya berang.
Namun demikian, tweet (pernyataan) Mario Teguh soal perempuan itu tetap mendapat dukungan. "Dari kontradiksi pernyataan itu saja saya sudah mendapat dukungan 78 persen," ujarnya.
Di lain pihak, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Mariana, dalam dialog pagi MetroTV tetap menentang pernyataan Mario Teguh di Tweeter itu. Mariana bersikeras bahwa pernyataan itu berbau diskriminasi.
"Yang lebih banyak merokok dan minum itu siapa, lelaki atau perempuan. Saya sendiri sebagai perempuan tidak pernah mempermasalahkan lelaki perokok. Awalnya saya sudah setuju dengan pernyataan Pak Mario Teguh, tapi kok di Twitternya, jomplang banget," ujarnya. Ikuti perbincangan Mario Teguh selengkapnya. (*****)
Pro Dan Kontra sedang di alami Mario teguh seorang motivator terkenal yang kita akrab dengan Salam supernya dimana ini disebabkan Dalam postingan di akun twitter Mario Teguh Open Forum no.6 (#MTOF 6) pada Sabtu (20/2) malam, Mario menyebutkan, "Wanita yang pas untuk teman pesta, clubbing, begadang sampai pagi, chitcat yang snob, merokok dan kadang mabuk, tidak mungkin direncanakan jadi istri." Lengkapnya anda bisa lihat Status Heboh Twitter Mario Teguh.
Pernyataan atau Status Twitter tentu saja ada yang pro dan kontra? yah kalau gak pro dan kontra mungkin gak seramai ini. Ada yang bilang itu benar ada juga yang menggangap Pernyataan status twitter mario teguh diatas dianggap diskriminasi terhadap wanita :(, mungkin bila saja dalam di twitter tersebut ditulis "wanita/Pria", mungkin tak akan menjadi kontroversi seperti saat ini.
Dan Mario Teguh menutup akun Twitter Minggu, 21 Februari 2010, setelah menulis status kontroversial, berikut Klarifikasi Mario Teguh Penutupan Twitter. Memang sih sangat disayangkan kenapa harus ditutup, karena pasti nanti ada yang bilang pak mario teguh itu tak tahan di kritik ..?,
Tetapi sudahlah kita lihat saja perkembangannya, semoga kita dapat pembelajaran yang terbaik dalam kontroversi ini... kan kita sudah biasa sama yang kontroversi-kontroversi ? sepi dan bukan indonesia namanya kalau tak ada kontroversi LOL :)'
Mengapa sebuah karya patut atau paling tidak menjadi perlu untuk diapresiasi? Tentu, jawaban kita berbeda-beda. Yang jelas, tidak ada salah satu di antara kita dapat memaksakan tafsir dan penafsiran atas sistem tanda yang seolah-olah bergerak masuk menelikung, kemudian bersemayam pada keyakinan setiap manusia. Misalnya, ada yang berkata, “Saya membeli buku ‘Kuda Terbang Mario Pinto’ karena ingin mengenang kembali pegasus kecil dan sama sekali bukan karena Linda Chrystanti, si pengarangnya.” Apa yang dapat kita katakan? Tentu, kita hanya akan tersenyum sambil berharap semoga si empunya berhasil mendapatkan apa yang ia cari.
Tak ada yang salah. Jelas, tak ada yang salah karena makna bersifat arbriter. Ia semena-mena. Bahkan, Tuhan bisa tewas dalam sekejap dalam genggaman jari-jari kita. Tentu saja, itu terjadi bila kita memang sungguh-sungguh menginginkannya. Sama seperti Nietzshe, kita bisa sangat berkuasa atas apa saja. Sebab, memang ada kedaulatan berpikir atas manusia selain tentunya ada juga aspek kesadaran yang menjadi standar nilai di dalam mekanisme kehidupan itu sendiri. Dan, makna bergerak sekaligus bersamaan dengan sistem tanda dan tentunya juga bersamaan dengan bagaimana kekuasaan yang ada di sekeliling pemaknaan itu bekerja. Maka, ketika sebuah karya berhasil menerobos sistem pasar, dan telah berhasilmenunjukkan kemampuannya menancapkan kuku di ruas-ruas ranah publik,ini menjadi hal penting dan patutkita bicarakan. Sebab, sebuah karya atau sesuatu -apapun itu-, ketika berada di ruang itu, akan memperoleh kembalihaknya yang hilang untuk, minimal, dimaki.
Apa pentingnya pemaknaan? Dan, apa pentingnya kita membicarakan apa pentingnya pemakanaan di sini? Ah, tentu kita harus merelakan tak sedikit waktu buat ini. Sebab, ini sama halnya dengan persoalan pasca membaca, pasca melihat, dan pasca memilih.Jelas, semua memiliki konsekuensi. Membaca adalah hal yang mudah, tetapi memaknai adalah kerja yang menguras energi beberapa kali lipat dari pada sekedar membaca. Dalam memaknai, kita dipaksa untuk mampu merekonstruksi pemahaman. Sementara, konstruksi pemahaman sudah terlalu lalu-lalang dalam kehidupan.Kita masih pula diharuskan untuk menetapkan pilihan atau bagian mana yang kita percayai. Pemaknaan mengandaikan pemahaman meski dalam banyak hal memahami berarti ‘berdamai’. Tetapi, kita memperoleh tuntutan untuk menyatakan gagasan sampai pada batas pemaknaan. Sehingga, sistempemaknaan juga adalah usaha keberpihakan. Sebuah tindakanpolitis dari tubuh kehidupan kita.
Bagaimana kedudukan karya? Dalam hal ini, karya sastra. Sebuah kumpulan cerpen `Kuda Terbang Mario Pinto` karya Linda Chrystanti. Apa perlunya, kita melakukan usaha pemaknaan dalam hal ini? Apa menariknya seorang Linda Chrystanti denga`Kuda Terbang`nya?
Karya merupakan kumpulan sistem tanda yang dalam hal ini menggunakan bahasa non verbal sebagai medium utamanya. Bahwasanya, tulisan (cerpen) adalah media yang dipilih Linda Chrystanti untuk mentransformasikan realitas yang berkembang disekitarnya. Sementara, bahasa sebagaimana kita ketahui adalah sebuah pernyataan sikap. Itu adalah hal paling mudah yang dapat kita identifikasi. Meski demikian, ia sesungguhnya adalah alat mobilisasi peran yang paling efektif yang dapat digunakan untuk mendukung sebuah program kerja –jelas politis. Kerja-kerja ini mengharuskan kita untuk mau mempelajari teks-teks budaya yang berkembangdan sekian kemungkinan yang dihasilkannya. Pada bahasa ada, gerak perlawanan sebagai sebuah upaya merenkonstruksi realitas melalui pernyataan yang diamini sang pengarang (author). Bahwasanya,didalamnya, termaktub paham nilai yang jika di-metafora-kan akan menjadi bendera yang dikibarkan si pengarang. Pada Linda, kita akan mengidentifikasi kecenderungan yang ada sekaligus menjawab bagaimana konsistensinya dalam hal tersebut.
Yang akan kita gunakan sebagai tonggak -tolakan berfikir- adalah asumsi bahwa karya Linda sepenuhnya bertutur dengan gaya psikologi non medik. Hal ini dapat dengan mudah kita lacak melalui permainan kata yang digunakannya. Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana sikap Linda sebagai author atas bahasa.
***
Sastra-karya, sebagaimana fungsi kerja dalam kehidupan, sudahsejak awal berdiri di antara silang lintas paham. Tetapi, sebagaimana kita memahami dialektika triadik (triad dialectic) Berger; korelasi antara internalisasi, eksternalisasi dan objektifikasi menjembatani ruas-ruas persoalanyang ditimbulkan oleh pemahaman binner. Konsepsi dialektika triadik ini menjadijalan keluar di antara pertentangan binner. Ini semacam sintesa atas logika yin-yang yang menggenapi korelasi kontradiktif.Sehingga, kini tidak menjadi penting, pernyataan –pun sekaliguspertanyaan-; misalnya, apakah sastra merupakan representasi hidup atau justru sebaliknya. Dengan dialektika triadik ini, kita diajarkan untuk tak menafikkan unsur kesejarahan dalam turbulensi kehidupan seorang pengarang. Bahwa sesungguhnya,ada hal penting di balik sebuah kerja: bahwa hakikat menjadi sebuah dasar, das sein yang bukan beban atau kemudian sering kita dengar dengan sebutan cemooh `tugas mulia manusia` yang kemudian memang menjadi sebuah keharusan yang wajib. Wajib pada aras ini, diartikansebagai sebuah bagian yang tak mungkin terpenggal dari tubuhsosial manusia. Bahwa kerja dan karya memiliki implikasi logis secara sosial, yakni pemenuhan kesadaran sebagai seorangmanusia yang mampu memanusiakan dirinya maupun sekelilingnya. Dalam bahasa mudahnya, adalah, kesatuan/penyatuan makro dan mikro kosmik menjadi sebuah harmonisasi yang dialektis.
Dengan itu, kita akan mampu membedah kedirian sebuah karya tak terlepas dari teks maupun konteks yangmenghinggapinya.
Untuk itu, sungguh sangat membantu, misalnya strukturalisme genetik yang dikembangkan Lucien Goldmann : bahwa untuk menjabarkan sebuah kedirian karya kita akan sampai pada satu pemahaman yang lebih baik apabila kita mampu merangkum kisi-kisi struktur karya, memahami subjek atau individu di belakang karya tersebut sekaligus pahampandangan dunia yang melingkupi karya tersebut. Nilai yang ditransformasikan dalam karya akan terungkap melalui intimasi dengan teks dan konteks yang dibangun berdasar kesadaran. Sehingga, tidak ada lompatan ekstrem yang meninggalkan lubang gelap dalam struktur sejarah maupunkebudayaan kita yang berkembang. Dengan metode ini, kita bisatetap berjaga-jaga untuk sekedar sadar di tengah berbagai kemungk inan. Dalam kepungan kesunyian, misalnya.
***
“Mereka siap menjadi lupa”
Ini adalah kalimat yang diucapkan seorang ibu dalam ceritapendek (cerpen) `Qirzar` karya Linda Chrystanti (h.110). Sebuah cerpen yang berkisah mengenai para manusia yang berlomba untuk menjadi lupa. Mereka yang mengejar Qirzar dari Aqtar, minuman lupa yang dapat melumat dukakala kehidupan. Meluluh-lantahkan ingatan pedih kenyataan yang tak lagitertanggungkan. Hingga, tubuh adalah semata ruang bagi jiwa yang tercerabut dari akar kesejarahannya.
Dendam yang menetas dari ladang-ladang pembantaian akan luluh dengan minum Qirzar dari Aqtar, Qirzar pembuat lupa dengan rasa getirnya yang tajam. Rasa kehilangan, amarah, kengerian, dan ingatan buruk sirna pada teguk pertama.
Tetapi, benarkah kita siap menjadi lupa? Dalam The Book ofLaughter and Forgetting, Kundera menyebutkan `perjuanganmelawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa`. Ini menjadi semacam kisah manusia melawan takdir. Seperti mati, manusia juga diletakkan dalam kerangka renta meski kokoh di sisi lain tentunya. Dalam perjalanannya itu, terekam keping sebuah catatan –yang tak berbatas nilai kuantitatif dan kualitatifnya. Memori dan iklim bawah sadar, tempat cendawan kejutan bermukim subur. Hingga, tiap kemungkinan tak mengenal kata tak mungkin.
Dan, demikianlah hidup manusia. Adakalanya, harddisk yang perlu di-defrag, begitu juga manusia. Ada kehendak merunut. Ada kehendak menjabarkan. Ada kehendak memaknai rajutan awal dalam memori. Merangkai kembali akar kesejarahan. Demi sebuah ke-menjadi-an meski berada di tengah bayangan keretakan yang abadi sekalipun.
Dalam kaitannya dengan karya, `mereka siap menjadi lupa` adalah pernyataan menarik yang dapat digali. Hal ini mengingatkan penulis untuk segera mengkorelasikan cerpen-cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen `Kuda Terbang Maria Pinto` (selanjutnya disebut dengan KTMP) karya Linda Christanty dengan fenomena intertekstual yang ada. Misalnya saja, kaitan alienasi sebagai imbas modernitas dengan gejala menjadi lupa yang merupakan subordinans yang terekam dalam perjalanan manusia sebagai seorang warga negara dari kelas yang terjajah.
***
Dalam karya Linda, kita akan mencermati hal tersebut. Dari 12 cerpen yang dimunculkan dalam KTMP (Kuda Terbang Maria Pinto, Makan Malam, Pesta Terakhir, Lubang Hitam, Balada Hari Hujan, Danau, Lelaki Beraroma Kebun, Perang, Joao, Qirzar, Rumput Liar, Makam Keempat),kita akan dapat melihat bagaimana Linda memaknai memori kolektif yang terekam dalam gejolak-gejolak sosial yang terjadi selama proses pembentukan bangsa ini.
Misalnya saja, pada cerpen pertama `Kuda Terbang Maria Pinto` dan `Joao` yang mengambil ruang dan waktu dimana aspek psikologis dari seorang manusia prajurit dari satuan gugus depan harus memahami tugas dan kewajibannya. Bedanya, Kuda Terbang Maria Pinto mengambil setting Yosef Legiman. Seorang tokoh Laki-laki Jawa-Khatolik yang berangkat ke Timor-Timur demi menunaikan tugas keprajuritannya. Sementara Joao justru digambarkan sebagai seorang tentara milisi yang baru berusia 14 tahun. Meski pada Kuda Terbang Maria Pinto terlihat bias-mitologi yang kuat;
Para penghuni negeri tersebut bergegas mati, hilang, bunuh diri, menjadi gila, atau masuk hutan bersatu dengan babi liardan rusa. Malapetaka tengah melanda negeri leluhurnya, sehingga Maria dipanggil pulang oleh para pemimpin suku agar memenuhi takdirnya. Dukun-dukun suku menasbihkan Maria sebagai panglima dengan senjata sihir tua dan kuda terbang, karena dialah yang terpilih oleh bisikan gaib para leluhur. Sejak saat itu Maria Pinto menjadi pemimpin pasukan kabut yang berbahaya, mengepung musuh di tiap zona, menciutkan nyali orang-orang yang bersandar pada hal-hal nyata; golongan yang mencampakkan dongeng dan mimpi.
kedua cerita tersebut pada dasarnyamerekam bagaimana unsur-unsur kewajiban militer yang pada banyak sisi telah mengebirikan manusia sebagai subjek-individu. Bahwa telah terdapat kontrak yang tak terelakkan, keharusan yang ada adalah semata sebuah kewajiban. Dan, hal tersebut, yang pada dasarnya adalah sebuah kebijakan atau instruksi struktural, menjadi mutlak dilaksanakan. Tidak ada lagi subjek-individu yang mahardika.
Tirai sebuah jendela di lantai tujuh gedung seberang terbuka lebar. Seseorang terlihat mondar-mandir, berbicara pada dua teman. Titik merah dalam lensanya ikut bergerak. Pupil matanya menajam. Ia membayangkan dirinya seekor elang. Kini sasarannya berdiri membelakangi jendela. Ia pelan-pelan menarik picu senapan,menuju titik merah pada lingkaran, menyambar.
Kaca jendela pecah berkepingan di gedung seberang. Seseorang jatuh tersungkur di lantai. Ia sudah melaksanakan tugas. Kini dinyalakannya telepon selular dan melapor pada sang komandan.
Pada tataran ini, manusia digambarkan menjadi semacam boneka yang hanya mampu mengikuti aturan main yang bahkan tidak ia buat. Kesadaran yang tak menjadi. Bahkan, begitu mengerikan logika-logika macam ini berkembang. Hannah Arendt, filsuf berdarah Yahudi yang pernah mengalami masa kekejaman Nazi, menyebutnya sebagai banality of evil. Sebuah keadaan di mana kejahatan yang mereka lakukan sepenuhnya diyakini sebagai suatu bentuk kerja yang tak dapat digubah lagi sifatnya. Disiplin adalah agama, danketaatan adalah iman. Yakni, sebuah usaha untuk menerima perintah tanpa sedikit pun mengenal kata penolakan. Kini, segalanya bergerak menjadi rutinitas yang termaklumi.
Tentu, kita tak akan berusaha berlama-lama di ruang ini. Sebab, yang kita bicarakan adalah bagaimana Linda menjabarkannya kesakitan-kesakitan jiwa yang terjebak dalam raga yang penuh dengan tekanan sistemik sehingga ia tak mampu menyatakan keutuhannya. Lalu bagaimana dia menggambarkan Yosef Legiman pada akhirnya? Apakah semata `dosa itu tertanggung pada pundaknya?
Angin tiba-tiba bertiup kencang lewat jendela. Tubuhnya mengigil. Ia melihat Maria Pinto menyebrangi langit dengan kuda terbang. Mengapa perempuan itu selalu mengikutinya ke manapun? Maria Pinto tersenyum, mengulurkan tangannya yang putih dan halus. Bagai tersihir Yosef menyambut jemari gadis yang menunggu. Ia merasa terbang di antara awan, melayang, melihat sebuah dunia yang terus memudar di bawahnya.
Pada `Qirzar`kita juga akan temui jejak-jejak yang sama. Bahwa lupa yang diinginkan oleh masyarakat Aqtar adalah manifestasi dari luka fisik maupun psikis yang mereka alami. Hal itu bermula dari begitu biasanya darah tumpah di sekitar mereka, dan betapa kekerasan adalah simbol yang menjadi batu penjuru dalam hidup mereka. Mengenang begitu padatnya memori kolektif menerima kenyataan pahit itu, bawah sadar manusia yang terbelenggu membentuk sebuah tempat berlindung baru. Qirzar dari Aqtar dianggap menjadi penawar mujarab dari hati yang nelangsa. Ia adalah jawaban. Dan, usaha menggapainya adalah wujud kerinduan tak terperi kepada penolakan terhadap lalim.
Sesungguhnya, para serdadu itu menempuh perjalanan asing yang tak pernah selesai. Sebagian mati lelah, sebagian bunuh diri sebelum menjejakkan kaki di Aqtar. Mencari kota itu sama hakikatnya dengan hidup, yakni memberikan mati. Sesuatu yang tak dipilih, tapi sudah digariskan. Tak ada seorang pun pernah mencapai Aqtar. Minuman pembuat lupa lebih merupakan legenda, yang bisa menentramkan orang-orang dari sesuatu yang berkecamuk dalam diri mereka dan menghibur para serdadu saat terbangun dalam mimpi tengah malam.
Linda sendiri kemudian menuturkan bentuk kerinduan itu
Ia ingin berbicara pada pemimpin agar perang dilenyapkan dari sejarah negrinya agar orang tak perlu menghapuskan semua ingatan terbaik mereka.
Memang, mana ada manusia yang rela kehilangan ingatan terbaik mereka…. Sebab, di sanalah romantika di batas harapan dan impian singgah di kesadaran yang kini.
Catatan-catatan gelap yang tertinggal dalam memori kolektif kita sebagai seorang manusia Indonesia memang begitu kejam. Dalam `Pesta Terakhir`, Linda mengupas sebuah fenomenapenghianatan. Tentang bagaimana kesadaran menjadi tersandera ketika realitas dan kisi-kisi hitamnya menjebak seseorang. Pada titik itulah, apapun dapat dilalui melalui sebuah lompatan-lompatan beresiko tinggi ketika kehendak untuk berkuasa begitu mengakar.
Dalam sel sempit di Salemba dulu, mereka pernah bertaruh dengan nasib, berbulan-bulan. Ia tak tahan. Nafsunya, terutama, butuh pelampiasan. Berkali-kali ia onani saat teman-temannya sudah bergeletakan tidur malam sehabis korve seharian yang menyiksa. Ketika seorang petugas mendekatinya dan menawarkan kerja sama, ia setuju. Ia hanya diminta menyebutkan nama-nama yang dianggapnya sangat berbahaya.
Kisah ini bertutur tentang laki-laki yang bertahun-tahun mencatat dan melaporkan nama-nama. Selama itu pulasi laki-laki dapat merasakan kelimpahan hidup. Ia dan beberapa kawannya adalah korban. Semena-mena dianggap terlibat dalam kasus 65. Tak diadili, tapi dikebiri secara sosial lalu menemukan konteks kematian ‘aku’.
Hidupnya makmur berkat pekerjaan sebagai juru catat. Biaya bersenang-senang melimpah. Ia bisa bepergian ke berbagai negeri, bercinta dengan banyak perempuan beragam bangsa.
Beberapa kawan baiknya pun dikorbankan. Ia sendiri selamat tak kala mereka semua diangkut dengan kapal pertama menuju sebuah kamp. Namun, toh hati manusia tak dapat ditipu selamanya. Setelah beberapa periode, laki-laki dan Alma, anak dari isterinya yang ketiga itu selalu menyangoni beberapa kawan lamanya, karena mereka semua hidup susah. Pada pesta ulangtahunnya kali ini si laki-laki ingin membuat pengakuan. Ia merasa ini akan menjadi ulang tahunnya yang terakhir. Tetapi belum sampai kata itu meluncur, keadaan membuatnya harus berhenti.
Tiba-tiba terdengar jeritan dari kolam. Seorang cucunya menunjuk-nunjuk panik ke kolam. Lho, mana cucunya yang seorang lagi? Ya, Tuhan, si Sena terjatuh. Olala. Ia langsung berlari melewati lubang pintu yang terbuka. Orang-orang riuh. Mursid tertegun di sofa. Angin musim panas berdesir lagi dalam ruangan. Amis lumpur mengelana dalam udara.
Tampaknya, kenyataan yang tergadaikan ini menjadi tema utama yang mengusik Linda. Dalam beberapa karyanya yang lain, ia juga mengungkapkan hal yang sama. Kesakitan personal dari luka-luka dalam memori kolektif yang telah terlampau mengakar. Misalnya saja, `Lubang Hitam`. Dalam kisah itu, Linda berusaha menggambarkan skizofrenia-paranoia dari seorang tokoh perempuan bernama Rena ketika ayahnya, laki-laki yang menurunkan berkah darah dalam dagingnya sendiri, memperkosanya. Pada kisah itu, Linda masuk menggunakan penghayatan Electra. Yakni, sebuahkisah tragik tentang anak yang mencintai ayah kandungnya sendiri. Umpatan-umpatan tentang batas citra diri perempuan timbul tenggelam. Misalnya saja, bagaimana Tina, adik tokoh Rena, memaki-maki arwah ibunya. Diatas pusara ibundanya, ia berkata
“Ibu, kenapa perempuan harus punya lubang?”
Sisi kelam hitam itulah, yang pada satu titik menghasilkan konsekuensi berantai yang bersifat massif. Bahwa ikatan sistemik dari kecarutmarutan yang ada toh pada akhirnya menggarami individu-individu untuk menjadi semakin matang. Bukan matang dalam belaian kesadaran, tetapi matang pada tingkat psycosickness. Sebagaimana Linda tidak melakukan judgment atas pilihan homogenitas kelamin yang ia lekatkan pada tokohnya, kita juga hanya akan sanggup melihat, dan menanggapi berdasar guliran peristiwa yang mengikatnya.
Bagaimana dan apa syaratnya hingga orang yang satu punya kesan lebih dalam ketimbang yang lain? Bagaimana cara kerja hati?
Pada ‘Balada Hari Hujan’, kita juga akan menemui sensasi keterkejutan. Alur dalam kisah ini begitu perlahan. Jauh dari kesan terburu-buru. Linda mampu menyelesaikan tahap demi tahap dengan memikat. Menggambarkan kerumitan sebagai sebuah usaha untuk mengurai tali kusut yang tak memiliki ujung. Dalam karya itu, kita melihat kesederhanaan suasana yang dibangun tanpa efek-efek bombastis. Hingga, ruang-ruang dualitas dari sosok yang tercerabut mampu tergambarkan dengan baik:
..ini bukan kisah tentang kerajaan, melainkan kisah tentang kepedihan
demikian ujar Linda di akhir bab tentang bagaimana seorang waria menyadari fenomena keabu-abuan yang menyanderanya.
Satu karya lain yang juga menarik adalah ‘Perang’. Situasi-situasi auratic yang mewabah di alam bawah sadar bangsa yang terjajah berusaha ditampilkannya. Linda menyatakan, perang tak pernah menyisakan pilihan kecuali memberi kenyataan menang atau kalah yang sungguh jauh dari logika benar atau salah.
Perang membuat orang memilih menjadi siapa saja atau apa saja. Tak peduli jadi pelacur atau nyonya. Bagiku, keduanya bisa sama-sama terhormat atau sama-sama sial. Pengertian tentang kehormatan hanya menimbulkan kegilaan, sebagaimana wanita Indo yang satu kerangkengan denganku. Ia selalu berteriak, “Heil Hitler! Heil Fuhrer!” dan tak mengurungkan niat serdadu-serdadu itu untuk memperkosanya. Siapa yang bisa disalahkan?Dalam keadaan perang tak ada istilah salah atau benar, tapi kalah atau menang. Kebenaran atau kesalahan tergantung penilaian pihak yang menang.
***
Indonesia dalam kerangka negara bangsa hingga kini memiliki catatan panjang sejarah merah. Ini merupakan alur yang bersifat sangat kompleks. Indonesia adalah negara bangsa dengan struktur dan akar kesejarahan yang anonim. Mengapa demikian? Hal tersebut tak lain berkait dengan bentukan tak selesai yang tercecer dalam perjalanan sejarah Indonesia. Kemudian, berbicara status dan keberadaan Indonesia dalam lintang geopolitik global terkait juga, kerja-kerja kapitalisme Internasional setelah kita dikepung dalam kerja-kerja kolonialis-imprealis lewat penjajahan sebelumnya. Belum selesai kita petakan, kerja-kerja itu merangsak, dan berkembang menggurita. Beberapa catatan akan menjadi terlalu panjang untuk disebutkan disini. Konsekuensi riil yang tertangkap dalam jaring-jaring pemaknaan kita sehari-hari adalah lahirnya kekerasan struktural maupun kultural yang mengendap berkat status kemiskinan (dalam berbagai aras) yangbergerak tak seimbang diantara lapisan masyarakat yang ada. Akibatnya,pembentukan subjek –individu- makin tercerabut dari kemenjadiaannya dan kekerbentukannya sebagai manusia dari sejarahnya (manusia yang menyejarah). Secara psikologis, hal itu terlihat dari pembentukan opini bawah sadar (stereotype) yang terlalu hitam, samar untuk diejawantahkan dan bahkan bergerak menjadi semacam gelombang dari bawah tanah (pusara) yang menerpa konsep pemenuhan diri itu sendiri. Ia dapat menjadi badai yang sewaktu-waktu hadir dan meluluhlantakkan segala sesuatunya.
Realitas sendiri akan menjadi semakin semu ketika Rasa (dengan R besar!) sendiri menjadi terdomestifikasi. Realitas semu adalah kenyataan yang bergerak yang justru dalam beberapa waktu terakhir, harus kita akui sebagai sebuah kenyataan bentuk (figurative reality). Hal ini bekerja sistematik dan bergerak berbanding terbalik 180 derajat. Ada lapisan sosial realitas yang mau tak mau harus diakui sebagai kenyataan yang menimpa pada ke-kini-an kita, di hari-ini kita. Sehingga, kalau Slank membawakan lagu `Terbunuh Sepi`,memangsesungguhnya itulah yang tengahmengepung kita.
gerimis di tengah malam
di tempat sedingin ini aku sendiri
dan tak ada lagi tempat berteduh
dan tubuh untuk ku peluk
sepi membunuhku…
(Slank)
Keruntuhan ini adalah manifestasi terbesar dari keterasinganyang telah merenggut harkat kemerdekaan manusia. Semata, bukan pada wilayah personal, tetapi sudah hinggap mewabah hingga ke relasi-relasi sosial yang kemudian menjurus ke konflik sosial. Dan, `menjadi lupa` adalah sebuah ambisi yang dapat menolong mereka dari tikaman gelombang kesadaran hitam yangsudah terlalu lama membeku dan membekap mereka. Anomali insight yang kemudian banyak disebut-sebut sebagai `penyakitmodernitas’.
***
Pada tataran ini fenomena sosial yang menguasai manusia -hingga sampai pada kesan terberi, memang menjadi suatu kawasan hitam. Dalam ruas tersebut, garis batas menjadi sangat tipis, dan sungguh menyulitkan sehingga berbicara tentang kesadaran pun menjadi jauh lebih rumit. Ada terlalu banyak kelebatan di tengah konteks Indonesia sebagai sebuah negara berkembang. Konteks itulah yang membuat kebenaran atas kenyataan menjadi berlapis-lapis. Ada bayangan; lalu lapis demi lapis tumpukan diatas kebenaran yang makin lapuk termakan usia dan karat jaman. Dan, itulah Indonesia kini. Sebuah kenyataan terberi yang memaksa anak-anak bangsanya untuk turut menanggung kelaliman dan dosa asal sosial. Dan, begitulah Linda merekam fenomena disekitarnya.
Pada Linda, hal itu tentu juga tidak serta merta menjadi. Ada fase dan bahkan terlalu banyak penggalan-penggalan peristiwa yangharus dilewatinya. Untuk itu, bolehlah ia merasa wajib berterima kasih kepada masa lalunya. Relung yang telah mengenalkan dia dengan hakikat kehidupan: turbulensi-dialektik.
Dahulu. Ketika Bangka masih menjadi satu wilayah propinsi Sumatera Selatan. Pada18 Maret1970. Linda Chrystanti lahir. Ia di besarkan di atas pulau dengan kekayaan eksotik, pada masa-masa Indonesia berada di ambang yang kontradiktif (pengembangan logika-logika pembangunan-isme otoritarian sekaligus teror mental lewat penjagalan kebebasan).
Dari latar itu, Linda bergerak untuk menghayati banyak nilai. Perkenalannya diawali ketika banyak situasi mengharuskan ia memahami bagaimana organ pergerakan bekerja dan bagaimana aktifitas pasca kemerdekaan serta pertarungan politik mencapai klimaksnya pada 1965.
Linda mulai mendapat suguhan perbincangan dari sang kakek yang pernah tergabung dalam perkumpulan serikat buruh Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Di usianya yang ke delapan, setelah ia mendapat hadiah sebuah buku bersampul merah dari sang kakek, lahirlah karya pertamanya. Puisi untuk seorang Soekarno. Laki-laki yang pada masanya begitu ia puja.
Akibat pertemanannya dengan faktualitas dan serpihan masa laluyang kompleks itu, jadilah Linda perempuan muda yang berhasil menyatakan sikap dengan jelas. Pada fase itu, ia bahkan berani mengaku dengan tegas telah membuat karya-karyanya menjadi semata mesin propaganda. Dengan kesadaran penuh, ia menetapkan pilihan itu. Tetapi, tentunya memang ada banyak aspek yang serta merta seperti semacam memberi berkat untuknya melakukan hal itu. Ada suasana sosial tak tertolakkan yang mengharuskan tiap orang harus bersikap sesuai dengan apa yang diyakininya. Bahwasanya,seni bukan semata seni. Pada titik itu, Linda menorehkan garisnya dan dengan logika-logika pengorganisiran, pengirisan.
Namun proses tersebut dilaluinya. Ia kemudian bergerak semata pada isu humanisme. Ia mulai meninggalkan bentuk-bentuk propaganda dalam karya-karyanya. Tidak ada konsep manipulatif pengorganisiran yang berkisah tentang bagaimana perempuan harus mampu berdiri dalam sebuah barisan, dan berani menyatakan sikap politik dengan jelas. Ia tidak memberlakukan objektifikasi peran marginal dalam sistem kerjanya. Tema-tema kemiskinan baik secara struktural maupun kultural sebagai wilayah yang paling mudah untuk dijadikan pijakan pada masa-masa itu, ia tepikan.
***
Catatan
Pada KTMP, kita dapati sebuah sinergi atas pandangan hidup tentang ‘relasi anonim dari kesadaran yang tersandera hingga kebuntuan memori kolektif menyatakan batas-batas yang sepatutnya harus ada dalam logika-logika manusia sebagai subjek-individu’. Fenomena itu memang merupakan buah simalakama dari pemberontakan terhadap proses dialektik serta konsekuensi dari usaha pengejewantahan keganjilan dan kekerdilan bangsa ini dalam mempercayai keberadaan dirinya sendiri. Sehingga, ketika usaha diri untuk terus menina-bobokkan mencapai titik akumulatif tak terperi, didapatilah kita dalam sebuah ledakan sosial bernama; anomali yang menjadi. Pada kondisi itulah, ‘mereka siap menjadi lupa’ mendapati konteksnya secara penuh; ini semacam kebenaran yang mendapati hakikatnya pada ruang dan waktu yang tepat. Sebuah kebetulan tak terencana yang terkondisikan. Terberi.
Keterasingan yang dituangkan `mereka siap menjadi lupa` dalam kisah-kisah tokohnya dapat kita lihat dengan jelas. Inilah imbas modernitas yang menjadi sampah di bawah sadar manusia-manusia terjajah. Meski bergerak diluar kaidah non medic analytic, Linda telah berani secara konsekuen menyatakan sikap melalui benderanya. Sikap pengarang atas bahasa yang dikenakannya dalam hal ini berlaku penuh. Konsistensi atas takdir perlawanan yang melekat sepenuhnya dalam diri manusia terjawab dengan tidak menggunakan rumus baku technicalmedical report. Sehingga, dalam kumpulan ini kita tak akan terjebak dalam logika-logika hitam-putih yang keras. Tak ada tudingan sepihak. Yang tampil adalah sebuah usaha untuk merumuskan, menjabarkan sekian ricuh sistemik. Dalam karya ini ‘gila’ bukan semata abnormalitas yang di-judge berdasar paham ilmiah kedokteran yang sangat baku, melainkan lebih pada struktur bentukan dari kerja sistemik –konsep kausalitas realitas.
Sudah barang tentu, usaha yang dibuat Linda melalui karyanya adalah benih yang dapat kita tuai pada kelak. Meski di dalam karyanya, terekam carut-marut sistemik yang direduksi semata pada subjek-individu, sisi senyap itu begitu menggila. Ia dapat saja berkembang biak melalui pembelahan sel dan dengan demikianlah kita akan melihat sebuah Indonesia di kelak kemudian hari.
Emha Ainun Najib pernah bertanya,”Akan kemanakah angin melayang?” Linda berhasil menggambarkannya. Sementara, tugas kita kini adalah memetakan serta mengantisipasinya melalui banyak kemungkinan. Dan, tulisan ini merupakan sepenggal pembacaan atas perjalanan ingatan yang ditangkap dari buku gambar Linda Chrystanti. Berpijak pada berbagai kemungkinan itulah, usaha me-mahardika-kan diri untuk memperoleh ruang dan kesempatan yang paling representatif.
ini salah satu cerpen yg dimuat dalam antologi yang memenangkan khatulistiwa literary award ini:
Lelaki Beraroma Kebun
MarchebSat, 03 Mar 2007 01:03:32 +0000uamSat, 03 Mar 2007 01:03:32 +000007 28, 2007 in Fiction
Cerita Pendek Linda Christanty
HALIFA masih ingat wajah lelaki itu. Sepasang mata yang sipit, hidung pesek, dan bibir hitam terbenam di kepala yang kecil. Saat ia tertawa terlihat gigi-gigi yang tak rata, ompong, dan kerak nikotin menempel di celah-celah gusinya. Tapi, ia jarang tertawa. Hanya matanya yang sering berbinar melihat orang datang. Hidup sendirian di tengah kebun tentu sebuah pengorbanan. Ia senang dikunjungi dan cepat-cepat menyuguhkan air putih serta bijur rebus atau buah keremunting yang hitam-manis pada tamunya, atau lebih tepat lagi, keluarga pemilik kebun.
Sudah lama Halifa tak pulang. Di tanah rantau sesekali saja diingatnya si penjaga kebun. Namun, ketika pulang dan melihat banyak yang telah hilang dari masa lalunya, lelaki itu menjadi bagian penting yang tersisa dan berharga.
Barangkali, rambut lelaki itu sudah memutih dan kerut-merut usia tua makin nyata. Daya ingatnya pun mungkin sudah menumpul. Itu galibnya perkembangan manusia, dari bayi merah, belajar beranak-pinak, lalu renta dan pikun. Apakah masih juga dikenakannya topi kebun dari kain belacu lusuh itu? Mata sabitnya yang berkilau saat terayun ke batang lalang dan semak-belukar seakan hadir di depan mata. Kadangkala lelaki itu mengeluarkan suling dari tas resam dan memainkan lagu-lagu berirama Melayu. Ia punya radio transistor yang bisa menangkap siaran dari Malaysia. Radio model lama berbentuk roti bantal itu warisan kakek Halifa. Mungkin, bisa jadi obat sepinya. Halifa kecil tak urung bersiul-siul senang menimpali tiap nada yang berasal dari lubang-lubang suling si penjaga kebun.
Apa pendapat lelaki itu saat melihatnya sekarang? Ia bukan lagi Halifa cengeng dan manja dulu. Ia kini tumbuh jangkung dan manis. Tanah rantau telah membesarkan otot-ototnya lewat kerja, meluaskan pikiran penghuni pulau kecil itu dengan pahit-getir pengalaman. Halifa tersenyum-senyum bangga.
Sesungguhnya, ia lebih hapal pada aroma lelaki itu. Ya, ia seperti membaui aromanya lagi. Di belakang gazebo yang sudah berlumut, bayangan seseorang berkelebat dalam gerimis dan menghilang di balik tapekong di sudut kebun. Ia bergegas menyusul, karena aroma segar dari pohon-pohon tropis itu terbawa angin dan tercium olehnya, seperti dulu. Cengkeh, lada putih, rambutan, dan durian adalah tanaman-tanaman keras yang biasa tumbuh di kebun milik rakyat pulau ini. Panen buahnya menghidupi mereka turun-temurun.
Lelaki itu mengabdi hidupnya untuk gugur dan semi bunga pepohonan, melihat tunas tumbuh dan dahan tua tumbang. Ia menyiangi lalang dari tanah kebun, menabur kotoran ayam dan kambing di atasnya. “Biar gembur, tanah perlu makan,” katanya pada Halifa kecil.
Pohon-pohon yang dirawatnya setiap hari pun membalas budi, menyerahkan aroma khas mereka kepadanya, sehingga si perawat tak bisa sembunyi dari siapa pun. Nasibnya seperti musang yang mengeluarkan wangi pandan. Hembusan angin membawa aroma tubuh penjaga kebun ke rongga penciuman orang-orang yang berjalan di kejauhan, semacam pengumuman. Bila ada yang ingin menemuinya, ikuti saja aroma itu. Kalian akan sampai di hadapan lelaki yang menenteng sabit atau parang. Matanya tak pernah menyorot garang, mata orang yang mau menolong. Bila kalian ingin bertemu tuannya, yang punya kebun, ia akan berjanji menyampaikan pesan. Bila ada yang tersesat, ia akan tunjukkan jalan.
“Ke mana dia?” pikir Halifa, melajukan pandangan ke sudut-sudut kebun. Ia baru ingin melangkah ke pondok kecil beratap rumbia yang tersamar pohon-pohon lada tua ketika gerimis berganti hujan deras. Di balik awan gelap yang bergumpal, jari-jari petir putih bersinar. Halifa merapatkan jaketnya ke badan sambil berlari mencari tempat berlindung, kembali ke gazebo tadi.
Kayu-kayu pelawan yang menyanggah bangunan itu telah lapuk. Warna coklat cat berubah kehitaman, mengelupas di sana-sini. Tembok yang dulu kokoh dan putih kini retak dan berlumut. Ia duduk di bangku batu yang lembab, mengusap wajahnya yang kena tempias hujan. “Kenapa dia lari?” batinnya. Mungkin, lelaki itu sudah tak ingat padanya lagi.
Hampir lima belas tahun Halifa meninggalkan pulau ini, tempat kelahirannya. Lima belas tahun ia tak pernah pulang. Tapi, dua jam lalu, pesawat Fokker 100 milik sebuah maskapai lokal baru saja mengantarnya ke bandar udara yang makin kusam tak terawat, mengantarnya pulang. Hujan deras sudah menyambutnya di landasan. Sebelum mendarat, dua kali pesawat mengalami goncangan hebat yang membuat dinding-dindingnya berderak. Ia sempat berpikir betapa aneh dijemput maut dengan cara ini; berpulang saat kembali. Halifa sudah siap menarik rompi pelampung dari bawah kursi begitu keadaan darurat diumumkan. Ia tak mau mati. Ia belum bertemu ayah dan ibunya, belum ziarah ke makam kakek dan neneknya. Di seberang jendela, laut berwarna hijau tua terlihat tenang bagai objek dalam lukisan. Pesawat malang ini berada di atas ketinggian 24 ribu kaki, pikirnya, gelisah. Barangkali, ia akan dimakan hiu, atau menjadi buih di samudra nanti. Tapi, perlahan-lahan tepi daratan mulai nampak, pesawat kembali stabil, dan rasa gusar Halifa berangsur lenyap.
Semula ia ingin menyeberang ke pulau itu dengan kapal laut. Ongkosnya lebih murah dengan jarak tempuh cukup sehari semalam ke pelabuhan tujuan dan dari situ satu jam menumpang oto kongsi ke rumah. Tapi, banyak teman menyarankan ia naik pesawat terbang. “Sekarang tengah musim angin kencang dan gelombang besar,” kata mereka. Jadi, ia terpaksa mengubah rencana. Naik pesawat memang lebih mahal, juga lebih cepat. Huh, ternyata risikonya sama saja. Di laut terancam tenggelam, di udara terancam jatuh! Ia punya banyak ingatan tentang pulau ini, terutama debur ombaknya di malam hari. Dulu keluarganya tinggal dekat pantai. Bagi Halifa, debur ombak seperti nyanyian. Ia tidur nyenyak dalam buai bunyinya. Seringkali sepulang sekolah, setelah bertukar pakaian dan makan siang, ia dan adiknya, Malida, berlari ke pantai untuk mencari kulit-kulit lokan dan siput. Mereka biasa menemukan umang-umang yang menghuni bekas rumah-rumah siput, mengeluarkan binatang-binatang tadi dari dalamnya, mengikat kaki-kaki tajam-lancip tersebut dengan benang, lalu memacu mereka berlomba lari. Nenek selalu mengomel panjang-pendek melihat kelakuan cucu-cucunya yang nakal, “Jangan kau siksa binatang, nanti di neraka kau dibuat begitu pula oleh mereka.” Apa iya? Mereka ‘kan begitu imut.
Di tengah malam ia kerap mendengar suara orang ribut di jalan muka rumah dan esok harinya nenek pasti bercerita, “Semalam itu ada orang ditangkap karena smokel. Makanya, kalau ke pantai harus ditemani Yu Sur atau Mang Cali. Kalau ada orang jahat, siapa yang tahu.” Yu Sur, perempuan muda yang membantu memasak dan membereskan rumah. Mang Cali bekerja merawat taman dan mencuci mobil-mobil. Keduanya digaji bulanan oleh ayah Halifa.
Nenek berpulang ketika Halifa kuliah semester pertama. Kakek sudah lebih dulu mangkat, saat Halifa di taman kanak-kanak. Ia tak ingat lagi suasana pemakaman kakek di hutan dekat pantai itu, tapi ia pun tak bisa menyaksikan pemakaman neneknya. Keuangan ayah sedang menipis waktu itu. Biaya pulang perlu dihemat untuk biaya kuliah.
Perusahaan pertambangan tempat ayah bekerja sedang terguncang. Harga timah dunia merosot dan korupsi besar di kalangan eselon atas mempercepat kebangkrutan perusahaan tersebut. Ribuan buruh mogok menuntut pesangon yang layak.
“Sebagian besar hak pesangon mereka dimakan orang-orang itu,” kisah ayah, di telepon.
Ayah ikut mogok? Oh, tidak, nak. Kenapa? Ayah bagian yang menunggu saja. Ah, ayah curang sekali. Jabatan ayah memang jabatan tanggung. Korupsi pun tak bisa besar. Berpanas-panas di terik matahari untuk meminta hak bersama buruh-buruh rasanya tak pantas. Makanya ayah harus punya prinsip, jangan menginjak ke bawah, menjilat ke atas macam pejabat bumiputra zaman kolonial. Ha-ha-ha …. Suara tawa ayah yang masih nyaring lumayan melegakan hati Halifa.
Ayah mengirim Halifa merantau setamat sekolah menengah pertama. “Biar kau temukan nasibmu sendiri dengan berjuang di rantau,” kata ayah. “Pulau kecil membuat pikiran juga tak seberapa luas,” lanjut ayah, lagi. Ibu juga tak menangis, hanya memintanya menulis surat tiap minggu kalau tak punya uang menelepon ke rumah. Nenek memberi nasihat tentang menjaga diri, “Kau yang punya lubang kunci dan jangan biarkan anak kunci masuk ke situ.” Halifa sempat terbahak, tapi perlahan-lahan ia paham.
Malida kemudian menyusul Halifa. Mereka, perempuan kakak-beradik, berbagi nasib, jauh dari orangtua. Malida sempat pulang beberapa kali, tapi ia tidak. Entah kenapa, ia terus terseret dalam irama kota dan arus kerja yang mengikis rasa rindunya pada tanah kelahiran. Ia tak lagi merasa punya ikatan apa-apa dengan pulau ini, kecuali kenangan dan sejarah keluarga. Ayah dan ibulah yang lebih sering mengunjungi anak-anaknya kemudian. Kini rumah di tepi pantai sudah tak ada. Di atas puing-puing perumahan pejabat menengah itu telah berdiri kampus politeknik. Pantai yang berombak telah dipagari tembok-tembok tinggi. Perusahaan pertambangan tempat ayah bekerja ditutup dan sebagai gantinya, penduduk pulau membuka tambang-tambang liar, merusak sungai-sungai.
“Ayah rasa buaya pun sudah tak ada di pulau ini. Semua sungai terpolusi,” kisah ayah.
Ayah dan ibu telah memutuskan pindah ke pedalaman, mendirikan rumah di kebun pusaka kakek, dekat perkampungan orang-orang Tionghoa. Penjaga kebun itulah yang selalu menarik perhatian Halifa sejak kanak-kanak, terutama hidupnya yang sendiri.
Kata ayah, “Dia turut menyaksikan jatuh-bangun keluarga kita. Ayah sudah menganggapnya keluarga. Dia sudah ayah minta istirahat dan kembali pada sanak-saudaranya, tapi katanya dia tak punya keluarga lagi. Ayah suruh tinggal di rumah ini, dia memilih tinggal di rumah kebun.” Lelaki itu mulai sakit-sakitan lantaran usia tua, tapi tetap bertahan dalam kebun mereka.
Ayah telah menjalankan wasiat kakek. Sebelum meninggal, kakek berpesan agar ayah memperhatikan nasib penjaga kebun dan tak boleh menyia-nyiakannya.
Hujan makin menderas. Pikiran Halifa mulai bercabang, antara berlari ke rumah atau ke pondok beratap rumbia. Tapi, ia ingin menuruti kata hati saja. Pintu pondok tertutup rapat, begitu pula tingkap-tingkapnya. Halifa mengetuk daun pintu yang basah. Tak ada sahutan. Permukaan kayu yang kasar tak bersugu terasa menusuk buku-buku jarinya.
Ia mengetuk sekali lagi dan disertai suara, “Atuk, ini Halifa.”
Aroma kebun dari dalam mengalahkan wangi tanah dan daun-daun di luar. Ia percaya si penjaga kebun ada di dalam. Tiba-tiba terdengar batuk kering dan suara orang bangkit dari ranjang kayu yang berkeriyut. Palang pintu ditarik, kemudian di ambang pintu muncul wajah yang lama dikenalnya. Lelaki itu kelihatan amat tua, dengan uban memenuhi kepala dan tubuh makin mengecil. Sepasang mata yang kuyu menatap Halifa bimbang.
“Ini Halifa, tuk. Atuk masih ingat Halifa ‘kan? Halifa dengar atuk sakit,” kata Halifa, lalu meraih dan menciumi punggung tangannya.
Mata lelaki itu mulai berair. Ia meraih pundak Halifa dan mengajak si perempuan muda masuk ke rumah tanpa berkata-kata. Keadaan kamar tersebut belum berubah. Ranjang dan meja kayu, kompor minyak tanah, lemari pakaian dari plastik, dan panci-panci tergantung di dinding. Kini mereka berhadapan, orang upahan dan anak majikan.
“Sekarang lum musim keremunting,” kata lelaki itu, seraya menuang segelas air untuk Halifa.
“Oh, dak ape-ape, tuk. Halifa cume nak mampir sebentar. Lame dak pulang. Semue la berubah,” kata Halifa, seraya duduk di tepi ranjang.
“Benar. Banyak yang berubah. Nyai la dak ade. Yai kau ape agik. Papa kau pun la pensiun. Kebenaran kau pulang. Ade yang nak atuk cerite. Atuk ni la sakit-sakit terus, sebentar agik nak pulang ke tanah. Macam-macam sakit pun ade, dari pening, mengas sampai … mate ni la dak keliat agik la. Kau di situ pun, atuk dak bise nampak jelas, kabur,” lanjut lelaki tua itu, tertatih-tatih mendekati Halifa, membawa gelas air. Lelaki itu akhirnya mengungkap kisah yang mengguncang Halifa. Tentang sebuah keluarga yang tercerai-berai. Sepasang suami-istri merelakan bayi mereka yang baru berumur dua hari untuk diangkat anak oleh keluarga lain. Mereka tak sanggup membesarkan bayi itu lantaran kehidupan yang sulit di masa Jepang. Lima anak yang lahir sebelumnya harus menanggung penderitaan. Untunglah ada orang yang lebih mampu bersedia mengurus bayi mereka yang baru lahir. Selang beberapa minggu setelah putra bungsu mereka diserahkan, sang suami meninggal dunia akibat tuberkulosa dan sang istri meninggalkan gubuk kecil mereka dengan lima anak kurus meringkuk lapar di dalamnya.
Berminggu-minggu anak-anak tersebut ditinggalkan ibunya yang berharap ada orang kampung datang dan menyelamatkan mereka. Suatu hari ketika perempuan itu kembali untuk memastikan anak-anaknya telah diambil orang, ia menemukan lima mayat tergeletak di lantai tanah dan telah membusuk. Ternyata pikiran yang kalut membuat si perempuan telah mengunci gubuk dari luar. Anak-anak itu terkurung di sana, tanpa mampu berteriak minta tolong. Perempuan itu tak sadarkan diri dan saat siuman ia sudah lupa pada siapa pun. Orang-orang kampung melihatnya berlari kencang ke dalam hutan sambil melolong. Setelah itu ia benar-benar senyap dari muka bumi. Barangkali, ia mati dimangsa ular atau buaya yang menghuni sungai. Putra bungsu suami istri yang malang tadi adalah ayah Halifa. Lelaki tua yang bercerita ini adik kandung dari pihak istri. Halifa terdiam, begitu pula si penjaga kebun. Mereka larut pada kegetiran masing-masing.
Ketika si penjaga kebun meninggal dan jenazahnya dimakamkan, Halifa telah kembali ke tanah rantau. Ia cuma mengirim doa. Namun, aroma segar dari pohon-pohon tropis yang terbawa angin masih menyertainya di jalanan, di bus, di kantor, di kamar kontrakan, dan di tempat-tempat baru yang pertama kali dikunjunginya. Namun, ia merasa ikatan hidupnya dengan pulau itu berangsur-angsur punah.
Desember, 2002
* Dipublikasikan pertama kali di Koran Tempo pada tahun 2005.